Monday, March 31, 2008

Diancam Bunuh Setelah Bersyahadat

Assalamualaikum sahabat...

Berikut kisah mualaf Aminah Assilmi, terdapat pelajaran berharga didalamnya, semoga Allah selalu memberikan hidayahNYA kepada kita semua. Selamat menyimak.

 

Diancam Bunuh Setelah Bersyahadat

   
Senin, 31 Maret 2008

Perjuangannya "memeluk" Islam dilakukan dengan penuh resiko, ia bahkan diancam bunuh. Dulu ia ingin 'mengkristen-kan' orang. Kini malah mengislamkan orang

ImagePENGANTAR. Semenjak memeluk Islam, ibunya sudah tak mengakui lagi ia sebagai anak. Ayahnya bahkan hendak menembaknya pula. Sang kakak menganggap ia sudah gila. Lalu suami menceraikannya. Oleh pengadilan dia divonis tak punya hak mengasuh kedua anaknya, kecuali meninggalkan Islam. Belum selesai sampai disitu, setelah mengenakan jilbab ia malah dikeluarkan dari tempat kerjanya. Begitulah ujian demi ujian datang menerpa Aminah Assilmi setelah memeluk Islam. Namun perempuan Amerika ini tetap tegar. Alhasil, dengan kuasa Allah, beberapa tahun kemudian neneknya yang telah berusia 100 tahun masuk Islam. Lalu bapaknya, diikuti ibu, kakak, anak lelakinya yang telah berusia 21 pun kemudian memeluk Islam. Bahkan, enam belas tahun setelah bercerai, mantan suaminya juga masuk Islam. Kini ia banyak diundang memberikan ceramah di berbagai tempat di Amerika. Satu kalimatnya yang terkenal: "Bagi saya, profesi terbaik adalah menjadi seorang ibu." Berikut kisah lengkapnya seperti dituangkan dalam www.islamfortoday.com.

 

Aminah Assilmi dulunya seorang juru baptis, penganut feminis yang radikal dan juga seorang jurnalis radio. Tapi kini, selepas memeluk Islam, dia bagaikan seorang duta besar bagi agama Islam. Sebagai Direktur International Union of Muslim Women atau Persatuan Wanita Muslim Internasional dia benar-benar menyuarakan kebenaran Islam. Aminah kerap mengadakan perjalanan, berceramah di kampus-kampus, menyeru pentingnya kepedulian terhadap masyarakat banyak serta berbagi pemahaman atas keyakinan yang dianutnya kini.

Aminah sendiri, jauh sebelum mengenal Islam, awalnya berada di garda terdepan kelompok pembenci Islam. Dalam buku yang dikarangnya "Choosing Islam", Aminah menceritakan perjumpaannya dengan Islam.

Berawal dari kesalahan komputer

Aminah dikenal sebagai gadis yang cerdas hingga memperoleh beasiswa selama kuliah. Disamping itu ia juga mengembangkan bisnis sendiri, berkompetisi secara professional hingga akhirnya memperoleh penghargaan (awards). Semua itu berlangsung semasa masih kuliah di perguruan tinggi. Ada kejadian menarik tatkala ia memasukkan data registrasi mata kuliah ke komputer di kampusnya. Berawal dari sinilah ia mengenal Islam hingga di kemudian hari kehidupannya berubah secara total.

"Kejadian itu pada tahun 1975 ketika pertama kali pendaftaran mata kuliah menggunakan sistem komputer. Waktu itu saya melakukan registrasi sebuah mata kuliah. Setelah mendaftar saya pun berangkat ke Oklahoma untuk urusan bisnis," kisahnya mengenang. Urusan bisnisnya sedikit lama, membuatnya tertunda kembali ke kampus. Dan baru muncul di kampus dua minggu setelah kuliah dimulai. Bagi dia ketinggalan pelajaran dan tugas-tugas mata kuliah tidak masalah. Namun yang membuatnya sangat terkejut adalah ketika diketahui komputer salah dalam melakukan registrasi. Di komputer namanya tertera sebagai peserta kelas Theatre, sebuah kelas dimana para mahasiswa musti unjuk kebolehan di depan peserta lainnya.

"Saya ini gadis pendiam. Bagi saya berdiri di depan kelas adalah hal yang sangat menakutkan. Tentu saja membatalkan mata kuliah tidak mungkin lagi. Sudah sangat terlambat. Tidak hadir sama sekali selama kuliah, juga bukan pilihan yang tepat. Sebabnya saya menerima beasiswa. Bila nilai saya jatuh, beasiswa bisa dicabut," tambahnya.

Suami Aminah menyarankan agar ia menemui dosennya guna mencari solusi alternatif lain. Oleh sang dosen ia dianjurkan untuk masuk ke kelas lain. Namun alangkah terkejutnya Aminah tatkala masuk ke kelas alternatif itu.

"Saya tak menduga di kelas itu banyak sekali wanita Arab berjilbab. Waktu itu saya menyebut mereka dengan "para penunggang unta". Kontan gairah saya hilang," kenangnya.

Aminah tidak jadi ikut kelas tersebut dan pulang ke rumah."Saya tidak mau berada di tengah-tengah orang-orang Arab. Saya tidak mau duduk bareng dengan orang-orang kafir kotor itu!," tulis Aminah dalam bukunya. Suaminya, seperti biasa, tetap tenang menghadapinya.

Dengan kalem sang suami menyebut bahwa Tuhan punya maksud tertentu atas segala apa yang terjadi. Ia lalu meminta Aminah untuk berpikir masak-masak sebelum memutuskan berhenti kuliah. Konon lagi pemberi beasiswa telah mengeluarkan dana untuk studinya itu. Selama dua hari Aminah mendekam di kamarnya guna mengambil keputusan. Akhirnya dia memutuskan kembali ke kampus. Kala itu, menurut Aminah, dia seperti merasakan seolah-olah Tuhan memberinya tugas untuk mengkristenkan mahasiswi Arab itu. Ia rasakan seperti ada sebuah misi yang musti dituntaskan segera.

Misi Kristenisasi

Kala kembali ke kampus, Aminah pun mulai menjalankan misi Kristenisasi kepada mahasiswi Arab itu.

"Saya terangkan tentang neraka. Bagaimana mereka akan dibakar dan disiksa jika tak ikut ajaran Kristen. Lalu saya terangkan Yesus cinta mereka dan Yesus mati disalib untuk menebus dosa-dosa pengikutnya. Jadi kita musti ikuti dia." terang Aminah yang mengaku heran dengan kesopanan mahasiswi Arab tersebut. Mereka tidak membantah sedikitpun dengan apa yang diterangkannya.

"Anak-anak Arab itu kok belum tertarik juga dengan Kristen. Saya putuskan untuk mencoba cara lain. Yakni saya coba pelajari kitab mereka untuk membuktikan bahwa Islam agama salah dan Muhammad bukan Nabi," tukasnya lagi.

Atas permintaan Aminah, seorang mahasiswi Arab memberinya sebuah mushaf Al-Quran dan beberapa buku tentang Islam. Aminah mulai mempelajari Al-Quran berikut dengan bantuan 15 buah buku tentang Islam secara intensif. Al-Quran dibaca berulang-ulang, dikajinya berdasarkan referensi-referensi yang ada, lalu dibacanya lagi. Begitu seterusnya. Selama observasi dia selalu mencatat hal-hal yang tak disetujuinya guna membuktikan pendapatnya Islam agama salah. Kajian berjalan selama hampir satu setengah tahun.

Cari kelemahan Islam

Begitulah, setelah berjalan hampir dua tahun, alih-alih berupaya mengganti paham mahasiswi Islam tersebut dengan ajaran Kristen, malah Aminah yang akhirnya belajar Al-Quran. Awalnya dia mempelajari Quran untuk mencari kesalahan-kesalahan Islam, untuk membuktikan Nabi Muhammad bukan Nabi. Akan tetapi semakin dibaca, semakin tertarik ia dengan Islam.

Tanpa disadari, perilakunya mulai sedikit berubah. Rupanya perubahan itu menarik perhatian suaminya. "Sungguh, tanpa saya sadari ada perubahan kecil dalam keseharian saya. Tapi itu sudah cukup mengganggu pikiran suami. Biasanya saban Jumat dan Sabtu kami sering pergi ke bar atau menghadiri pesta. Tapi saya tidak begitu suka lagi. Bahkan berhenti makan babi dan minum-minuman keras," kisahnya.

