Friday, February 29, 2008

KHILAFAH ISLAMIYAH

Tinjauan Historis Keruntuhan, Urgensitas, dan
Upaya Menegakkannya Kembali
Oleh : Syarifuddin, STP. MP. )
"Hendaklah kamu menghukumi mereka berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka." (QS al-Maidah 49)
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang-orang yang menyeru kepada (agama) Allah, mengajarkan amal sholih dan berkata : 'Sesungguhnya aku termasuk golongan orang-orang muslimin'" (QS.Fushilat 33)
Sekilas Khilafah dan Keruntuhannya
Khilafah Islamiyah adalah bentuk negara Islam. Ia merupakan kepemimpinan umum - dalam bentuk negara - bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syari'at Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Kata lain Khilafah adalah Imamah. Khilafah merupakan kelanjutan Negara Islam yang didirikan oleh Rasulullah di Madinah menjadi penjaga kehormatan kaum muslimin, pelindung Islam, serta penebar pedoman hidup bagi seluruh ummat manusia didunia melalui dakwah dan jihad. Daulah Islam menjadi negara super power selama 6 abad yang tidak pernah dialami oleh negara-negara lain.
Kehancuran Khilafah terakhir yang berpusat di Turki lebih disebabkan oleh merosotnya pemikiran politik ummat Islam, terutama di kalangan penguasa dan pejabat, ketidakberesan administrasi pemerintahan, serta penyakit cinta dunia. Selain itu juga berkembangnya nasionalisme yang diajarkan oleh barat (Inggris) di bagian wilayah kaum muslimin yang mendorong cepatnya keruntuhan Khilafah. Pada saat yang sama Inggris menanamkan kadernya -Musthafa Kemal- untuk menggulung Khilafah dari dalam dan membentuk konspirasi internasional guna meghapus Khilafah dari muka bumi.
Selama kurun waktu abad 6-7 H/ 11-12 M negara-negara eropa mulai mendeteksi adanya perpecahan dalam pemerintahan Daulah Islam. Beberapa wilayah (propinsi) memisahkan diri, sejumlah wali gubernur berinisatif melakukan otonomi dalam beberapa kebijakan internal, seperti angkatan bersenjata, keuangan, kekuasaan, dan sebaginya.
Pada kondisi tersebut negara-negara Eropa khususnya Inggris berupaya menghancurkan Khilafah dengan berbagai pengaruh internasional dan kemajuannya akibat keberhasilan revolusi industri. Sekalipun terdapat perbedaan diantara negara-negara kafir tentang pembagian wilayah kaum muslimuin tetapi mereka sepakat tentang penghancuran Islam.
Berikut ini beberapa hal penting proses runtuhnya Khilafah Islam:
1. Awalnya negara Eropa berupaya membangkitkan semangat nasionalisme dan kemerdekaan bangsa-bangsa eropa yang dibawah pemerintahn Islam. Misalnya daerah Baklan meliputi Bosnia, Serbia, demikian juga Yunani.
2. Memberikan bantuan senjata dan mendorong untuk memberontak pada Daulah Islam seperti di Yunani dan Serbia.
3. Menduduki dan menyerang secara langsung. Seperti yang dilakukan Prancis menduduki Mesir tahun 1798, dan bergerak ke palestina dan mendudukinya.
4. Menggunakan dan memperalat perkembangan gerakan Wahabbi untuk menyerang Khilafah. Inggris memanfaatkan madhab Wahhabi untuk maksud politis menghancurkan daulah Islam. Pengikut Wahabbi tidak menyadari hal itu namun amir Saudi dan pengikutnya sadar sepenuhnya. Inggris bersekutu dengan gerakan. Wahabbi menggunakan Abdul Azis bin Muhammad Bin Saud membantu senjata dan dana untuk melawan dan merampas wilayah Khilafah. Dimulai dari pusat perkembangan Wahabbi di sekitar Dri'iyah yang bergerak dalam aspek dakwah dan pemerintahan menyerang dan menduduki Kuwait tahun 1788, megepung Bagdad, tahun 1803 menyerang Makkah dan mendudukinya, tahun 1804 menyerang Madinah dan mendudukinya. Merampas wilayah Hizas, dan menduduki kota Hims di Syam. Tahun 1810 menyerang Damaskus dan Najaf Upaya melawan pemberontakan kelompok wahabbi dilakukan oleh khilafah namun gagal. Baru tahun 1811 Gubernur Mesir Muhammad Ali atas bujukan Prancis mau memerangi kaum Wahabbi hingga 1812 menduduki Madinah, sampai 1818 kaum Wahabbi menyerah di ibukotanya Adalah-Dir'yyah.
5. Prancis secara terbuka mendukung agenya gubernur Mesir Muhammad Ali untuk melawan Khilafah. Mesir menyatakan melawan Khilafah dan bergerak menuju Syam tahun 1831 untuk menguasainya. Ia menduduki Palestina, Lebanon, Suriah dan menyusup ke Anatolia. Khalifah menghadapinya. Ingris, Rusia, Jerman turut menentang Muhammad Ali, sehingga ia kembali ke Mesir lagi.
6. Negara barat melalui agenya berupaya secara sistematis memasukkan konstitusi Barat ke Daulah Islamiyah. Tahun 1839 seluruh tokoh pemerintahan, masyarakat Istambul, perwakilan negara luar, serta anggota diplomatik diundang dalam suatu sidang di Daulah Islamiyah. Pada saat itu dibacakan "Naskah yang Mulia " atau "Kalkhanah" yang berisi sekumpulan hukum Eropa dengan sejumlah perhatian hukum Islam. Tahun 1855 Inggris menekan Daulah untuk melakukan perubahan konstistusional yang akhirnya disetujui Sultan (Khilafah) 1 Pebruari 1855. Pada tanggal 23 Desember 1876 "Qonun Assasy " yang diadopsi dari hukum Belgia disyahkan jadi undang-undang negara. Saat itulah Islam tidak lagi menjadi konstitusi negara. Tetapi pemerintah melaui Sultan Abdul Hamid dan para ulama tidak bisa menerapkan UU itu, karena jika diterapkan akan menghapus keKhilafahan.
7. Partai Turki Muda memberontah pada Sultan tahun 1908 dengan mendeklarasikan konstitusi di Salonika 21 Juli 1908, dan menyerang Istambul dan mendudukinya, serta memaksa sultan mengangkat menteri yang mereka terima. Tanggal 26 April 1909 komite nasional dibentuk berdasr fatwa Syaikul Islam, dan komite itu memberhentikan Sultan Abdul Hamid diganti M. Rasyad. Pada waktu itu Daulah telah berubah dari sistem Khilafah menjadi konstitusional parlementer. Yang tersisa kepala negara yang disebut Khilafah yang menguasai kesultanan. Undang-undang disusun parlemen. Peran hukum syara' dalam pemerintahan dan perundang-undangan telah berakhir.
8. Kekalahan Khilafah pada perang dunia I dengan sekutu menyebabkan Daulah khilafah dikuasai oleh sekutu dengan sebuah perjanjian. Pihak pemenang perang -yaitu sekutu- berhak menentukan syarat–syarat perdamaian. Pada saat itu Musthofa Kemal yang sudah menentang Khilafah dengan siasat liciknya dan bantuan Inggris berhasil menegakknya "pemerintahan negara di Ankara" yang menjadi pengendali Turki. Sementara Khilafah Islam di Istambul menjadi penguasa yang tidak memiliki kewenangan apapun. Pada saat Perjanjian Lausane dibuka tanggal 20 November 1922 dengan Ankara sebagai wakil Daulah Islamiyah yang diwakili Ismat Pasha dan dihadiri oleh menteri luar negeri Inggris Lord Curzon saat itu. menetapkan 4 syarat sebelum mengakui kemerdekaan Turki. Syarat tersebut adalah :
1. Penghapusan Khilafah secara total
2. Pengusiran khalifah sampai keluar batas-batas negar
3. Penyitaan kekayaan Khalifah
4. Pernyataan sekularisasi negara.
