Lautan Darah di Gaza Makin Pertegas Doktrin Perang Israel |
Senin, 03 Maret 2008 | |
Tokoh Hamas, Khalid Mashaal menilai pernyataan Abbas sebagai "lampu hijau" agar Israel menyerang Jalur Gaza. Toh, tak ada reaksi atau kecaman dunia pada Israel Analisis internasional: Oleh Musthafa Luthfi * Masyarakat dunia khususnya bangsa Arab dan Muslim terutama para pemimpinnya, entah tidak mengetahui atau pura-pura tidak mengetahui bahwa pembantaian dan holocaust adalah doktrin perang Israel yang selalu diterapkan dalam peperangannya dengan Arab. Pembantaian berdarah Sabtu (1/3) di Gaza yang menyebabkan lebih dari 61 orang mati syahid, 10 orang diantarannya dari kalangan anak-anak bahkan ada yang masih menyusu makin mempertegas doktrin tersebut. Serangan pada hari Sabtu sejak dini hari hingga sore itu menambah deretan warga Palestina yang gugur sebagai syahid menjadi 80 orang lebih sejak serangan dimulai Rabu lalu. Marilah kita buktikan mulai dari perang terdekat, sebelum serangan Gaza itu, hingga perang pertama negeri zionis itu dengan Arab yang menggambarkan dengan jelas bahwa holocaust adalah doktrin perang negeri Yahudi itu yang selalu diterapkan dalam setiap peperangan dengan bangsa Arab. Kita mulai dari perang musim panas dengan Libanon (Hizbullah) pada 2006. Pada saat Hizbullah mampu mengimbangi serangan Israel, negeri zionis itu melakukan pembantaian di desa Qana di wilayah selatan Lebanon 30 Juli 2006. Dunia internasional kembali dibuat geger sehingga mengingatkan kembali pada pembantaian serupa yang terjadi di tempat yang sama pada 1996. Tragedi Qana tersebut telah menimbulkan lebih dari 60 warga sipil tak berdosa tewas seketika dibawah runtuhan gedung yang dibom pesawat tempur Israel, dan lebih separo dari korban adalah anak-anak tidak berdosa. Bangkai anak-anak yang tewas bagaikan "kecoa" yang terkena semprotan hama itu telah menimbulkan protes keras internasional terutama dari negara-negara Muslim dan banyak LSM internasional yang bergerak di bidang HAM sudah menyiapkan dokumen untuk melaporkan Israel ke pengadilan HAM internasional. Tragedi kemanusiaan akibat "holocaust" itu paling-paling hanya mengingatkan publik akan tragedi serupa yang pernah dilakukan Israel di daerah yang sama pada tahun 1996. Sekitar 10 tahun yang lalu, pesawat tempur negeri Yahudi itu, tanpa ampun menghujani sebuah tempat penampungan pengungsi milik PBB di desa Qana yang menewaskan 100 orang lebih dari kaum wanita dan anak-anak. Seperti biasa, Tel Aviv dengan enteng menyatakan "khilaf" alias salah target dengan dalih perlawanan Hizbullah saat itu menembakkan roket-roketnya di dekat pos milik PBB. Dalih yang sama juga dimunculkan menjawab protes dunia atas holocaust Qana kedua pada perang Lebanon 2006. Tapi yang terjadi sesungguhnya adalah negeri Yahudi melaksanakan sebuah doktrin perang yang selalu diterapkan dalam setiap peperangan melawan negara-negara Arab untuk ``mempercepat`` kemenangan. Doktrin perang negeri zionis yang didirikan di wilayah Arab Palestina oleh para imperialis itu selama ini sering luput dari perhatian publik dunia. Akibatnya, publik selalu tertipu dengan dalih salah target oleh Israel. Bila melihat sejenak ke belakang, sejarah peperangan Arab-Israel telah membuktikan dimana keterlambatan kemenangan yang diinginkan negeri Yahudi selalu dibarengi holocaust. Doktrin holocaust yang diterapkan Israel dalam setiap peperangan dengan Arab sebenarnya diilhami dari holocaust bangsa Aria oleh para pemimpin Nazi Jerman yang dilakukan kepada warga Yahudi. Mayjen (Pur), Sulaiman Al-Anqari, pakar strategis Arab pernah menulis dalam artikelnya di harian Al-Sahrqul Awsat, seusai perang Libanon 2006 bahwa doktrin tersebut selalu diterapkan negeri zionis tersebut pada saat "kepepet" dalam satu pertempuran sebagai senjata untuk mempercepat kemenangan, sekaligus menghancurkan semangat juang Arab. Penerapan di lapangan Sejarah konflik Arab-Israel membuktikan penerapan di lapangan doktrin tersebut yang mulai dari perang pertama pada 1948 hingga perang keenam pada 2006 di Libanon. Pada perang 1948 misalnya, tentara Israel yang kewalahan menghadapi perlawanan gagah berani gerilyawan Palestina akhirnya melakukan serangkaian holocaust seperti pembantaian di Deir Yasin yang korbannya adalah anak-anak dan kaum wanita. Pembantaian tersebut tetap tercatat rapi dalam sejarah yang hingga saat ini justeru mengilhami generasi muda Palestina untuk tidak pernah padam semangat juangnya menghadapi pendudukan Israel. Pada perang kilat tahun 1967, negeri