Lama- kelamaan suaminya mulai menaruh curiga dengan perubahan itu. Suaminya menduga Aminah ada hubungan gelap dengan lelaki lain. Puncaknya, mereka pisah ranjang, dan bahkan kemudian pisah apartemen. Namun Aminah masih terus mengkaji Al-Quran.

Secara khusus dia mengaku sangat tertarik dengan apa yang dikatakan Al-Quran tentang laki-laki dan perempuan. Wanita Islam, sebelum dia mempelajari Al-Quran, dia pikir berada dalam penindasan suaminya. "Waktu itu dalam sangkaan saya suamilah yang memaksa istri, misal untuk memakai jilbab," ujar Aminah.

Melalui kajian intensif, dia dapati bahwa wanita Islam punya kesamaan hak dalam pekerjaan, pendidikan tanpa memperhatikan gender mereka. Yang menarik baginya, pada saat seorang wanita Islam menikah, maka dia tidak harus mengganti nama belakang (nama keluarga-red) menjadi nama keluarga suami, tapi tetap menjaga nama ayahnya. Dan banyak lagi perkara-perkara lainnya. Dari situ Aminah mengambil kesimpulan bahwa Islam atau dengan kata lain Nabi Muhammad telah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita.

Didatangi lelaki berjubah

Akhirnya, satu malam seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ternyata seorang lelaki berjubah dan mengaku bernama Abdul Aziz Al-Shekh. Ia ditemani tiga orang temannya dengan pakaian yang sama. Aminah sangat terkejut dengan kedatangan pria tak diundang itu. Apalagi tatkala pria berjubah tersebut mengatakan bahwa hanya masalah waktu saja bagi Aminah untuk menjadi seorang muslim.

"Dia berujar saya sudah siap jadi seorang Islam. Saya kontan menangkal pernyataannya itu dengan menyebut saya orang Kristen. Selama ini saya hanya coba mengkaji, bukan mau masuk Islam. Begitu kata saya malam itu," tukas Aminah mengenang. Begitupun Aminah mempersilahkan mereka masuk karena ia ingin mengajukan beberapa pertanyaan tentang Islam yang masih menyelubungi pikirannya.

Aminah menumpahkan semua pertanyaannya, hasil observasi selama hampir dua tahun. Abdul Azis mendengarkan dengan seksama. Tiap pertanyaan dijawabnya dengan sangat tenang dan teratur. Aminah mengaku sangat puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan. "Akhirnya, keesokan harinya, dengan disaksikan Abdul-Aziz dan tiga temannya sayapun bersyahadah. Saat itu 21 Mei 1977," kenangnya.

Dikucilkan Keluarga

Segera setelah Islamnya Aminah, perlahan ujian demi ujian pun datang. Dia dikucilkan oleh keluarga dan teman-temannya. Ibunya tak mengakui lagi ia sebagai anak. Yang lebih parah, sang ayah bahkan hendak menembaknya pula. Kakak Aminah menganggap ia sudah gila dan perlu dirawat di rumah sakit jiwa. Belum berhenti disitu, suami pun menceraikannya. Yang membuat hati Aminah sangat pedih adalah kala pengadilan memutuskan dia tak punya hak mengasuh kedua anakNYA, kecuali meninggalkan Islam. "Saya meninggalkan pengadilan dengan hati yang hancur. Anda bisa bayangkan bagaimana hati seorang ibu dipisahkan dari anak-anaknya," ujar Aminah sedih.

Belum selesai sampai disitu, setelah mengenakan jilbab ia malah dikeluarkan dari tempat kerjanya. Namun karena kecintaannya pada Islam, penderitaan-penderitaan itu tidak membuat imannya runtuh. Aminah menyitir sebuah ayat suci Al-Quran (Ayat Kursi-red) yang bikin hatinya tenang:

Tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi dan Allah tidak merasa berat memelihara kedua-duanya, dan Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar. (Q.S. 2;255).

ImageAnggota keluarga masuk Islam

Meskipun keluarga mengucilkannya, Aminah tetap menjaga hubungan dengan mereka. Misalnya, ia sering berkirim surat dan selalu menulis beberapa terjemahan ayat Quran dan hadis yang berhubungan dengan masalah sosial kemanusiaan. Namun Aminah tak menyebut petuah-petuah itu dari Al-Quran. Rupanya strategi itu lumayan manjur. Lama-kelamaan ada respon positif dari anggota keluarga. Aminah pun terus berkirim surat plus kutipan-kutipan berisi ayat Quran dan hadis Nabi.

Begitulah, dengan sabar dan doa, satu demi satu anggota keluarganya masuk Islam. Pertama, sang nenek yang sudah uzur. "Nenek berusia 100 tahun ketika menerima Islam. Persis setelah itu dia meninggal dunia. Masya Allah nenek meninggal dengan membawa buku amalan yang penuh kebajikan ke akhirat," kisah Aminah.

Tak lama, ayah yang dulu hendak membunuhnya juga memeluk Islam. Dua tahun kemudian, sang ibu diikuti oleh kakak Aminah juga bersyahadah. Dan yang membuat Aminah sangat gembira, anaknya yang telah beranjak dewasa (umur 21 tahun) juga mengikuti jejaknya. Yang paling mengharukan, enam belas tahun selepas Islamnya Aminah, mantan suaminya juga mengucap dua kalimah syahadah. Mantan pasangan hidupnya itu bahkan meminta maaf atas segala kekhilafannya.

Aminah sendiri kala itu telah menikah dengan pria lain. Dia sempat didiagnosa oleh dokter mengidap penyakit kanker dan divonis tidak bisa memiliki anak lagi. Namun Allah punya kuasa. Ia tetap bisa mengandung dan diamanahi seorang anak laki-laki yang diberi nama "Barakah".

"Saya sangat gembira menjadi seorang Muslim. Islam adalah hidupku. Islam adalah irama hatiku. Islam adalah darah yang mengalir di sekujur tubuhku. Islam adalah kekuatanku. Islam telah membuat hidupku sangat menyenangkan. Tanpa Islam aku tak berarti apa-apanya. Andai Allah memalingkan wajah-Nya dariku, sungguh aku tak bisa bertahan hidup," senandung Aminah Assilmi yang telah dua kali berhaji ke Mekkah.

Tak malu tunjukkan identitas Islam

Aminah dalam beraktifitas tak malu-malu menunjukkan keislamannya. Misal, dia mengenakan busana muslimah secara sempurna. Jilbab menutupi sekujur kepala dan rambutnya, serta busana panjang menutupi seluruh anggota tubuhnya. Sesuatu yang tidak lazim sebenarnya bagi warga di Amerika, dimana wanita umumnya gemar mempertontonkan aurat mereka.

Satu ketika Aminah memberikan kuliah di hadapan mahasiswa yang memenuhi ruang kuliah di Universitas Tennesse tentang status wanita dalam Islam berjudul "Wanita Muslim berbicara dari balik hijabnya."

"Wanita muslim tidak dibatasi dalam berkarir oleh agamanya. Begitupun, bagi saya, profesi terbaik adalah menjadi seorang ibu. Karena para ibulah yang membentuk generasi masa depan," ujar Aminah diplomatis. Wanita Islam, lanjutnya, saat ini banyak mendapat diskriminasi di lapangan hanya karena mereka berjilbab. Ia menekankan, terutama di negerinya Amerika, muslimah sangat sulit mengaktualisasikan dirinya. Pernah satu saat ketika Aminah hendak mencairkan cek di sebuah bank. Satuan pengaman bank serta merta menghardiknya seraya mengarahkan moncong senapan ke wajahnya. "Itu hanya karena saya berjilbab," katanya.

Aminah mengingatkan para pengeritik Islam yang kerap menyebut bahwa wanita-wanita di negeri-negeri Islam tertindas di bawah kekuasaan lelaki. Ia menjelaskan bahwa yang menindas mereka bukanlah Islam, tapi budaya setempat. Dalam Islam wanita begitu dihormati dan tinggi derajatnya. "Jangan anggap (ajaran Islam) seperti itu. Sangat bodoh," ujarnya. Ia sangat tidak setuju Islam dijadikan kambing hitam.