Pemerintah Ankara yang saat itu dipimpin oleh Perdana Menteri Rauf Beik dengan Majelis Nasionalnya membahas pengajuan syarat tersebut, ternyata deadlock. Dengan kelicikannya dan melalui agen-agennya di Majelis Nasional, Musthafa Kemal berhasil mempengaruhi agar Majelis Nasional mengundang Mustofa Kemal untuk memecahkan kebekuan majelis Nasional dan menyerahkan keputusan padanya.
Pada sidang 29 Oktober 1923 Musthofa Kemal mengumumkan pembentukan "Turki menjadi Republik" dan Majelis Nasional menetapkan dia sebagi presiden pertama. Keputusan ini mendapat reaksi keras dari ulama' dan rakyat.
Pada sidang Majelis Nsional 1 Maret 1924 dengan dibuka dengan fokus perlunya penghapusan Khilafah, Mustofa kemal menyatakan keputusan tentang penghapusan pengusiran khilafah dan sekularisasi negara. Musthofa Kemal menyatakan " Bagaimanapun juga kita harus menyelamatkan Republik yang berada dalam bahaya dan membangunnya dengan landasan yang kokoh dan ilmiah. Khalifah dan para pewarisnya dari Banu Utsmaniyyah harus pergi. Peradilan agama yang bobrok dan hukum-hukumnya harus diganti dengan peradilan dan hukum-hukum modern, dan sekolah-sekolah agama harus menyerahkan tempatnya kepada sekolah-sekolah negeri sekuler." Perdebatan sengit terjadi namun tidak menghasilkan apa-apa.
Pada tanggal 3 Maret 1924 diumumkan bahwa Majelis Nasional telah menyetujui penghapusan Khilafah dan pemisahan agama dari urusan negara. Pada malam harinya Musthafa Kemal memerintahkan gubernur Istamul untuk mengusir Khalifah sebelum fajar keluar Turki.
9. Dengan demikian Musthofa Kemal telah berhasil memenuhi 4 syarat yang disodorkan Inggris agar Turki diakui sebagai negara merdeka setelah Khilafah kalah perang dengan sekutu. Persetujuan Lausanne ditandatangani 24 Juli 1924 dengan pengakuan kemerdekaan Turki, Inggris menarik pasukannya dari Istambul, dan selat. Pada saat sidang parlemen Inggris ada protes pengakuan Inggris terhadap kemerdekaan Turki, dijawab oleh PM Inggris Curzon "Yang utama persoalannya adalah bahwa Turki telah dihancurkan dan tidak akan pernah bangkit lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan spiritual mereka, yaitu Khilafah dan Islam." Demikianlah secara singkat Khilafah runtuh sehingga ikut runtuh pula kapasitasnya sebagai negara, sumber perundang-undangan ummat, sebagi pedoman hidup.
Urgensitas Tegaknya Khilafah
Khilafah merupakan aspek terpenting dalam kehidupan kaum muslimin. Dengan adanya Khilafah kaum muslimin akan dapat melaksanakan syari'at Islam secara kaffah. Kekhilafahan Islam, sejak Khulafa' ar-Rasyidin (meninggalnya Rasulullah saw.) hingga Kekhilafahan Turki Utsmani. Nabi saw. beserta para sahabat selama belasan tahun, yang telah menguras tenaga, pikiran, strategi, dan taktik, bahkan sering mengorbankan harta dan mempertaruhkan jiwa dalam upaya membangun Daulah Islamiyah. Upaya tersebut terus dilakukan dengan memperkuat bangunan Daulah, melebarkan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, dan mempertahankannya dari serangan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
Setelah Rasulullah saw wafat, kepemimpinan negara beralih pada Abu Bakar r.a. Sejak saat itulah Kekhilafahan Islam dimulai. Daulah Khilafah Islamiyah selama berabad-abad menjadi satu-satunya institusi negara dan politik bagi seluruh kaum Muslim untuk menerapkan seluruh sistem hukum Islam, menjadi institusi paling efektif menjalankan dan menyebarluaskan dakwah Islam ke penjuru dunia, menghancurkan berbagai penghalang fisik/ militer pihak musuh Islam dan kaum Muslim. Pada institusi inilah kaum muslimin bersandar serta mengadukan berbagai tindakan kezaliman yang mereka alami serta berbagai kesengsaraan hidup. Daulah Khilafah Islamiyah merupakan tempat mereka berlindung dari rasa takut akan ancaman, pengejaran, penahanan, dan pembantaian yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
Benarlah kiranya sabda Rasulullah saw:
Sesungguhnya seorang imam (khalifah) itu adalah laksana perisai; orang-orang akan berperang dibelakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung. (HR Muslim).
Pada saat Daulah Khilafah tidak ada nasib umat Islam semakin terpuruk. Setiap saat dihadapkan pada persoalan dan krisis yang menumpuk tanpa penyelesaian berarti. Sistem hukum Islam dikebiri hanya pada sektor privat, identitas Islam dipasung, dan kaum Muslim sendiri ditindas. Yang paling mutakhir, selain krisis ekonomi yang semakin akut, umat Islam didera oleh krisis politik berupa tekanan yang bertubi-tubi dari pihak Barat imperialis, khususnya Amerika, di balik apa yang disebut sebagai "Perang Melawan Terorisme". Berbagai krisis tersebut sebetulnya bermuara pada krisis institusi negara, yakni tidak adanya Daulah Khilafah Islamiyah selama kurang-lebih 79 tahun.
Tanpa Daulah Khilafah, umat Islam sengsara luar biasa. Mereka menjadi terpecah-belah, hidup di sejumlah negeri yang lemah, serta terpasung oleh batas-batas geografis dan nation state. Inilah hasil rekayasa penjajah Barat. Jangankan bersatu menghadapi penjajah, bahkan umat Islam saling bertikai atas dasar kepentingan nasionalnya. Negara-negara di Timur Tengah rela menyediakan fasilitas pangkalan militer AS untuk menyerang negeri-negeri muslim seperti Afganistan dan Irak.
Tanpa Daulah Khilafah hukum-hukum Allah disektor publik (sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan) terlantar. Padahal, penelantaran terhadap hukum Allah telah menyengsarakan kaum Muslim. Kenyataan itu telah tampak jelas di tengah-tengah kita sekarang ini. Secara politik mereka tunduk pada permainan politik negara Barat penjajah. Secara ekonomi sebagian besar negeri Islam masuk kategori negara berkembang dan miskin, karena kekayaan alamnya diekploitasi untuk kepentingan penjajah Barat. Negeri Islam yang kaya, seperti Indonesia, dijerat utang luar negeri yang sengaja dipasang oleh IMF dan Bank Dunia. Akibatnya, mereka tak berkutik di hadapan kepentingan kapitalisme Barat.
Di bidang pemerintahan, sebagian besar negeri Islam mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi. Padahal, demokrasilah sesungguhnya yang menjadi pemicu utama terjadinya berbagai konflik antar sesama kaum muslim, khususnya antara rakyat dan penguasa mereka. Di bidang pendidikan dipaksa menyelenggarakan pendidikan sekular yang mencetak generasi Islam yang jauh dari akar Islam, bahkan benci Islam, menyakini ide-ide penjajah Barat dibanding ide-ide Islam.
Namun demikian, ketiadaan Daulah Khilafah Islamiyah bukan hanya mengakibatkan penderitaan umat Islam, tetapi juga melahirkan nestapa bagi seluruh umat manusia di dunia. Saat dunia dipimpin Barat kapitalis dunia mengalami penderitaan luar biasa dalam berbagai bidang. Krisis global terjadi saat ini, mulai dari masalah kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, kebodohan sampai pada konflik dan ancaman.