zionis itu kembali melakukan pembantaian serupa, namun kali ini tidak membutuhkan anak-anak atau wanita tapi tawanan perang Mesir yang tidak berdaya. Puluhan tentara Mesir dan personil yang ditawan dengan tangan terikat dibantai dan dikuburkan secara masal. Berita pembantaian tersebut sengaja dibocorkan untuk menimbulkan kepanikan di kalangan publik dan militer negeri Piramida itu. Seandainya pembantaian tersebut bukan suatu doktrin peperangan, niscaya aksi holocaust tersebut akan tetap tersimpan rapi menjadi rahasia di bawah tanah hingga saat ini. Pada perang Yom Kipur tahun 1973 antara Israel melawan Mesir dan Suriah, pasukan negeri Israel yang sudah terdesak oleh pasukan Mesir itu kembali melakukan pembantaian terhadap anak-anak sekolah di daerah Bahrel Baqer Mesir. Seperti biasanya, Tel Aviv mengklaim salah sasaran. Namun aksi holocaust tersebut tidak mampu mengintimidasi pasukan Mesir sehingga AS turun tangan membantu sekutu strategisnya hingga perang berakhir tanpa ada "menang-kalah". Pembantaian tersohor lainnya yang dilakukan negeri Yahudi itu kembali terjadi di saat perang melawan Lebanon tahun 1982 yang dipimpin oleh Jenderal Ariel Sharon yang mantan PM Israel. Lebih 5 ribu pengungsi Palestina tak berdaya di kamp Shabra dan Shatila dibantai sehingga Sharon yang sekarang tinggal menunggu ajalnya karena tidak bisa bergerak itu dikenal di kalangan publik Arab sampai saat ini sebagai tukang jagal. Pembantaian serupa juga dilakukan dalam eskalasi di Lebanon tahun 1996 dan 2006 seperti dijelaskan sebelumnya. Jadi dalih salah sasaran merupakan "lagu lama" yang seharusnya ditentang keras oleh masyarakat dunia terutama dunia Arab dan Islam. Bahkan doktrin perang ini mendorong tentara Israel untuk menghabisi pejabat-pejabat PBB seperti komisi pencari pakta PBB yang berusaha untuk mencari fakta pembantaian yang dilakukan negeri Yahudi tersebut. "Kemenangan" yang diingikan lewat perang Libanon pada 2006, tidak hanya bertujuan untuk menghancurkankan atau minimal memandulkan perlawanan Hizbullah tapi untuk melapangkan jalan menuju Timur Tengah (Timteng) baru. Kita keliru bila menilai serangan Israel di Libanon saat itu yang menjadikan penculikan dua tentaranya sebagai dalih menyerang Libanon semata-mata menghancurkan perlawanan Hizbullah. Target utamanya adalah Timteng baru yang sepi dari perlawanan Arab sehingga segala kebijakan kawasan tersebut sepenuhnya "digodok" lewat persetujuan Tel Aviv untuk melanggengkan "perdamaian" yang diinginkannya. Resolusi PBB nomor 1559 secara tyersirat bertujuan untuk melucuti Hizbullah. Ironis Sangat ironis pernyataan yang keluar dari Menteri Penerangan (Menpen) Palestina, Riyadh Al-Maliki yang melimpahkan tanggung jawab di pundak Hammas atas pembantaian Gaza kali ini. Al-Miliki Sabtu (1/3) menyebut tembakan roket-roket Hamas ke bagian selatan Israel sebagai dalih negeri zionis itu melakukan pembantaian di Gaza sehingga Hamas harus bertanggungjawab atas eskalasi Gaza. Pernyataan ini ibarat "lampu hijau" bagi Tel Aviv untuk terus melanjutkan aksi brutalnya. Sebelumnya, Presiden Abbas juga tidak tepat mengeluarkan pernyataan bahwa anasir Al-Qaidah menyusup ke Gaza. Tanpa berniat membela salah satu faksi di Palestina, jelas pernyataan itu menimbulkan rasa kesal para petinggi Hamas sehingga Ketua Bidang Politik Hamas, Khalid Mashaal menilai pernyataan Abbas sebagai "lampu hijau" agar Israel menyerang Gaza sebab Al-Qaidah adalah musuh bersama yang harus dimusnahkan. Sangat disayangkan pernyataan-pernyataan itu makin memperuncing perpecahan intern Palestina yang memang ditunggu-tunggu Israel untuk melanjutkan pembantaian pada saat masyarakat dunia terutama dunia Arab membisu. Para pemimpin Palestina seharusnya sadar bahwa holocaust yang dilakukan Israel sebelum peristiwa berdarah di Gaza itu tidak membutuhkan dalih serangan roket seperti yang terjadi di Gaza. Sebab pembantaian kepada warga sipil tetap akan dilaksanakan sebagai doktrin perang zionis. Singkatnya, penerapan doktrin tersebut kali ini selain bertujuan mempercepat pemandulan Hamas juga mempercepat terwujudnya Timteng baru yang sunyi dari perlawanan bersenjata. Namun hampir dapat dipastikan bahwa rencana tersebut akan gagal, karena sejarah mencatat bahwa perlawanan tidak pernah padam selama penjajahan dan kelaliman terhadap suatu bangsa masih berlangsung. |
My personal web: http://pujakesula.blogspot.com or http://endyenblogs.multiply.com/journal
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
No comments:
Post a Comment