Itulah Aminah Assilmi. Dulunya memojokkan Islam dan bahkan bermaksud meng-Kristen-kan kawan sekelasnya. Berbagai ujian dan penderitaan yang datang selepas ia memeluk Islam tak membuatnya bergeming. Allah berikan ganjaran atas kesabarannya itu dengan mengirimkan hidayah kepada seluruh anggota keluarganya. Kini ia bersama organisasinya memperjuangkan agar umat Islam di Amerika mendapatkan libur di kala merayakan lebaran. Salah satu sukses yang telah mereka rengkuh adalah beredarnya perangko Idul Fitri, hasil kerjasama dengan kantor pos Amerika. Wallahu 'alam bisshawab.


 
My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 


No Cost - Get a month of Blockbuster Total Access now. Sweet deal for Yahoo! users and friends.

Musdah Mulia: Islam Mengakui Lesbianisme

Senin, 31 Maret 2008

Aktivis liberal Siti Musdah Mulia mengatakan, lesbian dan homosekstual diakui dalam Islam. Diskusi juga menyalahkan para ulama yang melarang perilaku menyimpang ini

ImageHidayatullah.com--Homosek dan homoseksualitas adalah kelaziman dan dibuat oleh Tuhan, dengan begitu diizinkan juga dalam agama Islam, demikian salah satu ucapan Musdah Mulia dalam sebuah diskusi di Jakarta pada hari Kamis, 27 Maret 2008 kemarin.

Homoseks-Homoseks dan homoseksualitas bersifat alami (wajar) yang diciptakan oleh Allah, seperti itu diizinkan dalam Islam, demikian hasil diskusi yang diselenggarakan di Jakarta itu.

Dalam diskusi itu juga disebutkan, sarjana-sarjana Islam moderat mengatakan tidak ada pertimbangan untuk menolak homoseks dalam Islam, dan bahwa pelarangan homoseks dan homoseksualitas hanya merupakan tendensi para ulama.

Selain diskusi menyalahkan para ulama, juga menuduh banyak  Muslim lainnya didasarkan pada penafsiran-penafsiran berfikir sempit dalam pengajaran-pengajaran Islam.

Siti Musdah Mulia  wakil Indonesia  Conference of Religions and Peace mengutip Surat al-Hujurat (49:3) yang mengatakan bahwa salah satu berkah untuk manusia adalah bahwa semua para laki-laki dan perempuan bersifat sama, dengan mengabaikan etnisitas, kekayaan, posisi-posisi sosial atau bahkan orientasi seksual.

"Tidak ada perbedaan antara lesbian dan tidak lesbian. Dalam pandangan Allah, orang-orang dihargai didasarkan pada keimanan mereka," dia juga mengatakan dalam diskusi yang diorganisir oleh NGO, Arus Pelangi.

"Dan membicarakan tentang keimanan adalah hak istimewa Allah untuk menghakimi," ujarnya dikuti koran The Jakarta Post.

"Inti sari dari agama (Islam) adalah memanusiakan manusia, rasa hormat dan memuji mereka."

Musdah juga mengatakan homoseksualitas dari Tuhan dan sebaiknya dianggap sebagai suatu kelaziman, menambahkan tidak didorong hanya oleh nafsu.

Redaktur Majalah Mata Air, Soffa Ihsan juga mengatakan, penghakuan heterogenitas Islam juga sebaiknya memasukkan homoseksualitas.

Dia mengatakan orang Muslim perlu terus melakukan ijtihad  untuk menghindari paradigma lama dengan tanpa mengembangkan interpretasi yang berpandangan terbuka.

Nurofiah dari NU mengatakan yang menyebabkan pelarangan gender akibat kontruk sosial. 

"Seperti prasangka bias jender atau patriarchy, prasangka penyimapangan sosial dibuat. Akan benar-benar berbeda jika kelompok yang menguasai menjadi pelaku homoseksualitas, " katanya.

Selain Musdah Mulia, permbicara yang ikut hadir adalah Nurofiah dari Nahdlatul Ulama (NU), wakil Hizbut Tahrir Indonesia, dan wakil Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kelompok Arus Pelangi  mengatakan, di beberapa tempat, di Indonesia, perilaku homosek sudah diakui. "Kita mengetahui bahwa di Ponorogo (Jawa Timur)telah ada pengakuan homoseksualitas," ujar pemimpin Arus Pelangi, Rido Triawan.

Sementara itu, Wakil MUI dan HTI mengutuk perilaku yang termasuk hombreng ini. 

"Ini merupakan suatu dosa. Kita tidak akan mempertimbangkan, menganggap homoseks sebagai musuh, tetapi kita akan membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka sedang lakukan adalah salah," ujar Wakil Ketua MUI, Amir Syarifuddin.

Rokhmat, dari HTI, beberapa kali meminta peserta-peserta homoseksual yang hadir dalam acara itu segera untuk menyesali dan secara berangsur-angsur kembali ke jalan yang benar.

ImageArus Pelangi dibentuk pada tanggal 15 Januari 2006 di Jakarta dengan kantor secretariat di Jalan Tebet Dalam 4 no 3 Jakarta Selatan. Arus Pelangi, sesuai namanya, adalah NGO tempat mangkalnya kaum lesbian dan, gay, bisexual dan transgender (LGBT).

Dalam pasal keanggotan AD/ART Arus Pelangi disebutkan, "Individu yang mempunyai orientasi seksual LGBT dan/atau individu yang mempunyai orientasi heterosexual yang mempunyai komitmen dalam memperjuangkan hak-hak dasar LGBT." [jp/cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

foto: 1. Musdah Mulia. 2. pesta kaum lesbih di jakarta 


My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 


Like movies? Here's a limited-time offer: Blockbuster Total Access for one month at no cost.

Friday, March 28, 2008

Jangan Memberhalakan ”Multikulturalisme”!

Senin, 07 Januari 2008

Depag memasukkan "multikulturalisme" sebagai parameter pemahaman keagamaan para dai. Seharunya "multikulturalisme" tak dijadikan "berhala". Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-220

Oleh: Adian Husaini

Di era globalisasi dan westernisasi saat ini, "multikulturalisme" tampaknya sudah dianggap sebagai paham ideal yang harus diterima masyarakat. Seperti paham-paham modern lain, demokrasi, liberalisme, pluralisme, kesetaraan gender, dan sebagainya, multikulturalisme juga diwajibkan – oleh penguasa dunia, entah siapa makhluknya – untuk dipeluk oleh semua orang. Tidak peduli, apakah dia pejabat, dosen, artis, atau dai. Semua harus multikulturalis, menganut paham multikulturalisme.

Maka, sudah beberapa tahun belakangan ini, kita mendengar banyak sekali pimpinan pesantren, dosen, mahasiswa, dan berbagai kalangan masyarakat yang ditraining paham multikulturalisme. Menurut mereka, dengan memeluk paham ini, kita bisa selamat dan membawa kemaslahatan. Tanpa banyak terekspose oleh media massa, pada 11 Desember 2007 lalu, Badan Litbang Departemen Agama mengumumkan hasil penelitiannya tentang "Pemahaman Nilai-nilai Multikultural Para Da'i".

Hasil penelitian ini sangat penting untuk kita cermati, karena menyangkut masalah pemahaman keagamaan para dai, baik fakta maupun Sebelum kita melihat hasil penelitian Depag tersebut, kita simak dulu apa definisi multikulturalisme yang dijadikan acuan oleh Depag. Pada bagian Latar Belakang, dijelaskan pernyataan Ketua Balitbang Depag, Atho Mudzhar, bahwa selain dapat menjadi faktor integrasi, agama juga dapat menjadi faktor dis-integrasi.

Agama sebagai faktor disintegrasi bangsa Indonesia, dapat dilihat pada terjadinya konflik keagamaan – bahkan sampai saat ini – di beberapa daerah di Indonesia. "Konflik ini salah satunya disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran lainnya adalah salah dan dianggap sesat," demikian kutipan paparan pendahuluan hasil penelitian tersebut.