Upaya menegakkan Khilafah
Mengapa Kita Perlu Khilafah? Banyak sekali argumentasi rasional (baik secara politis, historis, maupun sosial) yang diajukan. Tulisan ini tidaklah mengarahkan kewajiban kaum Muslim menegakkan negara (Khilafah Islamiyah) berdasarkan pandangan akal manusia, respon masyarakat, maupun pernyataan ulama maupun intelektual (baik yang positif maupun negatif). Sebab, hal itu bukanlah dalil syar'î, dan tidak layak jadi pertimbangan sedikit pun bagi kaum Muslim dalam aspek hukum dan keterikatan terhadap syariat islam.
Cukuplah kiranya hujjah itu berdasarkan Allah (al-Quran), Rasul-Nya (as-Sunnah) maupun Ijma Sahabat-yang meniscayakan kewajiban untuk menegakkan institusi negara yang berfungsi untuk menerapkan hukum-hukum Allah dan menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalil-dalil yang dimaksud adalah:
Pertama, firman Allah, antara lain adalah ayat berikut:
Hendaklah kamu menghukumi mereka berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (QS al-Maidah [5]: 49).
Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang Allah turunkan, mereka adalah orang-orang kafir. (QS al-Maidah [5]: 44).
Pada faktanya hukum-hukum Allah, bahkan hukum-hukum buatan manusia sekalipun, tidak pernah bisa dijalankan tanpa adanya institusi (yang berbentuk negara) untuk melaksanakan. Apakah mungkin hukum-hukum sekular bisa ditegakkan tanpa ada institusi (negara) sekular yang melaksanakannya? Jelas tidak mungkin. Begitu pula hukum-hukum Islam tidak mungkin bisa ditegakkan tanpa adanya institusi (negara Islam), yakni Daulah Khilafah Islamiyah yang melaksanakannya.
Kedua, hadis Rasulullah saw., antara lain adalah sabdanya berikut:
Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada baiat (ketaatan kepada seorang khalifah), maka matinya bagaikan mati Jahiliah (dengan menanggung dosa besar-pen). (HR Muslim).
"Kelak akan ada para khalifah yang banyak jumlahnya." Para sahabat bertanya, "Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Rasulullah menjawab, "Penuhilah baiat pertama; hanya yang pertama saja." (HR. Muslim).
Dalam hadis lain Rasul bersabda
Apabila terjadi baiat atas dua orang Khalifah, maka bunuhlah orang yang terakhir dibaiat dari keduanya. (HR. Muslim).
Hadis-hadis sahih yang berkenaan dengan baiat di atas secara pasti dan jelas mengandung perintah yang tegas, yakni kewajiban untuk mewujudkan pihak yang akan dibaiat oleh kaum Muslim, yakni seorang Khalifah (imam), yang tidak lain adalah kepala negara kaum Muslim. Artinya, kaum Muslim jelas diwajibkan untuk mewujudkan negara Islam, yakni Daulah Khilafah Islamiyah. Sebab, tidak mungkin ada khalifah/imam/kepala negara tanpa ada negara yang dipimpinnya.
Ketiga, Ijma Sahabat, ditunjukkan tidak adanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat Rasulullah saw mengenai wajibnya mengangkat pengganti (Khalifah) beliau setelah beliau wafat. Tindakan para sahabat yang menunda pengurusan jenazah Rasulullah saw -yang tidak diingkari kewajibannya oleh mereka sendiri- dan sibuk di Saqifah Bani Sa'idah untuk mengurusi pemilihan Khalifah, menunjukkan betapa wajib dan urgennya mewujudkan Kekhilafahan Islam bagi kaum Muslim. Kalaupun sempat terjadi perselisihan di kalangan mereka, hal itu tidak berkaitan dengan wajib-tidaknya pengganti (Khalifah) Rasulullah saw, tetapi berkaitan dengan siapa yang pantas menjadi Khalifah setelah wafatnya Rasulullah. Realitas sejarah ini jelas tidak mungkin dipungkiri oleh mereka yang cerdas dan jujur.
Dalil-dalil di atas, meski hanya sebagian, cukup menjadi bukti mengenai wajib dan perlunya umat Islam menegakkan kembali Kekhilafahan Islam. Keharusan menjaga tegaknya khilafah merupakan ibadah fardhu sebagaimana fardhu yang lain. Oleh karena fakta masa sekarang Khilafah telah diruntuhkan oleh musush musuh Allah, bagi kaum muslimin tidak ada lagi pilihan lainkecuali wajib menegakkannya kembali. Melalaikan aktifitas dakwah menegakkan kembali Khilafah merupakan kemaksiatan kepada Allah yang amat besar dimana Allah akan mengadzab dengan adzab yang sangat pedih.
Untuk menegakkan Khilafah banyak tantangan yang dihadapi jama'ah dan pengemban dakwah, diantaranya:
a. Permasalahan eksternal
1. Pemikiran kapitalisme dan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan negara.
2. Pemikiran komunisme dan sosialisme yang menolak seluruh agama dengan doktrinnya agama sebagai candu masyarakat.
3. Pemikiran-pemikiran barat lain yang menyerbu kaum muslimin misalnya : nasionalisme, patriotisme, asas manfaat, demokrasi liberal, pluralisme, hak asasi manusia, politik pasar bebas, ketiganya membelenggu umat dan negeri kaum muslimin.
b. Permasalahan internal
1. Dangkalnya pemahaman aqidah kaum muslimin, kurangnya pemahamaman Islam sebagai suatu sistem (aturan) kehidupan dan dianggap sebagai aturan ibadah semata.
2. Gerakan pemikiran yang merusak seperti aliran kebatinan, Freemansory (termasuk Lions Club dan Rotary Club), Inkarus Sunah.
3. Ide-ide yang membahayakan kaum muslimin seperti kerjasama antar umat beragama, dialog antar iman yang mencoba merusak pemahaman dan sikap kaum muslimin terhadap orang-orang non Islam.
4. Gambaran yang ekstrim terhadap penerapan terhadap syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dll.
5. Terpecah belahnya kaum muslimin menjadi sekitar 53 negeri.
Menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah bukan merupakan urusan yang mudah dan tanpa tantangan. Berbagai bahaya akan menghadang dari budaya dan pemikiran-pemikiran yang datang dari luar Islam, pemerintah yang tunduk dan membeo pada tekanan kafir barat yang mengokohkan status quonya, bahkan dari kalangan kaum muslimin sendiri yang masih phobi terhadap pelaksanaan syari'at Islam. Kaum muslimin belum tergambarkan dengan jelas bagaimana penerapan Islam ditengah-tengah komunitas masyarakat yang berbeda agama. Bagaimana Daulah Islam mengatur politik dalam negeri dan luar negerinya. Bagaimana daulah mengatur ekonominya dan aturan sosial kemasyarakatanya, dll.
Oleh karena itu usaha untuk mewujudkanya membutuhkan tahapan-tahapan yang jelas, perlu kita rujuk dari sunah Rasul Muhammad SAW. Usaha ini juga bukan merupakan suatu yang bersifat fardiyah, sehingga membutuhkan suatu kelompok yang secara konsisten memperjuangkannya. Jika kita sebagai seorang muslim yang ingin mendapatkan kemuliaan di sisi Allah maka merupakan kewajiban bagi kita untuk menyokong usaha mengarah ke sana. Berdiam diri terhadap kewajiban mengangkat seorang khalifah bagi kaum muslimin merupakan satu perbuatan maksiat yang besar. Bila kita seorang yang meyakini tentang kebesaran Allah dan kekuasaanya tidak ada pilihan lain, kecuali turut serta memperjungkannya.

