Monday, May 26, 2008

Tujuh Wasiat Rasulullah

Tujuh Wasiat Rasulullah    
Senin, 26 Mei 2008
Rasulullah berwasiat, cintailah fakir-miskin, berbanyak silaturrahmi,  jangan suka meminta-minta dan jangan takut celaan dalam berdakwah

Hidayatullah.com--"Dari Abu Dzar ia berkata; "Kekasihku (Rasulullah SAW) berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahku agar aku melihat orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahim dengan karib kerabat meski mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku diperintahkan agar memperbanyak ucapan La haula walaa quwwata illa billah, (5) aku diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, (7) belaiu melarang aku agar aku tidak meminta-minta sesuatu kepada manusia" (Riwayat Ahmad).

Meski wasiat ini disampaikan kepada Abu Dzar RA, namun hakikatnya untuk kaum Muslimin secara umum. Sebagaimana kaidah: (Al-Khitobu li'umuumil-lafdzi, walaisa min khususil asbab).

Wasiat pertama, mencintai orang miskin.

Islam menganjurkan umatnya agar berlaku tawadhu' (berendah hati)  terhadap orang-orang miskin, menolong dan membantu kesulitan mereka. Demikianlah yang dicontohkan para sahabat di antaranya Umar bin Khaththab Radhiallahu anhu (RA) yang terkenal sangat merakyat, Khalifah Abu Bakar yang terkenal dengan sedekah "pikulan"nya, Utsman bin Affan dengan kedermawanannya.

Cintailah dan kasihanilah orang-orang miskin, sebab hidup mereka tidak cukup, diabaikan masyarakat dan tidak diperhatikan.  Orang yang mencintai fuqara' dan masakin dari kaum Muslimin, terutama mereka yang mendirikan shalat, dan taat kepada Allah, maka mereka akan dibela Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT) di dunia dan pada hari kiamat.

Sebagaimana sabda Rasulullah, "Barangsiapa yang menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang Muslim, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit hutang, Allah akan memudahkan baginya di dunia dan akhirat" (Riwayat Muslim).

Juga sabda beliau, "Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang jihad fi sabilillah….." (Riwayat Bukhari). Dalam riwayat lain seperti mendapatkan pahala shalat dan puasa secara terus menerus….

Wasiat kedua, melihat orang yang lebih rendah kedudukannya dalam hal materi dunia.

Rasulullah memerintahkan agar kita melihat orang-orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia dan mata pencaharian. Tujuannya, tiada lain agar kita selalu bersyukur dengan nikmat Allah yang ada. Selalu qona'ah (merasa cukup dengan apa yang Allah karuniakan kepada kita), tidak serakah, tidak pula iri dengki dengan kenikmatan orang lain.

Memang rata-rata penyakit manusia selalu melihat ke atas dalam hal harta, kedudukan, dan jabatan. Selama manusia hidup ia selalu merasa kurang dan kurang. Baru merasa cukup manakala mulutnya tersumpal tanah kuburan.

"Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan janganlah melihat orang yang ada di atasmu, karena hal demikian lebih patut agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu." (Riwaat Muttafaqun 'alaihi).

Sebaliknya dalam masalah agama, ibadah dan ketakwaan, seharusnya kita melihat orang-orang yang di atas kita, yaitu para Nabi, sahabat, orang-orang yang jujur, para syuhada', para ulama' dan salafus-shalih.

Wasiat ketiga, menyambung silaturahim kepada kaum kerabat

Silaturahim adalah ungkapan mengenai berbuat baik kepada karib kerabat karena hubungan nasab (keturunan) atau karena perkawinan. Yaitu silaturahim kepada orang tua, kakak, adik, paman, keponakan yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Berbuat baik dan lemah lembut kepada mereka, menyayangi, memperhatikan  dan membantu mereka.

Dengan silaturahim, Allah memberikan banyak manfaat. Di antaranya, menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya, dengannya akan menumbuhkan sikap saling membantu dan mengetahui keadaan masing-masing. Silaturahmi pula akan memberikan kelapangan rezeki dan umur yang panjang. Sebaliknya bagi yang mengabaikan silaturahim Allah sempitkan hartanya dan tidak memberikan berkah pada umurnya, bahkan Allah tidak memasukkannya ke dalam surga.

Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi" (Riwayat Bukhari).

Wasiyat keempat, memperbanyak ucapan 'La haula walaa quwwata illa bilLah'

Rasulullah memerintahkan memperbanyak ucapan La haula walaa quwwata illa bilLah' agar kita berlepas diri dari merasa tidak mampu. Kita serahkan semuanya kepada Allah. Makna kalimat ini juga sebagai sikap tawakkal, hanya kepada Allah kita menyembah dan hanya kepada-Nya pula kita memohon pertolongan.