Sampai pada kalimat tersebut, kita semua -- juga para pejabat Litbang Depag -- patut merenung. Benarkah seperti itu? Bahwa konflik agama terjadi karena pemeluk agama meyakini kebenaran agamanya sendiri? Kita menjawab, bahwa asumsi itu sangat tidak benar. Kaum beragama saat ini harusnya berpikir ulang, bahwa mereka sedang dalam posisi dijadikan kambing hitam atas berbagai konflik yang terjadi, seolah-olah konflik-konflik itu terjadi karena urusan agama. Padahal, berapa persen yang sebenarnya masalah agama? Perlu kita catat, bahwa korban kekerasan terbesar di dunia ini adalah masyarakat sipil yang diperangi atas nama kebebasan dan demokrasi. Kita tidak menafikan ada konflik bermotif agama atau bernuansa agama. Tapi, marilah kita teliti dengan cermat, apakah konflik-konflik itu terjadi karena umat beragama memiliki pemahaman eksklusif bahwa hanya agamanya sendiri yang benar?

Dalam berbagai kesempatan, masalah truth claim (klaim kebenaran) ini sering dijadikan sebagai kambing hitam terjadinya konflik antar agama, sehingga pemeluk agama dianjurkan melepaskan kliam kebenaran atas agamanya masing-masing. Tentu saja, ini sangat mustahil, kecuali bagi orang-orang yang memang sudah bosan beragama. Simaklah sebuah buku menarik berjudul "Hindu Agama Terbesar di Dunia" terbitan Media Hindu (2006). Judul buku itu merupakan terjemah dari artikel berjudul "Hinduism, the Greatest Religion in the World," karya Satguru Sivaya Subramuniyaswami di majalah Hinduism Today edisi Februari/Maret/April 2000. Tulisan itu merupakan respon terhadap seruan Paus John Paul II kepada para Uskup dan orang-orang Katolik untuk mengkoversi orang-orang Hindu di India, dalam pidatonya di New Delhi tanggal 25 Desember 1999, tepat saat umat Hindu merayakan hari suci mereka, Depavali.

Tulisan ini berusaha menanamkan keyakinan dan kebanggaan kepada para pemeluk agama Hindu terhadap agama mereka, dengan menggambarkan bahwa: "Seorang disebut manusia besar bukan karena tubuhnya gede, tetapi karena karakternya, karena sumbangannya kepada masyarakatnya. Secara kuantitas pemeluk Hindu bila digabung dengan "anak-anaknya" berjumlah 1,5 milyar, lebih besar dari Islam. Dan ingat, Hindu bukanlah agama missi yang agresif seperti Kristen atau Islam. Tetapi kebesaran Hindu terletak pada karakternya, sumbangannya pada peradaban. Dan dalam membangun budaya dan peradaban, Hindu tidak pernah menghancurkan budaya dan peradaban yang sudah ada. Sebaliknya Hindu melindungi, memeliara, dan bahkan mengembangkan mereka." (bagian pengantar oleh Ngakan Made Madrasuta).

Kita tentu menghormati keyakinan kaum Hindu semacam itu dan tidak perlu menyatakan bahwa keyakinan semacam itu adalah sumber konflik. Bagi orang yang serius mau beragama, tentu dia memeluk agama tertentu karena meyakini ada hal-hal yang unik dalam agamanya. Dia yakin agamanya benar. Dia yakin agamanya akan mengantarkannya ke jalan keselamatan. Untuk apa dia beragama kalau tidak yakin? Karena itulah, kaum Hindu juga tidak rela umat mereka dijadikan sasaran misi Kristen. Tentu sangat aneh, jika ada orang masih mengaku Muslim, tetapi lebih percaya kepada Bibel ketimbang al-Quran. Juga aneh kalau orang masih tetap mengaku Kristen tetapi lebih meyakini al-Quran ketimbang Bibel.

"Multikulturalisme sejati" seharusnya tidak menggerus keyakinan eksklusif masing-masing agama. Justru menghormati adanya keyakinan yang beragam itulah makna sejati dari mengakui keberagaman, bukan menggerus keyakinan masing-masing agama dan menggantinya dengan satu berhal baru bernama "multikulturalisme". Mengapa kita sebut dengan "berhala", sebab paham ini sepertinya diterima dan ditelan begitu saja tanpa sikap kritis. Kaum muslim dijejali dengan paham-paham semacam ini, yang tujuannya sudah jelas – seperti ditulis dalam laporan penelitian Depag ini – yaitu menggerus keyakinan beragama kaum Muslim.

Pakar Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha, berulang kali menyebutkan, bahwa salah satu watak jahat paham Pluralisme Agama adalah sikapnya yang otoriter yang mau membuang semua keyakinan dan menggantikannya dengan satu "Teologi Universal". Pernyataan Dr. Anis itu sering terbukti di lapangan. Kita sering melihat, bagaimana orang-orang yang mengaku pluralis marah-marah dan memaki-maki MUI karena mengeluarkan fatwa bahwa menghadiri Perayaan Natal Bersama adalah haram. Jika dia pluralis atau multikulturalis, maka seharusnya dia menghormati pendapat dan keyakinan MUI, bukan memaksakan pendapatnya sendiri yang benar. Kita makin heran melihat, bagaimana kadangkala mereka mengeluarkan sumpah serapahnya, hanya karena kita tidak mau mengikuti paham-paham sekular dan liberal Barat.

Jika paham multikulturalisme semacam ini yang dijadikan acuan untuk dipeluk umat beragama di Indonesia, maka alangkah kelirunya penelitian Litbang Departemen Agama tersebut. Dalam laporan penelitian setebal 24 halaman ini, kita juga mendapati sejumlah indikator yang aneh, yang dijadikan sebagai parameter untuk menilai kualitas pemahaman dan sikap "multikulturalisme" para dai, apakah sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, dan sangat kurang baik.

Misalya, hasil penelitian menunjukkan, bahwa pemahaman para dai terhadap nilai-nilai multikulturalisme pada dimensi kesetaraan dinilai "cukup baik", karena para dai itu percaya bahwa ada agama lain yang merupakan agama samawi dan meyakini bahwa Yahudi dan Kristen sekarang ini adalah ahlul kitab.

Kita tidak mempersoalkan hasil penelitian ini. Tapi, mengapa indikator yang dipilih adalah hal-hal semacam itu? Bagi Muslim, maka tidak ada salahnya jika meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama samawi. Begitu juga soal pandangan tentang Ahlul Kitab. Banyak sekali pandangan ulama tentang masalah ini. Jadi, sangat naif untuk menilai seseorang dai itu berpaham multikulturalis atau tidak berdasarkan pemahamannya terhadap agama samawi dan Ahlul Kitab.

Pada bagian hasil penelitian tentang "Perasaan Da'i terhadap Nilai-nilai Multikultural" ditemukan, bahwa tidak sampai seperempat dari jumlah dai yang menjadi responden dalam penelitian ini yang memiliki perasaan terhadap nilai-nilai multikultural yang cukup baik sampai baik. Para dai yang diteliti ternyata merasa kurang nyaman bertetangga dengan orang yang berbeda agama, tetapi cukup baik nilai mereka dalam soal kesenangan berteman dengan orang yang berbeda agama. Para dai itu rata-rata juga merasakan perlunya UU Penyiaran Agama untuk mengurangi konflik antar umat beragama. Mereka juga rata-rata tidak suka jika penganut agama lain menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama.

Pada bagian "Kecenderungan Perilaku Da'i terhadap Nilai-nilai Multikultural" ditemukan hasil yang buruk dalam beberapa hal berikut: (1) dalam soal penerimaan terhadap perkawinan berbeda agama, (2) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk mengajar anak di sekolah, (3) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama dalam melakukan kegiatan di daerah Muslim, dan (4) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk membangun rumah ibadah di daerah Muslim.