Benarkah Khilafah Islamiyah cuma 30 Tahun?.. Atau sampai 1924?

KHILAFAH atau penguasa umat Islam itu sudah selesai sejak masa terakhir khulafaurasyidin selama 30 tahun saja. Setelahnya hanyalah sultan, malik atau raja. Anehnya, Hizbuttahrir Indonesia (HTI) berteriak “histeris” agar mengganti UUD 45 dan Pancasila dengan konsep Islam. Bagaimana Al Qur’an dan Rasulullah saw menginformasikan tentang khilafah ini?

Khilafah dalam Al Qur’an
Saya bertanya kepada seorang kyai dari Buntet Pesantren ketika ditanyakan mengenai persoalan khilafah, beliau menyarankan agar membuka tafsir ayat 55 surat An Nur. Selengkapnya ayat itu berbunyi sebagai berikut:
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور 55) Artinya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An Nur: 55)
Dalam tafsir Al Ahkam, Imam Al Qurthubi, menulis bahwa ayat ini merupakan janji Allah subhanahu wata’ala kepada Rasul saw bahwasanya Allah swt akan mengutus pemimpin (khalifah) untuk manusia di bumi sebagaimana ayat 30 Al Baqarah. Tujuannya, tulis tafsir ini, untuk memberesi urusan pemerintahan dan agar manusia patuh terhadap peribadatan. Juga agar manusia aman dari rasa takut serta menghukum mereka yang bersalah.
Selanjutnya, sejarah menulis setelah Rasulullah saw wafat, khalifah mulai ada. Berturut-turut dipegang oleh Abu Bakar as Shiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin ‘Affan ra dan Ali bin Abi Thalib kw. Dari keempat khalifah ini maka Islam kemudian berkembang pesat
Namun sebelum Rasulullah saw wafat, Nabi telah berpesan seperti yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah ra: Nabi s.a.w bersabda: “Segala urusan pengikut Bani Israel akan diatur oleh para Nabi. Apabila seseorang Nabi itu meninggal dunia, dia akan digantikan oleh seorang Nabi yang lain. Tetapi sesungguhnya tidak akan ada Nabi selepasku. Pada suatu ketika nanti akan muncul Khalifah. Para Sahabat bertanya: Apakah yang anda perintahkan kepada kami? Nabi s.a.w menjawab: Patuhilah perlantikan khalifah yang pertama, kemudian yang seterusnya. Penuhilah hak-hak mereka, sesungguhnya Allah akan menanyakan tentang apa yang telah dipertanggungjawabkan kepada mereka”. (Al Bayan 1092)
Dari ayat ayat dan hadits shoheh ini menunjukkan akan pentingnya khalifah. Karena khalifah merupakan pemimpin umat Islam. Namun pengertian khilafah sebagaimana ayat dan hadits di atas menunjuk pada kepemimpinan (khalifah) setelah Kanjeng Nabi Muhammad saw. Khalifah di sini menunjuk kepada khulafaurrasyidin.
Masa Khalifah hanya 30 Tahun
Bagaimana kemudian sepeninggal Rasulullah saw apakah masih ada khalifah yang akan meneruskan kepemimpinan umat Islam? Kita bisa menyimak bebeberapa tulisan hadits yang diambil dari kitab-kitab shoheh di bawah tulisan ini sebagai dasar bagaimana kedudukan khalifah dalam Islam itu ternyata hanya berumur 30 tahun saja.
Dari hadits-hadtis tersebut, singkatnya bahwa “Al khilafatu mim ba’dii tsalatsuna sanatan” khalifah sepeninggalku hanya tiga puluh tahun. Salah satu contoh hadits itu misalnya dari Kitab Sunan Ahmad hadits no. 4029 :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَافَةُ النُّبُوَّةِ ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللَّهُ الْمُلْكَ مَنْ يَشَاءُ أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ. [ سنن أبي داود 4029]
Rasulullah saw bersabda: “Khilafah kenabian itu (bertahan) selama 30 tahun kemudian Allah mendatangkan raja-raja kepada yang dikehendaki. (HR. Ahmad) dan masih banyak hadits-hadits sejenis di kitab-kitab lainnya. (Sunan Abi Dawud Hadtis no. 4029) Buat yang suka mempermasalahkan kata-kata Nabi soheh atau tidaknya, sedangkan kalau kata-kata Einstein tak pernah ditanyakan soheh tidaknya, sebaiknya merujuk sendiri ke kitabnya. (eh maaf kok agak sewot sih…. )
Hadits lain misalnya pada Kitab Sunan At Turmudzi hadits no. 2152
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ
Rasulullah saw bersabda: “Khilafah pada umatku ada tiga puluh tahun setelah itu para raja (sebagai penguasanya). HR. Turmudzi.
Angka 30 tahun itu terbukti dari sejarah Khulafaurrasyidin yang empat itu semuanya pada masa khulafaurrasyidin. Selengkapnya syarah hadits tersebut menerangkan hitungan dan rincian 30 tahun itu dihitung pada masa khulafaurrasyidin.
قوله : ( الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ) وفي رواية أبي داود : ” خلافة النبوة ثلاثون سنة ” . قال العلقمي قال شيخنا يعني الحافظ السيوطي : لم يكن في الثلاثين بعده صلى الله عليه وسلم إلا الخلفاء الأربعة وأيام الحسن , قال العلقمي : بل الثلاثون سنة هي مدة الخلفاء الأربعة كما حررته , فمدة خلافة أبي بكر سنتان وثلاثة أشهر وعشرة أيام , ومدة عمر عشر سنين وستة أشهر وثمانية أيام , ومدة عثمان إحدى عشرة سنة وأحد عشر شهرا وتسعة أيام , ومدة خلافة علي أربع سنين وتسعة أشهر وسبعة أيام Arti bebasnya : “Maksud ungkapan Nabi saw: “Khilafah umatku (masanya) 30 tahun”. Dan tulisan yang diriwayatkan oleh Abi Dawud: “Khilafah kenabian itu ada 30 tahun”. Menurut Al Ulqami, yang bersumber dari gurunya yaitu al Khafidz As Sayuti: bahwa tidak mungkin dalam angka 30 tahun khilafah setelah Nabi Saw wafat itu selain dari Khulafaurrasyidin. Tetapi 30 tahun itu sebetulnya adalah jumlah masa Khulafaurrasyidin yang empat: Kekuasaan Khalifah Abu Bakar Shiddiq ra [ 2 th + 3 bln+ 10 hr]; Khalifah Umar bin Khattab ra [10 tahun + 6 bulan + 8 hari]; Khalifah Utsman bin ‘Affan ra [ 11 th + 11 bl + 9 hr] Khalifah terakhir, Ali bin Abi Thalib ra [ 4 th + 9 bl + 7 hr) Jika dijumlah angka itu sama dengan ungkapan Nabi saw.
Romantisme Sejarah
Dari dalil naqli di atas sepertinya jelas sekali bahwa khilafah itu sudah dihapuskan setelah masa Khulafaurrasyidin. Setelah itu adalah raja. Cirinya, keturunan ke bawahlah yang berkuasa. Pantas semua kalangan ulama, negara di Arab Saudi dan Negara-negara Arab lainnya menurut KH. Hasyim Muzadi, tidak ada yang mengakui kekhalifahan umat Islam. Jadi, jika Al Qur’an dan Hadits saja sudah mewacanakan kekhalifahan selama 30 tahun, terus bagaimana “teriakan histeris” dari Hizbut Tahrir Indonesia akan mengganti UUD 45 dan Pancasila dengan syariat Islam melalui upaya Khilafah? Bukankah itu hanya romantisme sejarah? Kalau saja masih terus “ngotot” untuk terus “memaksa diri” mengegolkan cita-cita mendirikan syariat di Indonesia, maka bisa diikuti pendapat Prof. Dr. Azzumardi Azra agar HTI ikut bertarung dengan dalam kancah partai politik.
Hal mana HTI bisa belajar dari perjalanan sebuah partai Islam (P**) pada awal berdirinya. Dulu partai ini ramai-ramai mengangkat isu Palestina sehingga hampir seluruh Indonesia terkesima akan kehebatan partai ini yang menyuarakan simpati kepada dunia Islam di luar dunia Islam Indonesia. Nah apakah HTI akan terus berusaha mengegolkan khilafah di Indonesia dengan mendirikan syariat Islam di bumi yang pluralis ini? Wallahu a’lam.
1. Apakah Khilafah Islamiyyah Hanya Berumur 30 Tahun dan Selebihnya Kerajaan?
Kata khilafah yang tercantum dalam hadits tersebut maknanya adalah khilafah nubuwwah, bukan khilafah secara mutlak.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud dengan khilafah pada hadits ini adalah khilafah al-Nubuwwah (khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. Akan tetapi mereka tetap dinamakan sebagai khalifah.” Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud,”Khilafah Nubuwwah itu berumur 30 tahun”[HR. Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud no.4646, 4647]
Yang dimaksud khilafah Nubuwwah di sini adalah empat khulafaur Rasyidin; Abu Bakar, ‘Umar , ‘Utsman, dan Ali Bin Thalib. Mereka adalah para khalifah yang menjalankan roda pemerintahan seperti Rasulullah saw. Mereka tidak hanya berkedudukan sebagai penguasa, akan tetapi secara langsung benar-benar seperti Rasulullah saw dalam mengatur urusan pemerintahan. Sedangkan kebanyakan khalifah-khalifah dari dinasti Umayyah, ‘Abbasiyyah dan ‘Utsmaniyyah banyak yang tidak menjalankan roda pemerintahan seperti halnya Rasulullah saw, namun demikian mereka tetap disebut sebagai amirul mukminin atau khalifah.
Ada diantara mereka yang dikategorikan sebagai khulafaur rasyidin, yakni Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang dibaiat pada bulan Shafar tahun 99 H. Diantara mereka yang menjalankan roda pemerintahan hampir-hampir dekat dengan apa yang dilakukan oleh Nabi saw, misalnya Al-Dzahir bi Amrillah yang dibaiat pada tahun 622 H. Ibnu Atsir menuturkan, “Ketika Al-Dzahir diangkat menjadi khalifah, keadilan dan kebaikan telah tampak di mana-mana seperti pada masa khalifah dua Umar (Umar bin Khaththab dan Ibnu Umar). Seandainya dikatakan, “Dirinya tidak ubahnya dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka ini adalah perkataan yang baik.”
Para khalifah pada masa-masa berikutnya meskipun tak ubahnya seorang raja, akan tetapi mereka tetap menjalankan roda pemerintahan berdasarkan sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah Islamiyyah. Mereka tidak pernah menggunakan sistem kerajaan, kesultanan maupun sistem lainnyan. Walaupun kaum muslim berada pada masa-masa kemunduran dan keterpurukan, namun mereka tetap menjalankan roda pemerintahan dalam koridor sistem kekhilafahan bukan dengan sistem pemerintahan yang lain. Walhasil, tidak benar jika dinyatakan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun. Yang benar adalah, sistem kekhilafahan tetap ditegakkan oleh penguasa-penguasa Islam hingga tahun 1924 M.