Diantara kesimpulan dari hasil penelitian ini ialah: "Ketidakpahaman dan ketidaknyamanan para dai terhadap nilai kesetaraan berpengaruh pada kecenderungan penerimaan dai terhadap nilai kesetaraan. Walaupun mereka cenderung akan berperilaku setara dengan cara menerima orang yang berbeda agama dengan cara berteman dan bertetangga, tetapi mereka tidak akan menerima perkawinan berbeda agama. Mereka cenderung akan berperilaku adil dalam hal memberikan kesempatan kepada orang yang berbeda agama mengeluarkan pendapat, tetapi cenderung tidak akan memberikan kesempatan kepada teman lain yang berbeda agama untuk bersama-sama melakukan ibadah sesuai dengan agama masing-masing. Bahkan, cenderung akan menolak orang yang berbeda agama mengajar anak mereka di sekolah, orang yang berbeda agama mengadakan kegiatan di daerah muslim dan orang yang berbeda agama membangun rumah ibadah di daerah muslim. Mereka juga cenderung tidak akan menghargai orang yang berbeda agama. Karena itu, mereka tidak akan mendoakan orang yang berbeda agama untuk mendapatkan kebaikan dan keselamatan serta tidak akan mengucapkan selamat kepada orang yang berbeda agama pada saat mendapat kegembiraan."

Terhadap fenomena rendahnya pemahaman dan sikap multikulturalisme para dai, maka direkomendasikan (1) agar disosialisasikan kepada para dai tentang materi-materi hubungan antar agama yang didasarkan pada ayat-ayat al-Quran yang mengandung penekanan terhadap prinsip-prinsip kesetaraan, misalnya penggunaan istilah ahli kitab (ahl al-kitab) yang digunakan al-Quran antara lain sebagai ungkapan penghargaan yang tinggi karena mereka berpegang pada ketuhanan yang monoteistik, (2) Ketidaknyamanan para dai bertetangga dengan orang yang berbeda agama berkaitan erat dengan pemahaman mereka terhadap nilai kesetaraan. Untuk merubah ketidaksukaan betetangga dengan orang yang berbeda agama, para dai perlu diyakinkan bahwa Islam tidak melarang untuk bertetangga dengan orang yang berbeda agama. (3) Kecenderungan perilaku dai terhadap nilai-nilai multikultural yang tergolong kurang baik diperlukan adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat interaksi antara pada dai dan orang-orang yang berbeda agama dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan.

Apa pun hasil penelitian ini, kita melihat, tampaknya saat ini, untuk menentukan seorang dai itu baik atau buruk sudah digunakan parameter baru, yakni parameter keimanan para dai terhadap paham "Multikulturalisme"; dan bukan lagi menggunakan parameter: "Syar'iy atau tidak Syar'iy", "Halal atau Haram", "Haq atau Bathil", "Bid'ah atau Sunnah", "Iman atau Syirik". Jika demikian halnya, ini sama saja telah memberhalakan paham "Multikulturalisme".

Sebagai cendekiawan, seyogyanya para peneliti tidak terburu-buru menerima begitu saja paham-paham baru – seperti Multikulturalisme – tanpa menilainya dengan standar pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Menyimak indikator-indikator yang digunakan untuk meneliti tingkat "kemultikulturalan" seorang dai, tampak jelas, paham ini memang justru bermasalah. Jadi, semestinya Islam-lah yang menilai paham Multikulturalisme. Bukan sebaliknya, Islam dan kaum Muslim justru dinilai dengan kacamata Multikulturalisme. Wallahu a'lam. [Depok, 4 Januari 2008/www.hidayatullah.com].


 
My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 


Like movies? Here's a limited-time offer: Blockbuster Total Access for one month at no cost.

“Menyambut Buku Dr. Syamsuddin Arif”

Senin, 18 Pebruari 2008

Tepat saat acara "5 Tahun INSISTS", juga diluncurkan buku berjudul "Orientalis dan Diabolisme Pemikiran."   Baca catatan akhir pekan [CAP] Adian ke-225

Oleh: Adian Husaini

ImagePada 9 Februari 2008, tepat saat acara "5 Tahun INSISTS" (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization), terbitlah buku berjudul Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, karya Dr. Syamsuddin Arif. Di tengah semakin kokohnya cengkeraman studi Islam gaya orientalis di Indonesia, buku Syamsuddin ini menjadi sangat berarti kehadirannya. Selain menyuguhkan data yang melimpah tentang studi dan pemikiran Islam gaya orientalis dalam berbagai bidang studi, buku ini ditulis dalam perspektif jelas dan tajam.

Buku ini memang merupakan kumpulan tulisan di berbagai media dan kesempatan. Namun, semuanya dibingkai dalam cara pandang yang kokoh dan padu. Dalam komentarnya atas buku ini, cendekiawan Gontor Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menulis: "Suatu karya yang tidak dapat lahir kecuali dari seseorang yang memiliki framework yang jelas. Pendekatannya mengesankan seperti anti-Barat dan anti-kemapanan, padahal ini adalah upaya riil untuk berubah dan mengubah diri dari kondisi yang selama ini terhegemoni oleh framework dan worldview orientalis dan Barat."

Penulis buku ini sudah cukup kita kenal. Dia adalah peneliti INSISTS. Cendekiawan muda Betawi ini menyelesaikan doktornya di ISTAC-Kuala Lumpur. Kini, selain mengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia, dia masih menyelesaikan disertasi untuk doktor keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman. Buku ini menjadi indikator bahwa penulisnya "bukan orang sembarangan".

Dalam kaitan dengan "Diabolisme Pemikiran", penulisnya mencatat, bahwa "Diabolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani Kuno... maka istilah "diabolisme" berarti pemikiran, watak, dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian kepadanya." Iblis bukan bodoh, bukan ateis. Iblis kenal Tuhan. Tapi, Iblis ingkar, kafir, menolak tunduk kepada Allah. Kesalahan Iblis bukan tidak berilmu, tetapi membangkang, merasa hebat, dan melawan perintah Allah. "Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berperilaku seperti yang dicontohkannya. Iblis adalah 'prototype' intelektual 'keblinger'." (hal. 143-144).

Membaca buku ini, kita seperti dibawa hanyut oleh penulisnya dalam menelusuri relung-relung pemikiran orientalis yang penuh dengan jebakan dan penyesatan pemikiran. Satu persatu logika-logika orientalis, baik yang tersirat maupun yang tersurat, dikupas dan dikritisinya. Tak jarang, penulisnya menggunakan kata-kata yang lugas dan tajam dalam memberikan kritiknya.

Pada bagian tulisan "Orientalis dan Al-Quran", Syamsuddin mencatat: "Dinyatakan dalam Al-Quran bahwasanya orang Yahudi dan Kristen memang tidak pernah berhenti, dengan segala macam cara, mempengaruhi umat Islam agar mengikuti agama mereka. Mereka ingin umat Islam melakukan seperti apa yang mereka lakukan, menggugat, dan mempersoalkan yang sudah jelas dan mapan, sehingga timbul keraguan terhadap yang sahih dan benar. Untuk memberi kesan seolah-olah objektif dan otoritatif, orientalis-misionaris ini biasanya berkedok sebagai pakar (expert scholars) mengenai bahasa, sejarah, agama, dan tamadun Timur, baik yang 'Jauh' (Far Eastern, seperti Jepang, China dan India) maupun yang 'Dekat' (Near Eastern, seperti Persia, Mesir dan Arabia)." (hal. 2-3).

Dalam kajian Al-Quran, misalnya, satu persatu orientalis yang berusaha meragu-ragukan Al-Quran dikritisi pemikirannya. Banyak orientalis memang menyerang al-Quran dengan motif dan perspektif agama mereka. Gagasan pembuatan "Edisi Kritis al-Quran" dari Arthur Jeffery, misalnya, jelas dilatarbelakangi pola pikir kondisi Bibel. Ia bermaksud merestorasi teks Al-Quran berdasarkan Kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang ditengarai merekam bacaan-bacaan dalam beberapa 'Mushaf Tandingan' (rival codices). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergtrasser dan Otto Pretzl, dua orientalis Jerman yang berjibaku mengumpulkan foto lembaran-lembaran naskah (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan membuat Edisi Kritis Al-Quran. Namun, upaya ini gagal karena arsip-arsip di Munich hancur musnah tertimpa bom saat Perang Dunia Kedua. (hal. 5).

Dalam sejumlah CAP, kita pernah membahas, bagaimana gagasan Edisi Kritis Al-Quran kemudian dikembangkan oleh kaum liberal di Indonesia. Sejumlah dosen UIN alumni dan jebolan Jerman kini menyokong upaya pembuatan Al-Quran Edisi Kritis. Sadar atau tidak, para dosen ini sudah terjebak dalam metode pikir orientalis. Dan ironisnya, mereka bangga menjadi pelanjut pemikiran orientalis.