Kata “al-muluuk”(raja-raja) dalam hadits di atas bermakna adalah,” Sebagian tingkah laku dari para khalifah itu tidak ubahnya dengan raja-raja”. Hadits di atas sama sekali tidak memberikan arti bahwa mereka adalah raja secara mutlak, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa para khalifah itu dalam hal-hal tertentu bertingkah laku seperti seorang raja. Fakta sejarah telah menunjukkan pengertian semacam ini. Sebab, para khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah tidak pernah berusaha menghancurkan sistem kekhilafahan, atau menggantinya dengan sistem kerajaan. Mereka tetap berpegang teguh dengan sistem kekhilafahan, meskipun sebagian perilaku mereka seperti seorang raja.
Meskipun kebanyakan khalifah pada masa dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah ditunjuk selagi khalifah sebelumnya masih hidup dan memerintah, akan tetapi proses pengangkatan sang khalifah tetap dilakukan dengan cara baiat oleh seluruh kaum muslim; bukan dengan putra mahkota (wilayat al-’ahdi).
Makna yang ditunjuk oleh frasa “dan setelah itu adalah raja-raja” adalah makna bahasa, bukan makna istilah. Dengan kata lain, arti dari frasa tersebut adalah “raja dan sultan” bukan sistem kerajaan dan kesultanan. Atas dasar itu, dalam hadits-hadits yang lain dinyatakan bahwa mereka adalah seorang penguasa (khalifah) yang memerintah kaum muslim dengan sistem khilafah. Dituturkan oleh Ibnu Hibban, “Rasulullah saw bersabda,”Setelah aku akan ada para khalifah yang berbuat sebagaimana yang mereka ketahui dan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepada mereka. Setelah mereka berlalu, akan ada para khalifah yang berbuat tidak atas dasar apa yang diketahuinya dan mengerjakan sesuatu tidak atas apa yang diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang ingkar maka ia terbebas dari dosa, dan barangsiapa berlepas diri maka ia akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridlo dan mengikuti mereka maka ia berdosa.”
Penjelasan di atas sudah cukup untuk menggugurkan pendapat yang menyatakan bahwa sistem khilafah Islamiyyah hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Hadits-hadits yang mereka ketengahkan sama sekali tidak menunjukkan makna tersebut. Sistem khilafah Islamiyyah tetap berlangsung dan terus dipertahankan di sepanjang sejarah Islam, hingga tahun 1924 M. Meskipun sebagian besar khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah bertingkah laku tak ubahnya seorang raja, namun mereka tetap konsisten dengan sistem pemerintahan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw, yakni khilafah Islamiyyah.
Tugas kita sekarang adalah berjuang untuk menegakkan kembali khilafah Islamiyyah sesuai dengan manhaj Rasulullah saw. Sebab, tertegaknya khilafah merupakan prasyarat bagi tersempurnanya agama Islam. Tidak ada Islam tanpa syariah, dan tidak ada syariah tanpa khilafah Islamiyyah.
yasin nur falah Berkata: 8 September, 2007 pada 1:49 pm
Islam memang pernah jaya dan pernah mengalami zaman keemasan. itu dulu. tetapi bukan berarti saat ini negara ini diajak menggunakan sistem khilafah, kenapa? karena konteksnya sangat tidak nyambung. Indonesia ya Indonesia, Arab ya Arab di mana kedua negara ini memilki perbedaan dalam segala hal. jangankan perbedaan antar negara dalam mengaplikasikan syari’at agama, wong satu negara saja yang podo-podo Islame ada banyak perbedaannya. Tapi menurut saya itu tidak menjadi soal karena perbedaan adalah sebuah rahmat, kalau kita mau berlapang dada melihat perbedaan itu termasuk dengan tidak setujunya memakai istilah khilafah di negara ini. artinya selagi orang islam itu beriman kepada Allah dan rasulnya serta percaya akan adanya hari pembalasan, maka itu sudah merupakan bagian dari aktualisasi niali-nilai Islam. apa pun bajunya dan bagaimana pun caranya. Ber Islam enjoy aja lagi.
2. Kepada ikhwan yasin nur falah, coba marilah berfikir secara jernih, bukankah ajaran Rasulullah dalam Al Qur’an dan Sunnah2nya diperuntukkan bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman, bukan manusia zaman Rasul saja. Kalau dulu Islam diterapkan dan mampu membawa kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia dan seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) mengapa sekarang harus ragu dengan alasan konteknya tidak nyambung.
Waktu zaman Rasulpun orang yang meragukan kemampuan Islam juga tidak sedikit, bahkan berbagai macam tuduhan dilontarkan kepada Rasul, bahkan sampai Rasul dituduh gila. Tetapi kalau sekarang setelah kita menyatakan beriman, tetapi ragu terhadap islam bahwa dalam islam ada solusi, ini sungguh aneh.
Indonesia dan arab memang berbeda, apalagi terhadap seluruh belahan dunia, sangat-sangat berbeda dan beragam, akan tetapi semua bumi dan seisinya ini ciptaan Allah, Allah Maha Tahu atas segala makhukNya, karenanya Allah Maha Tahu atas hukum dan aturan yang harus diterapkan untuknya. Syariat Islam (hukum-hukum Allah) jelas telah mengakomodir selururh perbedaan tersebut.
Apakah kita menganggap bahwa syariat islam ini hanya diperuntukkan bagi bangsa arab, hanya karena turunnya syariat tersebut di arab dan melalui orang arab (Rasulullah). Lantas mengapa kalau demikian kita juga harus shalat dengan cara shalatnya orang-orang arab. Apakah ini bukan merupakan ketidakkonsistenan.
Beriman kepada Allah dan RasulNya tidak cukup hanya dalam ucapan, tapi harus diimplementasikan dalam perbuatan terhadap apa saja yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya.
1. Kepada Ikhwan Roin Siroj 12, kewajiban-kewajiban islam itu tidak hanya 5 rukun islam, kalau setiap kewajiban harus dimasukkan dalam rukun islam, maka jumlah rukun islam akan menjadi tidak jelas.
Sebetulnya yang perlu dilakukan oleh seorang muslim, cukup melihat dalil-dalil yang mendasarinya, apakah dalilnya kuat atau tidak (ini kalau kita mampu atau memiliki cukup ilmu untuk menilai dalil), tapi kalau tidak mampu cukup mengikuti bagaimana ulama menghukumi tentang masalah tersebut dalam hal ini masalah “khalifah dan khilafah”, banyak kok ulama yang telah membahasnya.
Dan saya yakin kalau di pesantren masalah ini bukan hal baru, ada kitab2nya kok yang membahas masalah tersebut, hanya saja mungkin tidak diajarkan lagi, karena dianggap tidak aplikatip, padahal sangat diperlukan untuk bisa mendapatkan pemahaman islam dengan lebih baik.
Saya pernah berkunjung ke salah satu pesantren, ketika kami berdiskusi mereka merasa bahwa apa yang mereka pelajari di pesantren kadang sulit mengaitkannya dengan fakta, dan mereka baru bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas, saat mengkaji ahkam sulthaniyyah.
Contoh, tentang hadist-hadist baiat, ayat-ayat taat kepada pemimpin, dan banyak lagi hadist dan ayat terkait dengan pemimpin, maka pemimpin seperti apa, baiat kepada siapa, dst.
1. eh, saya membaca artikel anda dengan perasaan yang gimana gitu? begini ya mas, jika anda seorang muslim sejati…kenapa anda tidak mendukung syariat islam itu di berlakukan di negara tercinta ini? apakah anda tidak bosan…jika idul fitri kita ribut? idul adha ribut? tahlilan ribut? capek aku…
dalam islam, sepengetahuan saya…ada tiga terminologi yang harus dipahami tentang subyek syariat islam itu sendiri:1. syariat yang dibebakan di individu hukumnya…….wajib bo’ tuladha: sholat, zakat lan konco-koncone2. syariat yang dibebankan kepada kelompok… kalo ini fardhu kifayah.3. syariat yang dibebankan pada negara…,tulodho: hukum2 peradilan, khudud, jinayat, mawaris, bahkan hukum2 fiqih yang menyangkut kehidupan sehari2.pertanyaannya adalah, negara yang seperti apa yang dibebani syariat (N0.3)SETELAH SAYA MELAKSANAKAN KAJIAN TERHADAP sistem negara ternyata, yang cocok dengan syariat islam…hanya bentuk negara khilafah…atau imamah…sampeyan pasti tahu…bahwa asshobiyah itu diharamkan dalam islam, jadi the fact is khilafah pernah memimpin dunia selama 13 abad tentu maksud saya disini tidak sesempurna khilafaurroshidin. tetapi, meskipun demikian para kholifah tetap bersiteguh dan mengigit syariat islam dengan gigih di geraham mereka. bisakah anda membuka sejarah tentang masa-masa kegemilangan islam di daulah umayyah dan abbasiyah…bisakah difikirkan, apa yang terjadi sekarang? islam dipijikkan dihina dilecehkan dihina…etc… didentikkan dengan TERORIS bo’…kebodohan apalagi? padahal kan islam yang membebaskan kita dari zaman jahiliyah!!! lantas jika bersatu bisa membuat kita menjadi kuat dan kokoh, why not? saya pernah membaca di situs CNA bahwa barat(amerika lan dulur2e) sangat khawatir dengan kembalinya the great khilafet…saya yakin Islam,,, AKAN BERJAYA KEMBALI DAN BERSATU, itu janji Allah seperti yang anda tulis kan?jadi apa salahnya kita BERONTAK…KITA TERIAK…ALLAHu AKBAR!!!! balas ya…

Materialisme Merusak Mental Anak-Anak

Materialisme Merusak Mental Anak-Anak Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Sabtu, 01 Maret 2008
Salah satu penyebab munculnya masalah mental pada anak-anak dan remaja akibat rasa ingin memiliki yang berlebihan (posesif). Salah satunya adalah sifat hedonisme
ImageHidayatullah.com--Harta bukanlah segalanya. Namun sayangnya, akibat kehidupan modern yang serba materialisme itu, mental anak-anak menjadi rusak. Padahal, kasih sayang tidak mesti ditunjukkan dalam bentuk harta bahkan membuat orangtua harus rela utang sana-sini untuk memenuhinya.
Fenomena rusaknya mental anak-anak akibat materialisme itu pun tampak sangat parah di negara maju seperti Inggris. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 89 persen orang dewasa di sana sepakat bahwa anak-anak semakin menjadi materialistis dibandingkan sebelumnya.
Temuan ini berdasarkan survei GK NOP yang melibatkan 1.225 responden orang dewasa di Inggris. Dari hasil temuan polling ini, sebagian besar orang dewasa Inggris meyakini bahwa anak-anak generasi zaman sekarang lebih materialistis dibandingkan anak anak sebelumnya. Polling ini di antaranya menanyakan tentang berbagai macam permintaan anak-anak kepada orangtuanya.
Lembaga The Children's Society menyatakan, orang dewasalah yang harus bertanggung jawab atas fenomena tingginya level pemasaran produk komersial pada anak-anak. Kepala The Children's Society Bob Reitemer menuturkan, pertanyaan penting muncul mengenai bagaimana membiarkan anak tumbuh dan berkembang yang bebas dari berbagai macam teknik pemasaran produk industri.
"Kita tidak bisa menyalahkan anakanak begitu saja karena munculnya budaya ini. Selama ini orang dewasa apakah mendukung anak menjadi materialistis atau tidak," ujarnya. Tercatat, keuntungan industri di Inggris dari segmen pasar anakanak diestimasikan mencapai sebesar 30 miliar poundsterling.
Kepala Lembaga National School Partnership Mark Fawcett menyatakan, tidak mungkin melindungi anak-anak dari dunia nyata saat ini. Sebab, masuknya beragam informasi dengan bebas memang bisa didapatkan anak-anak. Meski demikian, bukan berarti tanpa jalan keluar.
Menurut Fawcett, semua orang dewasa dari semua komponen harus bersama-sama bertanggung jawab bahwa anak-anak jangan sampai dieksploitasi, tapi harus didampingi. Orangtua pun harus menjadi lebih teguh menolak semua permintaan konyol dari anak-anak terhadap suatu barang dengan harga yang sangat mahal.
Dr Rowan William dari The Archbishop of Canterbury menyatakan, anak-anak harus didorong dan diberikan pengertian bahwa nilai diri mereka itu lebih dari sekadar barang-barang yang mereka miliki. Sebab, tidak jarang anak-anak menginginkan sesuatu karena melihat iklan atau melihat temannya sudah memilikinya.
"Menjual gaya hidup pada anak-anak telah mengakibatkan budaya kompetisi materialisme serta membuat mereka menjadi sangat individualis dan serakah nantinya ketika dewasa dan hidup bersosialisasi," ujarnya. Tekanan produk komersial terhadap anak-anak memberikan dampak merusak mereka.
Profesor bidang kejiwaan anak-anak dari Institute of Child Health London Philip Graham menyatakan, salah satu faktor penyebab utama munculnya masalah mental pada anak-anak dan remaja itu akibat untuk memenuhi rasa ingin memiliki yang berlebihan (posesif). Salah satunya dalam hal berpakaian atau barang-barang elektronik.
"Bukti itu menunjukkan bahwa di Inggris maupun Amerika Serikat (AS) yang paling terpengaruh akibat tekanan produk-produk komersial adalah meningkatnya angka masalah kesehatan mental," paparnya.
Hasil survei itu menunjukkan bahwa hampir 90 persen responden berpikir bahwa iklan-iklan saat Natal justru menekan orangtua untuk menghabiskan lebih banyak uang dibandingkan kemampuan mereka sebenarnya.
Ini tidak berbeda dengan fenomena Lebaran di Indonesia. Sebab, banyak keluarga di Indonesia yang membelanjakan banyak uang untuk sesuatu yang belum tentu mereka butuhkan. Kemudian, penemuan lainnya, 60 persen responden percaya bahwa mental anakanak dan remaja rusak akibat iklan dan pemberitaan di media.
Sebanyak 63 persen responden wanita dalam survei ini lebih cenderung berpikir bahwa media merupakan penyebab utama munculnya budaya materialisme pada anak-anak. Sementara itu, hanya 56 persen responden pria yang setuju dengan pernyataan tersebut.


My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 


Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

Sosok Orientalisme dan Kiprahnya [2]

Sabtu, 01 Maret 2008
Snouck Hurgronje harus berpura-pura masuk Islam untuk menjauhkan kaum Muslim dengan Islam.  Begitu cara orientalis [bagian kedua habis]
Hidayatullah.com--"Adalah kewajiban kita untuk membantu penduduk negeri jajahan -maksudnya warga Muslim Indonesia- agar terbebas dari Islam". Demikian ujar Snouck tahun 1876, saat menjadi mahasiswa di Leiden.
Untuk merobah wajah Islam, Snouck sampai berpura-pura masuk Islam.  Snouck pernah menulis laporan panjang yang berjudul kejahatan-kejahatan Aceh. Laporan ini kemudian jadi acuan dan dasar kebijakan politik dan militer Belanda dalam menghadapai masalah Aceh.
Snouck pernah menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan Muslimin. Pada saat yang sarna, Islam membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan "pembersihan" 'Ulama dari tengah masyarakat, maka Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para tokoh-tokoh adat bisa menguasai dengan mudah.
Sambil berpura-pura masuk Islam, Snouck juga tetap melakukan korespondensi dengan gurunya Theodor Noldekhe, seorang orientalis Jerman terkenal. Dalam suratnya, Snouck pernah menegaskan bahwa keislaman dan semua tindakannya adalah permainan untuk menipu orang Indonesia demi mendapatkan informasi.
"Saya masuk Islam hanya pura-pura. Inilah satu-satulnya jalan agar saya bisa diterima masyarakat Indonesia yang fanatik. " Siapa Snouck?
ImageChristian Snouck Hurgronje (1857-1936)
Orientalis ini banyak dikenal masyarakat Indonesia. Lahir di Belanda, Snouck meraih gelar sarjananya di Fakultas Teologi, Universitas Leiden.  Keudian ia melanjutkan ke jurusan sastra Semitik dan meraih doktor, ketika umur 23 tahun (24 November 1880).
Disertasinya tentang 'Perjalanan Haji ke Mekah', 'Het Mekkanche Feest'. Tahun 1884 ia pergi ke Jedah sampai 1885, dan bersiap-siap untuk masuk ke Mekah.  Snouck kemudian berpura-pura masuk Islam, agar bisa ke Mekah dan menjalankan ibadah haji.  Tapi enam bulan kemudian ia diusir karena terbongkar jati dirinya.
Ia kemudian kembali ke Belanda sebagai lektor di Universitas Leiden hingga tahun 1887.  Lalu ia tinggal di Indonesia, sebagai jajahan Belanda hingga 17 tahun, dengan kedudukan sebagai penasehat pemerintah Belanda.  Ia menulis karyanya yang berjudul 'Makkah' dalam bahasa Jerman, dua jilid (1888-1889).  Selain itu, ia juga menulis 'De Atjehrs' (Penduduk Aceh) dalam dua jilid (1893-1894).
Dalam disertasinya yang berjudul 'Het Mekkanche Feest', Snouck menjelaskan arti ibadah haji dalam Islam, asal usul dan tradisi yang ada di dalamnya.  Ia mengakhiri tulisan dengan menyimpulkan bahwa haji dalam Islam merupakan sisa-sisa tradisi Arab Jahiliyah. (Mustolah Maufur, hal. 53).  Pendapat Snouck memang mirip dengan Goldziher yang mencoba menarik-narik pengaruh tradisi Jahiliyah, Kristen dan Yahudi ke Islam.  Snouck bahkan lebih jauh mencoba mengeliminir Islam hanya menjadi agama ritual, ibadah khusus belaka. Dan 'mengkiritk' umat Islam yang membawa-bawa Islam ke arah perjuangan politik.
ImageLouis Massignon (1883-1963)
Ia adalah orientalis terkemuka berasal dari Perancis. Louis banyak belajar dari tokoh-tokoh orientalis terkenal, seperti Goldziher, Hurgronje dan Le Chatelle orientalis dari Perancis.  Ia pernah mengujungi dunia Islam selama tiga tahun sampai 1954. Di Baghdad, ia mengadakan misi penelitian dan penggalian arkeologis dan berhubungan baik dengan tokoh Iraq Al Alusi.  Pada tahun 1906-1909 ia pergi ke Mesir dan belajar di Universitas Al Azhar.  Pada tahun 1912 ia mengajar filsafat disitu dan diantara pengagumnya adalah Dr. Thaha Husein  Di Timur Tengah saat itu ia juga menjadi perwira militer pada kantor Gubernur Jenderal Perancis di Suria dan Palestina.  Pengalamannya di dunia Islam itu menjadikannya orientalis yang sangat memahami politik di dunia Islam.
Tahun 1922 ia kembali ke Paris untuk menyelesaikan program doktornya di Universitas Sorbonne.  Ia menulis disertasi mengenai tasawuf Islam dengan judul "La Passion d' al Hallaj, Martyr Mystique de l'Islam" (Derita Al Hallaj, Sang Sufi yang Syahid dalam Islam).
Bila para ulama Islam mengkafirkan al Hallaj, maka Massignon memujinya sebagai seorang saleh yang syahid. Cerita Al Hallaj versi Massignon ini banyak diambil oleh para aktivis Islam Liberal di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Massignon selain mengkaji Islamologi, ia juga menjadi pembimbing rohani pada perkumpulan missionarisme Perancis di Mesir.  Ia berusaha keras memasukkan misi Kristen pada program-program pemerintah Perancis di tanah jajahannya di Timur Tengah.  Bahkan ia berusaha –sebagaimana Goldziher—memasukkan unsur-unsur Katolik dalam Islam.  Dimana ia menyamakan penghormatan kaum Muslim kepada Fatimah sebagaimana pemujaan Katolik ke 'Bunda Maria'.  Ia menulis sejumlah karya : Yesus dalam Injil menurut Al Ghazali (1932), Al Mutanabbi dan Masa Dinasti Ismailiyah dalam Islam (1935), Sejarah Ilmu Pengetahuan di Kalangan Bangsa Arab (1957) dan lain-lain.
Massignon juga berusaha mempengaruhi rakyat Afrika Utara agar menerima niat baik politik Perancis di wilayah itu.  Aliran sufi dan mistik ini banyak dianut oleh rakyat Afrika Utara dan itu sangat menguntungkan pemerintah Perancis.  Ia berusaha menyakinkan rakyat Afrika Utara agar menjadi bagian dari tanah Perancis.
Selain orientalis-orientalis yang disebutkan di atas, sebenarnya masih banyak lagi orientalis lain yang pengaruhnya besar bagi dunia Islam.  Seperti J. Arberry, Arthur Jeffery, Montgomery Watt dan lain-lain. Orientalis masa kini pun tak kalah banyaknya dengan zaman dahulu.  Bahkan kini mereka mendirikan 'Islamic-Islamic Studies' di Barat, untuk mendidik anak-anak cerdas Islam agar mengikuti jejak mereka.  Diantara tokoh yang terkenal adalah Wilfred C Smith dan Leonard Binder.  Kini, ada beberapa orientalis yang dikenal cukup akomodatif dengan Islam, meski masih ada bias-bias dalam tulisannya.  Seperti John L Esposito dan Karen Amstrong.  Esposito, meski banyak melahirkan karya-karya yang membela Islam, tapi ia tetap memberi cap kepada Sayyid Qutb dan Al Maududi sebagai tokoh "Islam Radikal".  Karen Amstrong menyamakan "Islam Fundamentalis" dengan Kristen Fundamentalis dan Yahudi Fundamentalis. Dan itulah yang dirujuk dan dipuja-puja kaum liberal untuk melihat Islam. [Nuim Hidayat, dari berbagai sumber