Sepertinya, tidak ada rasa malu lagi untuk menjadi penerus pikiran dan sikap orientalis. Bahkan, banyak yang bangga! Bangga menjadi pengkritik Islam. Umur dan waktunya dihabiskan untuk menyerang Islam. Kepandaiannya dikerahkan untuk menyerang Islam. Bahkan tidak ragu-ragu lagi untuk menyatakan bahwa banyak konsep dasar Islam yang harus dibongkar. Persis seperti apa yang digambarkan Dr. Syamsuddin Arif dalam buku ini. Jika orientalis sudah ragu dengan agama mereka, ragu dengan Kitab Suci mereka, maka mereka pun ingin agar umat Islam mengikuti jejak mereka pula.

Pada bagian "Orientalis dan Teologi Islam", Syamsuddin Arif mengungkap deretan karya-karya orientalis dalam bidang ini, baik yang berbahasa Inggris, Jerman, maupun Perancis. Salah satu tujuan mereka melakukan kajian yang sangat serius dalam bidang ini adalah: "untuk menciptakan konflik dan melestarikan perpecahan di kalangan umat Islam, agar mudah untuk dikuasai berdasarkan prinsip devide et impera. Maka tidak mengherankan kalau objek kajian yang paling diminati oleh para orientalis adalah soal munculnya sekte-sekte sempalan dalam Islam." (hal. 48).

Lebih jauh Syamsuddin menulis:

"Dengan terbitnya karya-karya tersebut, para orientalis itu bermaksud dan berhasil mengedepankan aliran-aliran sempalan yang sudah diabaikan dan dilupakan orang, mengetengahkan pemikiran-pemikiran sesat yang semula tersisih dan terpinggirkan, dan mengangkat ke permukaan sekte-sekte menyimpang yang selama ini tertekan. Ada satu pesan yang ingin mereka sampaikan, bahwasanya ajaran Islam itu tidak monolitik. Banyak terdapat perbedaan dan perselisihan di kalangan umat Islam, sehingga sejak awal sejarahnya memang sudah terpecah belah. Para orientalis tidak hanya menyoroti hal ini, tetapi juga membesar-besarkan persoalan yang tidak prinsipil." (50).

Membaca analisis Dr. Syamsuddin tersebut kita dibuat terperangah. Inilah yang selama ini memang terjadi dan sudah puluhan tahun menjadi penyakit kronis dalam dunia Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia. Lihatlah buku-buku sejarah dan peradaban Islam yang dijadikan buku rujukan dan diajarkan kepada para mahasiswa kita. Begitu banyak paparan tentang sejarah konflik, perang, dan kucuran darah. Seolah-olah, Islam adalah agama konflik, dan tidak ada yang patut dibanggakan dari sejarah Islam.

Sebuah buku berjudul Sejarah Peradaban Islam yang ditulis seorang guru besar di UIN Jakarta menulis tentang Sayyidina Utsman r.a. dalam gambaran yang sangat buruk, sebagai berikut:

" Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting adalah Marwan bin Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahannya. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri." (hal. 38-39).

Inilah contoh cara penggambaran seorang sahabat Nabi Muhamamd saw yang sangat tidak etis dan tidak proporsional. Buku seperti inilah yang selama puluhan tahun diajarkan kepada para mahasiswa di berbagai kampus Islam. Jangan heran, jika akibatnya, banyak muncul sarjana agama yang kemudian tidak mencintai sahabat Nabi saw dan bahkan beberapa diantaranya secara terang-terangan mencaci maki mereka. Seorang mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang, menulis artikel berjudul "Pembukuan Quran oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah". Temannya yang lain menulis "Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreatifan Generasi Pasca Muhammad." (Lihat, Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 23 Tahun XI/2003). Di pengantar Redaksinya, Jurnal ini juga menulis: "Dari sekian tumpuk daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Quran dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Utsman Ibn Affan..."

Peneliti INSISTS bidang sejarah, Asep Sobari, mengritik cara-cara pengajaran sejarah semacam itu. Dalam hasil risetnya terhadap pemerintahan Utsman r.a., Asep menunjukkan bahwa gambaran buruk para sejarawan tentang Sayyidina Utsman adalah keliru. Misalnya soal pengangkatan kerabatnya dalam jabatan kenegaraan. Berdasarkan riwayat Khalifah ibn Khayyath dan al-Thabari, Dr. Akram al-Umari mencatat, selama pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Utsman r.a. mengangkat 34 pejabat, dan hanya 7 orang saja yang merupakan kerabatnya, yaitu Mu`awiyah ibn Abu Sufyan, Abdullah ibn Abu Sarh, Walid ibn `Uqbah, Sa`id ibn `Ash, Abdullah ibn `Amir ibn Kurayiz, Ali ibn Rabi`ah dan Marwan ibn Hakam.

Mu`awiyah ibn Sufyan, Abdullah ibn Abu Sarh dan Walid ibn `Uqbah sudah menjabat sejak masa pemerintahan Umar ibn Khaththab. Selain itu, dari empat kerabat yang diangkat langsung oleh Utsman r.a., dua diantaranya kemudian dicopot dari jabatannya, yaitu Sa`id ibn `Ash dan Walid ibn `Uqbah, setelah yang terakhir ini terbukti minum khamr dan menerima hukuman. Fakta ini menunjukkan Utsman r.a. sangat berhati-hati dan selektif dalam memilih kerabatnya yang diangkat menjadi pejabat tinggi.

Jasa-jasa Utsman r.a. terhadap Islam sangatlah luar biasa. Dia pengusaha kaya raya yang telah mewakafkan harta dan jiwanya untuk dakwah Islam. Jasa besarnya menghimpun Mushaf Al-Quran diterima oleh semua sahabat dan diakui jasanya oleh semua ulama (kecuali ulama jahat). Maka, aneh, jika ada dosen dan mahasiswa kampus berlabel Islam yang memperhinakan sahabat Nabi saw yang mulia.

Karena itulah, dengan terbitnya buku Dr. Syamsuddin Arif, maka kita perlu melakukan kerja keras untuk meneliti kembali satu persatu buku-buku teks studi Islam khususnya di Perguruan Tinggi. Dalam buku Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (2006), saya mengungkap peringatan Prof. HM Rasjidi terhadap masuknya pola kajian orientalis di IAIN melalui buku Prof. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya – satu buku wajib dalam studi Islam sejak tahun 1973. Padahal, tahun 1975, Prof. Rasjidi sudah mengingatkan: buku ini "sangat berbahaya".

Ironisnya, banyak dosen dan cendekiawan Muslim lebih suka diam dan cuek terhadap peringatan Prof. Rasjidi tersebut. Banyak yang memilih menjadi penonton yang baik. Jangan heran, "api yang dulu kecil, sekarang sudah menjadi besar". Banyak yang belajar Al-Quran, tetapi kemudian bangga menjadi pengkritik al-Quran. Banyak yang belajar sejarah Islam, tetapi kemudian alergi dengan sejarah Islam. Banyak yang belajar syariah, tetapi membenci syariah. Sebab, cara belajar dan buku yang dipelajarinya memang sudah mengikuti pola kajian orientalis.

Karena itu, kita patut bersyukur dengan terbitnya buku Syamsuddin Arif ini. Sebuah buku yang berkualitas ilmiah tinggi. Melalui bukunya, cendekiawan Muslim asal Bewati ini telah menjebol satu mitos yang dibangun oleh kaum orientalis, bahwa sesorang tidak dapat menjadi cendekiawan yang baik (good scholar) dan muslim yang baik (good Muslim) pada saat yang sama. Syamsuddin menjebol mitos itu. Ia membuktikan, seorang bisa menjadi cendekiawan dan sekaligus Muslim yang baik, yang berpegang teguh kepada keyakinan agamanya.

Mengutip satu pepetah Jerman, dalam pengantar bukunya, Syamsuddin Arif menulis: "Siapa membaca akan mengetahui, dan siapa menulis tak akan mati." Umat Islam tentu bersyukur dengan terbitnya buku ini. Umat bisa berdialog dan mengenal Doktor Syamsuddin Arif melalui tulisannya, Tetapi, bisa diduga, setelah membaca buku ini, akan banyak pembaca yang penasaran ingin mengenal lebih jauh sosok penulis dan cendekiawan belia kelahiran Jakarta tahun 1971 ini. Dalam tradisi keilmuan Islam, interaksi guru dan murid memang menjadi faktor penting dalam transfer keilmuan.

Pembaca mungkin akan merindukan kucuran ilmu dari penulisnya lebih jauh. Setelah satu persatu ulama Betawi yang berwibawa meninggalkan kita, bumi Jakarta kini terasa semakin gersang dicekam kemaksiatan dan kesemrawutan pemikiran. Banyak umat kini merindukan kedatangan ulama-ulama Betawi yang kokoh dalam ilmu, keyakinan, dan amal. Maka, alangkah indahnya jika suatu ketika nanti di Jakarta berdiri sebuah pusat kajian Islam bernama: "Majlis Ta'lim Dr. Syamsuddin Arif".

Yang jelas, terbitnya buku Dr. Syamsuddin Arif ini telah membuktikan, bahwa masyarakat Betawi bukan hanya telah melahirkan FBR, Forkabi, dan Lenong Betawi, tetapi juga melahirkan cendekiawan dan ulama yang bermutu tinggi. Mudah-mudahan ilmunya bermanfaat dan akan terbit lagi buku-buku yang lebih berkualitas. Amin. Wallahu A'lam. [Depok, 15 Februari 2008/www.hidayatullah.com]


 
My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 


No Cost - Get a month of Blockbuster Total Access now. Sweet deal for Yahoo! users and friends.

Thursday, March 27, 2008

Kewajiban Menegakkan Khilafah

oleh: Rahmat S. Labib

(Tafsir QS al-Baqarah  [2]: 30)

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (QS al-Baqarah [2]: 30).

Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Wa idz qâla Rabbuka li al-malâikah (Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat). Huruf idz merupakan zharf az-zamân (kata keterangan) untuk menunjukkan waktu lampau.[1] Dalam konteks kalimat ini, huruf tersebut menyimpan kata udzkur (ingatlah). Khithâb-nya ditujukan kepada Rasulullah saw. Ini terlihat pada dhamîr mukhâthab ka pada kata Rabbuka yang menunjuk kepada beliau. Karena itu, Ibnu Katsir, al-Wahidi dan beberapa mufassir lain memaknainya: Ingatlah, wahai Muhammad, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat.[2] Seruan kepada Rasulullah saw. berarti juga seruan kepada umatnya.

Perkara yang diperintahkan untuk diingat adalah kisah awal kejadian manusia. Sebelum menciptakan manusia, Allah Swt. terlebih dulu memberitakannya kepada para malaikat. Kata al-malâikah merupakan bentuk jamak dari kata al-malak.

Kepada para malaikat itu Allah Swt. berfirman: Innî jâ'il[un] fî al-ardhi khalîfah (Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi). Kata jâ'il[un] bermakna khâliq[un].[3] Adapun al-ardh adalah seluruh bumi yang kini ditempati manusia. Di situlah Allah Swt. akan menjadikan khalîfah.

Kata khalîfah berasal dari kata khalîf (wazan fa'îl). Tambahan huruf al-hâ' berfungsi li al-mubâlaghah (untuk melebihkan).[4] Kata khalîfah berarti suatu pihak yang menggantikan lainnya, menempati kedudukannya, dan mewakili urusannya. Secara bahasa, seluruh mufassirin sepakat, yang dimaksud dengan khalîfah di sini adalah Adam as.[5] Namun, di antara mereka terdapat beberapa pendapat:  khalîfah bagi siapakah Adam itu?

Pertama: khalîfah bagi jin atau banû al-jân.[6] Alasannya, sebelum manusia diciptakan, penghuni bumi adalah banû al-jân. Namun, karena mereka banyak berbuat kerusakan, Allah Swt. kemudian mengutus para malaikat untuk mengusir dan menyingkirkan mereka. Setelah mereka berhasil disingkirkan sampai di pesisir dan gunung, Adam as. diciptakan untuk menggantikan kedudukan dan posisi mereka.

Kedua: khalîfah bagi malaikat. Demikian pendapat asy-Syaukani, an-Nasafi, dan al-Wahidi.[7] Sebab, setelah berhasil menyingkirkan banû al-jân, malaikatlah yang tinggal di bumi. Karena itu, yang digantikan Adam as adalah malaikat, bukan jin atau banû al-jân.

Ketiga: disebut khalîfah karena mereka menjadi kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian lainnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Katsir.[8] Pendapat ini didasarkan pada QS al-An'am: 165, an-Naml: 62, az-Zukhruf: 6, dan Maryam 59.[9]

Keempat: menjadi khalîfah bagi Allah di bumi untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Pendapat ini dipilih oleh al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji, al-Ajili, Ibnu Juzyi, dan asy-Syanqithi.[10] Status ini bukan hanya disandang Adam as., namun juga seluruh nabi. Mereka semua dijadikan sebagai pengganti dalam memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia, menyempurnakan jiwa mereka, dan menerapkan perintah-Nya kepada manusia.[11] Menurut al-Qasimi, kesimpulan ini didasarkan pada QS Shad: 26.

Di antara keempat penafsiran itu, penafsiran keempat tampaknya lebih dapat diterima. Penafsiran ketiga, meskipun tak bertentangan dengan fakta kehidupan, respon malaikat menunjukkan, kedudukan khalifah tak sekadar itu. Menurut para malaikat, khalifah di muka bumi itu haruslah ahl al-thâ'ah, bukan ahl al-ma'shiyyah. Jika kedudukan sebagai khalifah hanya merupakan siklus kehidupan, generasi digantikan dengan generasi berikutnya, tentu tak mengharuskan khalifah dari kalangan ahl al-thâ'ah.

Alasan yang sama juga dapat digunakan untuk menolak penafsiran pertama dan kedua jika peristiwa itu benar-benar terjadi. Sebagai catatan, penafsiran pertama dan kedua didasarkan pada hadis mawqûf yang tidak dapat menghasilkan keyakinan.  Dalam frasa berikutnya disebutkan: Qâlû ataj'alû fîhâ man yufsidu fîhâ wa yafsiku dimâ' (Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan [khalifah] di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.").

Kata fasâd berarti kerusakan. Kerusakan di bumi itu adalah kekufuran dan segala tindakan maksiat.[12] Adapun yang dimaksud dengan menumpahkan darah adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan syariah. Sebenarnya, pembunuhan secara zalim itu termasuk dalam cakupan fasâd atau kerusakan. Disebutkannya secara khusus setelah ungkapan umum (athf al-khâsh 'alâ al-'âmm) itu menunjukkan besarnya maksiat dan kerusakan yang ditimbulkan akibat pembunuhan.

Dari manakah para malaikat mengetahui sifat-sifat buruk manusia itu, padahal manusia belum diciptakan? Pengetahuan itu berasal dari: pemberitahuan Allah Swt.; bisa pula dari al-lawh al-mahfûzh; berdasarkan analogi terhadap sifat banû al-jân yang sebelumnya menghuni bumi;[13] bisa juga dari pemahaman mereka terhadap tabiat basyariyyah, yang sebagiannya telah diceritakan Allah Swt.—bahwa mereka diciptakan dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk (QS al-Hijr: 26); atau  dari pemahaman mereka dari kedudukan khalifah yang bertugas menyelesaikan kezaliman yang terjadi di antara manusia dan mencegah manusia dari perkara haram dan dosa.[14]    

Selanjutnya mereka juga berkata: wa nahnu nusabbihu bihamdika wanuqaddisu laka (padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?). Ber-tasbîh kepada Allah Swt. berarti mensucikan-Nya dan menjauhkan-Nya dari segala sesuatu yang buruk dalam kerangka ta'zhîm.[15] Adapun men-taqdîs-kan Allah Swt. bermakna mensucikan-Nya dan menjauhkan segala sesuatu yang tidak pantas dari-Nya.[16]

Patut dicatat, para mufassir sepakat bahwa pertanyaan para malaikat itu bukan dimaksudkan untuk membantah kehendak Allah Swt. atau dilandasi sikap hasud terhadap Adam as. Sebab, mereka adalah hamba Allah yang mulia, taat, dan tidak pernah membangkang perintah-Nya (QS at-Tahrim: 6; al-Anbiya': 26-27). Perkataan mereka semata-mata bertujuan untuk meminta kejelasan atau untuk mengungkap hikmah tersembunyi di balik penciptaan itu.[17] 

Allah Swt. menjawab pertanyaan malaikat itu: Innî a'lamu mâ lâ ta'lamûn (Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui). Artinya, Allah lebih mengetahui kemaslahatan yang râjih pada penciptaan itu. Sesungguhnya Dia akan mengutus para rasul di tengah-tengah manusia. Di antara mereka juga ada orang-orang yang membenarkan (ash-shiddiqûn), syahid, shalih, ahli ibadah, zuhud, wali, berbuat kebajikan, al-muqarrabûn, ulama  al-'âmilûn, khusyuk, mencintai Allah, dan mengikuti rasul-rasul-Nya.[18]   

Kewajiban Menegakkan Khilafah

Sebagaimana telah terungkap, kedudukan sebagai khalîfah mewajibkan manusia untuk memutuskan dan menerapkan perkara-perkara kehidupan dengan hukum-hukum Allah Swt.