My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 


Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

Thursday, February 28, 2008

Sosok Orientalisme dan Kiprahnya

Sosok Orientalisme dan Kiprahnya Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Kamis, 28 Pebruari 2008
Kalangan liberal memuji setinggi langit kaum orientalis tanpa kritik. Kaum Muslim seolah diminta belajar Islam dari orang yang tak mengimani Islam. [bagian pertama]
Hidayatullah.com--Sekitar tahun 70-an,  almarhum Prof. HM Rasjidi pernah menunjukkan kuatnya pengaruh metode orientalis terhadap buku wajib dalam studi Islam di Indonesia. Yang dimaksudkan adalah buku "Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya", karya Prof. Harun Nasution.  
30 tahun setelah benih orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, 'cengkeraman' orientalis dalam studi Islam sudah semakin merambah ke berbagai bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya 'proyek-proyek pesanan' negara-negara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata kuliah hermeneutika di IAIN atau UIN, hari ini, adalah salah satu bagian kecil dari imbas orientalis yang tidak bisa dianggap hal yang enteng.
Dalam sebuah kolom,  berjudul, "Mempertimbangkan Ulang Orientalisme", yang dimuat di situs http://islamlib.com,  aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Novriantono,memuji 'selangit' kiprah para orientalis. 
Katanya, "Jaringan Islam Liberal menggelar diskusi tentang Islam dan Orientalisme. Diskusi ini penting diadakan untuk meninjau, mengkritik, serta mengapresiasi kembali kajian-kajian orientalisme yang kaya itu, terutama dalam bidang doktrin dan peradaban Islam. Rasanya, sayang betul bila hasil kajian yang bersungguh-sungguh dan mendalam tentang Islam itu dibuang begitu saja, hanya karena kita sudah terjebak dalam pandangan yang pejoratif dan simplistik tentang orientalisme.
Terasa lebih sayang lagi bila kita mengabaikan kajian-kajian orang di luar kita hanya karena alasan-alasan ideologis dan psikologis, bukan karena alasan ilmiah. Penolakan ideologis atas orientalisme sampai kini sangat dipengaruhi oleh kritik-kritik intelektual semacam Anwar Abdul Malik (1963), Hisyam Jaid (1978), Edward Said (1978), dan Hassan Hanafi (1981) tentang keterkaitan orientalisme dengan proyek kolonialisme. Kritik semacam ini, kini sudah sepantasnya ditinjau ulang secara kritis."
Banyak orang --bahkan kaum cendekiawan Muslim-- tiba-tiba silau mata. Mereka mendadak percaya orang di luar Islam yang tidak mengakui akidah Islam, untuk melihat Islam, seolah-olah orientalis lebih baik dari orang Islam sendiri.
Siapa sesungguhnya mereka? Dan bagaimana kaum liberal sampai memuji-muji 'nyaris' tanpa kritik sedikitpun. Hidayatullah.com,  menurunkan profil orientalis yang pikirannya banyak diamini dan dijadikan bahan rujukan oleh kaum liberal. []
***
ImageTheodor Noldeke (1836-1931)
Noldeke lahir 2 Maret 1836, di Hamburg, Jerman. Ia seorang pakar semitik Jerman yang ternama dan menyelesaikan studinya di Gottingen, Vienna, Leiden dan Berlin.  Pada tahun 1859 tulisannya tentang 'Sejarah Al-Quran' memenangkan penghargaan dari French Academie des Inscription.  Tahun 1860, ia menuliskannya kembali, dibantu  muridnya Schwally, dari bahasa Latin ke bahasa Jerman dengan judul 'Geschichte des Korans. Dan mempublikasikannya dengan beberapa tambahan di Gottingen.  Pada tahun 1861, ia mulai mengajar di Universitas Gottingen.  Tiga tahun kemudian ia meraih gelar profesor.  Pada 1872 ia aktif di Oriental Languages di Strassburg dan pensiun pada1906.
Tulisannya tentang 'Semitic Languages' dan 'The History and Civilization of Islam' juga mendapatkan penghargaan. Beberapa artikelnya pertama kali dipublikasikan oleh Encyclopaedia Britannica.
Artikelnya tentang Al-Quran dan sejenisnya dicetak lagi dalam sebuah bab yang diberinama 'Oriental Sketches'.  Beberapa karyanya adalah : Das Leben Mohammaeds (1863), Zur Grammatik des klassichen Arabisch (1896), Funf Mo'allaqat, iiberttzt und erklart (1899-1901), dll.
Noldeke bisa dikatakan dedengkot orientalis.  Selain ia menguasai sastra Yunani, ia juga mendalami tiga bahasa Semit, yaitu Arab, Suryani dan Ibrani.  Ayahnya banyak berperanan mengarahkan Noldeke untuk mempelajari berbagai bahasa itu. Noldeke belajar bahasa Suyani kepada H Elwald, bahasa Arami kepada Bertheau dan belajar bahasa Sansekerta kepada Benfay.
Ketika masih duduk sebagai mahasiswa, Noldeke sudah mulai belajar bahasa Turki dan Persia.  Ia meraih gelar sarjana mudanya pada usia 20 tahun dengan karya tulisnya berjudul 'Tarikh Al-Quran'. Pada usia itu ia mulai mengadakan penelitian ke luar Jerman.  Pertama, Noldeke pergi ke Wina dan menetap disana selama setahun (1856-1857), dengan tujuan untuk mempelajari dan meneliti manuskripmanuskrip yang tersimpan di perpustakaan Wina.  Disitu Noldeke juga memperdalam bahasa Persia dan Turki, dengan mempelajari syair-syair yang ditulis penyair besar Persia Sa'di dan Aththar.
Tahun berikutnya, 1857-1858, Noldeke pindah ke Leiden. Di sini Noldeke menjumpai manuskrip-manuskrip Arab yang amat banyak, sekaligus bertemu dengan orientalis-orientalis terkemuka.  Seperti, Dozy, Juynboll, Mattys de Vries dan Kuenen.  Pada saat yang sama, Noldeke juga berkenalan dengan tokoh-tokoh orientalis muda Belanda yang terkenal, seperti de Goeje, de Jong dan Engelmann.
Setelah menetap di Leiden, Noldeke pergi menuju ke Goeta, Jerman untuk meneliti manuskrip-manuskrip di sana selama satu bulan.  Kemudian ia ke Berlin untuk tujuan yang sama dengan dibantu orientalis Jerman, R Gosche, orang yang pertama kali menyusun indeks tulisan-tulisan Al Ghazali. Ia turut membantu mewujudkan proyek penyusunan indeks manuskrip-manuskrip Turki yang mencapai 200-300 manuskrip.  Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Roma.  Meski Noldeke telah mengelilingi Eropa, tapi ia sekalipun tidak pernah mengunjungi negeri-negeri Arab dan Islam.
Noldeke sebenarnya mengembangkan pemikiran Abraham Geiger yang mengatakan bahwa Al-Quran terpengaruh agama Yahudi.  Pertama, dalam hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin dan kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral dan ketiga tentang pandangan terhaap kehidupan.  Pada tahun 1833 Geiger menulis karya dalam bahasa Jerman (dialihkan dalam bahasa Inggris) berjudul "What Did Muhammad Borrow from Judaism?"
Tulisan Noldeke tentang Sejarah Al-Quran terus direvisi oleh muridnya Friedrich Schwally dan karyanya diterbitkan dengan judul : The Origin of the Qur'an. (1909).  Pada tahun 1919 ia menyelesaikan edisi keduanya dengan judul The Collection of The Qur'an. Ia juga merintis penyusunan, penyusunan buku The History of the Text.  Setelah Schwally meninggal, usahanya itu dilanjutkan oleh Bergstassser dan terakhir disempurnakan oleh Otto Pretzl pada tahun 1938.  Jadi buku tentang 'Sejarah Al-Quran' itu ditulis oleh ramai-ramai orientalis Jerman selama 68 tahun.  Hasilnya karya itu kini menjadi karya standar dalam masalah sejarah kritis penyusunan Al-Quran bagi para orientalis (Lihat Adnin Armas, 2003, hal. 62-64).