Untuk keperluan itu, Allah telah mengutus para nabi dan rasul. Mereka semua diutus untuk menyampaikan kepada manusia risalah-Nya yang juga berisi hukum-hukum yang wajib diterapkan. Kendati dalam perkara akidah semua nabi dan rasul itu sama, yakni akidah tauhid, dalam perkara hukum mereka diberikan syir'ah dan minhâj yang berbeda-beda (QS al-Maidah [5]: 48). Masing-masing nabi dan rasul beserta umatnya wajib terikat dengan hukum yang berlaku buat mereka. Tatkala mereka menerapkan dan memutuskan hukum berdasarkan syariah-Nya, maka mereka telah melaksanakan tugasnya sebagai khalîfah.

Kepada Nabi Muhammad saw., Allah telah memberikan dîn Islam. Sebagai dîn paripurna, Islam memiliki syariah yang syâmil kâmil (komprehensif lagi sempurna) (lihat QS an-Nahl [16]: 86 dan al-Maidah [5]: 3). Tidak ada satu pun aspek kehidupan yang dibiarkan lepas begitu saja, tanpa diatur oleh Islam. Seluruh interaksi manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya sendiri, maupun antar sesama manusia diatur oleh Islam.

Seluruh hukum Islam wajib diterapkan (QS al-Maidah: 49, al-Hasyr: 7). Hanya saja, di antara hukum-hukum syariah itu: Pertama, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada individu seperti akidah, ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak. Beberapa hukum mu'âmalah pelaksanaannya juga dapat dilaksanakan individu tanpa harus melibatkan negara seperti perdagangan, ijârah, pernikahan, warisan, dan sebagainya). Kedua, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada negara semisal sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik luar negeri; juga berkaitan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan sanksi yang diberikan atas setiap bentuk pelanggaran hukum syariah. Hukum-hukum seperti tidak boleh dilakukan oleh individu. Semua hukum harus dilakukan oleh khalifah atau yang diberi wewenang olehnya.

Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara merupakan sesuatu yang bersifat dharûrî (sangat penting) untuk melaksanakan Islam. Tanpa ada sebuah negara, mustahil syariah bisa diberlakukan secara total.

Patut ditegaskan, negara yang ditetapkan Islam untuk menerapkan syariah adalah Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Rasulullah saw. bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

Di tengah-tengah kalian terdapat masa kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada masa Khilâfah 'alâ minhâj al-nubuwwah. (HR Ahmad).

Rasulullah saw. juga menetapkan, para khalifah adalah satu-satunya pihak yang bertugas mengatur dan mengurusi umatnya setelah Beliau wafat: 

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ

Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah (HR al-Bukhari dan Muslim).

Khalifah itulah yang diwajibkan untuk diangkat dengan jalan baiat. Dengan adanya khalifah, kewajiban adanya baiat di pundak setiap Muslim dapat diwujudkan. Sebaliknya, jika tidak ada khalifah, baiat yang diwajibkan itu tidak ada di pundak setiap kaum Muslim. Rasulullah saw. mencela keadaan tersebut dengan menyebut para pelakunya mati jahiliah. Beliau bersabda:

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة

Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada baiat, maka matinya dalam keadaan jahiliah. (HR Muslim).

Bertolak dari pemikiran ini, tak mengherankan jika al-Qurthubi menyatakan, ayat ini menjadi asal atau pokok bagi wajibnya mengangkat imam dan khalifah yang didengar dan ditaati, untuk menyatukan kalimat, dan menerapkan hukum-hukum khalifah.[19] Pendapat ini juga didukung az-Zuhaili.[20] Mereka menegaskan, seluruh ulama sepakat tentang wajibnya mengangkat khalifah di antara umat dan para imam. Menurutnya, hanya Abu Bakr al-Asham dari kalangan Muktazilah saja yang menyimpang dari pendapat tersebut.

Di samping ayat ini, kedua mufassir itu juga mendasarkan pada QS Shad: 26 dan QS an-Nur: 55. Para Sahabat juga berijmak untuk mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq setelah perselisihan kaum Muhajirin adn Anshar di Saqifah Bani Saidah.[21]

Walhasil, Khilafah wajib ditegakkan. Setiap Muslim pun wajib turut berjuang  bahu-membahu menegakkan Khilafah yang menerapkan Islam dan menyebarkannya ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad.

Wallâh a'lam bi ash-shawâb. [Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

Catatan kaki:


sumber: http://www.hizbut-tahrir.or.id/2007/04/06/kewajiban-menegakkan-khilafah-2/#more-146



[1]   As-Samin al-Halbi, Ad-Durr al-Mashûn, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), 174; al-Alusi, h al-Ma'ânî, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 220;  al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1 (Berut: Dar al-Fikr, 1991), 132

[2]   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar 'Alam al-Kutub, 1997), 90; al-Wahidi al-Naysaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur'ân al-Majîd, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 112; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 132.

[3]   Ini juga merupakan pendapat Hasan al-Basri. Sebagaimana dikutip al-Qurthubi, Al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 182; Ibnu 'Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 116.

[4]   Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 284; al-Wahidi, Al-Wasîth, vol. 1, 113.

[5]   Ibnu Juzy al-Kalbi, At-Tasyhîl li 'Ulûm al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 60; al-Wahidi, Al-Wasîth, vol. 1, 113; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, vol. 1, 49; al-Baghawi, Al-Ma'âlim at-Tanzîl, vol. 1, 31; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 132.

[6]   Ath-Thabari, Jâmi' al-Bayân fî Ta'wîl al-Qur'ân, vol. 1, 237; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 138.

[7]   Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 77; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta'wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 33; al-Wahidi, Al-Wasîth, vol. 1, 113.

[8]   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, vol. 1, 90; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta'wîl, vol. 1  (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 284.

[9]   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, vol. 1, 90; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta'wîl, vol. 1, 284.

[10] Al-Baghawi, Al-Ma'âlim al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 31; al-Alusi, h al-Ma'ânî, vol. 2, 222; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 126; al-Ajili, Al-Futûhât al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 61; Ibnu Juzy al-Kalbi, Al-Tasyhîl li 'Ulûm at-Tanzîl, vol. 1, 60; al-Syanqithi, Adhwâ' al-Bayân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 20

[11] Al-Alusi, h al-Ma'ânî, vol. 2, 222; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl, vol. 1, 49.

[12] Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 40ز

[13] An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, vol. 1, 33; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2, 126; al-Ajili, al-Futûhât al-Islâmiyyah, vol. 1, 61; Said Hawa, al-Asâs fî Tafsîr, vol. 1 (Kairo: Dar al-Salam, 1999), 116.

[14] Al-Qasimi, Mahâsin al-Ta'wîl, vol. 1, 285.

[15] Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2, 126.

[16] Al-Wahidi, al-Wasîth, vol. 1, 113; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1, 40.

[17] Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, ; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2, 126; al-Ajili, Al-Futûhât al-Islâmiyyah, vol. 1, 61; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl, vol. 1, 50.

[18] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, vol. 1, 90; Said Hawa, Al-Asâs fî Tafsîr, vol. 1, 116.

[19] Al-Qurthubi, Al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,  1993), 182.

[20] Al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 139.

[21] Al-Qurthubi, Al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, vol. 1, 183; al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 139.


 
My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.