Taufik Adnan Amal, Dosen Ulumul Qur'an dan aktivis Islam Liberal, juga menjadikan karya orientalis menjadi rujukan utamanya dalam menulis buku "Rekonstruksi Sejarah Al-Quran."
ImageJoseph Schacht (1902-1969)
Ia lahir di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902.  Ia mulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Prusia dan Leipzig.  Tahun 1923, ia memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Prusia dan menjadi guu besar pada 1929.  Schacht menjadi dosen di Universitas Frayburg, Jerman.  Pada tahun 1934 ia diundang untuk mengajar di Universitas Kairo, Mesir.  Disitu ia
mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di  jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas Mesir hingga 1939.  Ketika terjadi Perang Dunia II pada September 1939, Schacht pindah dari Mesir ke London dan bekerja di Radio BBC, London.  Di situ ia berperanan melancarkan propaganda melawan nazi Jerman.
Di Inggris itu Schacht melanjutkan studinya di Universitas Oxford dan memperoleh gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar Doktor pada tahun 1952.  Ia diangkat sebagau guru besar di seluruh universitas yang ada di kerajaan Inggris. Pada tahun 1954, ia pakar fikih Islam ini, menjadi guru besar di Universitas Leiden sampai 1959.  Ia dengan kawan-kawannya mengedit cetakan kedua Dairat al Ma'arif al Islamiyah.  Kemudian ia ke New York dan menjadi guru besar di Universitas Columbia dan meninggal di Amerika pada Agustus 1969.
Dalam bidang Fikih, karya Schacht antara lain: Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence
(
Oxford, 1950).  Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.
Guru Besar Hadits dan Ilmu Hadits Universitas King Saud, Prof Dr MM Azami menulis dua buku tentang pemutarbalikan sanad hadits oleh Schacht. Azami, dengan bukti-bukti yang otentik –karyanya dipuji orientalis Prof. AJ Arberry dari Universitas Cambridge Inggris—menulis kritik Sacht dalam bukunya 'Studies in Early Hadith Literature' (terj. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya). Dalam buku itu Azami menjelaskan bahwa teori Schacht tentang 'Sejarah Pemalsuan Hadits', banyak ditemui kesalahan dan pemutarbalikan fakta.
Misalnya ketika Schacht meragukan suatu sanad: "Amr bin Amr adalah rawi yang menjadi titik temu bersama untuk sanad-sanad ini.  Dan sulit rasanya –dilihat dari tempatnya—Amr mondar-mandir untuk bertemu dengan tuannya (al Muttalib) dan orang-orang yang tidak dikenal sehingga sanadnya dapat disebut langsung."
Terhadap contoh sanad ini ia menyebutnya sebagai gejala umum dalam hadits-hadits Nabi saw.  Setelah melakukan kajian yang mendalam Prof. Azami menemukan bahwa  seorang yang tidak dikenal (seorang dari suku Bani Salamah) itu sebenarnya adalah al Muttalib sendiri.  Ia kemudian meluruskan diagram sanad yang dibuat salah oleh Schacht (Azami, hal.557-561).
Schacht juga melakukan tuduhan kepada Hadits : "Sanad-sanad hadits itu sebagian besar adalah palsu...dan hal ini diketahui oleh semua orangbahwa sanad-sanad itu pemakaiannya dimulaidalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian berkembang dan mencapai bentuknyayang sempurna pada paruh kedua abad ketiga hijri,… Kebanyakan sanad-sanad itu tidak mendapatkan perhatian yang cukup.  Apabila ada suatu kelompok yang ingin menisbatkan pendapatnya dengan orang-orang dahulu, maka kelompok tersebut akan memilih tokoh-tokoh orang dahulu itu dan menaruhnya dalam sanad."
Terhadap pendapat Schact itu, Prof. Azami menyatakan: "Penggunaan sanad sudah dimulai pada masa Nabi saw, hanya saja metode ahli-ahli hadits dalam menggunakan sanad itu tidak sama, khususnya pada masa Sahabat. Dan dapat kita katakan bahwa perhatian terhadap pentingnya sanad itu  mencapai puncaknya pada akhir abad pertama.  Dalam bab lalu, kita juga sudah mengetahui jumlah rawi-rawi hadits dan tempat tinggal mereka yang saling berjauhan.  Apalagi apabila hal itu ditambah dengan perbedaan umur serta tradisi mereka.
Oleh karena teori Schacht yang disebut dengan 'Projecting Back' (Proyeksi ke Belakang) itu sulit dibayangkan, bahkan prakteknya juga mustahil."
Kamaruddin Amin, kandidat doktor Bonn University, Germany yang juga aktivis Islam Liberal (JIL), dalam sebuah tulisan berjudul, "Diskursus Hadis di Jerman", membela Joseph Schacht terhadap studi hadits di Barat.  "Tentu naif menolak satu tradisi intelektual secara a-priori tanpa mengetahui esensi tradisi tersebut. Tantangan buat kita semua."
ImageIgnaz Goldziher (1850-1921)
Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam.  Ia lahir pada 22 Juni 1850, di Hongaria.  Ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang.   Pendidikannya dimulai dari Budhapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 dan pindah lagi ke Universitas Leipzig.
Goldziher dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka saat itu yaitu Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata). Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870 dengan karyanya : "Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah."
Ia kemudian kembali ke Budapest dan ditunjuk sebagai asisten Guru Besar di Univeritas Budhapest pada tahun 1872.  Ia tidak lama mengajar, dan lalu meneruskan studinya di Wina dan Leiden.  Setelah itu ia mengadakan perjalanan ke Timur Tengah, Suriah dan Palestina dan kemudian menetap di Kairo.
Ketika di Universitas Budapoest, ia banyak menekankan kajian peradaban Arab, khususnya agama Islam. Pada tahun  1894, ia diangkap menjadi profesor kajian bahasa Semit.  Goldziher memang snagat cerdas.  Pada usia 16 tahun, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Saat itu ia juga biasa membaca buku-buku tebal dan memberikan ulasannya.  Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum.  Ia kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih.  Tahun 1889 menulis karangan tentang hadits berjudul Dirasah Islamiyah, dua juz. Dalam bukunya 'Al Aqidah was Syariah fil Islam' Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad saw.  Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini.  Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad.. hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya.
Dalam buku itu, Goldziher juga menyatakan: "Sesungguhnya Muhammad telah memilihkan ajaran-ajaran Islam dari agama-agama yang menonjol pada masanya, yaitu agama Yahudi, Nasrani, Majusi dan agama berhala, setelah ia melakukan penyaringan...Islam tidak mampu mempersatukan bangsa Arab dan menghimpun kabilah-kabilah yang bermacam-macam kepada tata peribadatan yang satu."  (Prof Ahmad M Jamal, hal. 250).
Menurut Prof. Jamal, tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh Goldziher itu bukan barang yang aneh. Dulu, ketika turun Al-Quran, orang-orang Musyrik juga menyatakan Muhammad seorang yang gila, tukang sihir, mendongeng palsu dan lain-lain.  Al-Quran bahkan turun meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan Yahudi dan Nashrani. [nuim hidayat, dari berbagai sumber/www.hidayatullah.com]… berlanjut


My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.