Pada hakekatnya seorang hamba tidak memiliki daya-upaya apapun kecuali dengan pertolongan Allah. Seorang penuntut ilmu tidak bisa duduk di majelis ilmu melainkan dengan pertolongan Allah. Demikian juga seorang guru tidak mungkin bisa mengajarkan ilmu yang manfaat kepada muridnya melainkan dengan pertolongan Allah.

Nabi bersabda :

"Ya Abdullah bin Qois, maukah aku tunjukkan kepadamu atas perbendaharaan dari perbendaharaan surga? (yaitu) 'La haula walaa quwwata illa billah' (Riwayat  Muttafaqun 'Alaih).

Wasiyat kelima, berani mengatakan kebenaran meskipun pahit

Kebanyakan orang hanya asal bapak senang (ABS), menjilat agar mendapat simpati dengan mengorbankan kebenaran dan kejujuran. Getirnya kebenaran tidak boleh mencegah kita untuk tidak mengucapkannya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Apabila sesuatu itu sudah jelas sebagai sesuatu yang haram, bid'ah, munkar, batil, dan syirik, maka jangan sampai kita takut menerangkannya.

Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat kebenaran (haq) kepada penguasa yang zalim.  Bukan dengan cara menghujat aib mereka di mimbar-mimbar, tidak dengan aksi orasi, demonstrasi, dan provokasi.

"Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa, janganlah ia tampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasehat itu, maka itu yang terbaik. Dan apabila penguasa itu enggan, maka ia sungguh telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya" (Riwayat Ahmad)

Wasiyat keenam, tidak takut celaan dalam berdakwah.

Betapa berat resiko dakwah yang Rasulullah dan sahabat alami. Mereka harus menderita karena mendapat celaan, ejekan, fitnah, boikot. Juga pengejaran, lemparan kotoran, dimusuhi, diteror, dan dibunuh.

Manusia yang sakit hatinya kadang-kadang tidak mau menerima dengan penjelasan dakwah, maka para pendakwah harus sabar menyampaikan dengan ilmu dan hikmah. Jika dai mendapat penolakan dan cercaan jangan sampai mundur. Maka para penyeru tauhid, penyeru kebenaran jangan berhenti hanya dengan di cerca.

"(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut dengan siapapun selain Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan" (Al-Ahzab [33]: 39).

Wasiat ketujuh, tidak suka meminta-minta sesuatu kepada orang lain.

Orang yang dicintai Allah, Rasul dan manusia, adalah mereka yang tidak meminta-minta. Seorang Muslim harus berusaha makan dari hasil jerih payah tangannya sendiri. Seorang Muslim harus berusaha memenuhi hajat hidupnya sendiri dan tidak boleh selalu mengharapkan belas kasihan orang.

"Sungguh, seseorang dari kalian mengambil tali, lalu membawa seikat kayu bakar di punggungnya, kemudian ia menjualnya, sehingga dengannya Allah menjaga kehormatannya. Itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada manusia. Mereka bisa memberi atau tidak memberi" (Riwayat Bukhori).

Demikianlah 7 wasiat Rasulullah SAW. Semoga kita bisa menunaikannya. [Abu Hasan-Husain/diambil dari Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2008/www.hidayatullah.com]

 
My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 

Harun Yahya: Kami Menerima Ancaman yang Datang dari Para Freemason

Harun Yahya: Kami Menerima Ancaman yang Datang dari Para Freemason    
Senin, 26 Mei 2008
Keputusan pengadilan untuk menjebloskan Harun Yahya tak lepas dari keterkaitan Freemansory internasional. Inilah pengakuan beliau
ImageHidayatullah.com—Perjuangan gencar Adnan Oktar atau lebih dikenal Harun Yahya dalam membongkar kekeliruan ilmiah teori Evolusi membuat ia kembali di penjara. Memski demikian, ilmuwan Turki yang karyanya banyak menggoncang dunia itu tetap menerima dengan lapang. Di bawah ini ia memberikan pernyataan menjawab keputusan pengadilan beberapa hari lalu.

"Ini adalah sebuah kasus yang mungkin akan tercatat dalam sejarah. Saya belum pernah mendengar, melihat atau membaca kasus yang penuh tipu daya semacam ini. Namun kami masih menaruh rasa hormat yang sepatutnya.

Kami menghormati sistem keadilan. Kami menghormati keputusan pengadilan. Ada suatu kebaikan dalam segala hal. Keputusan itu telah ditakdirkan dalam pandangan Allah sebelum para orang tua hakim itu dilahirkan. Mereka mengeluarkan pernyataan putusan hakim ketika saatnya tiba. Mereka mengeluarkan pernyataan putusan pengadilan yang ada dalam takdir mereka. Tak seorang pun dapat menentukan untuk dirinya sendiri, tidak pula membuat pernyataan apa pun sekehendaknya sendiri. Setiap orang membuat pernyataan yang telah ditetapkan dalam takdirnya. Mengapa ini terjadi dengan cara sedemikian itu? Sebab kebaikan akan muncul dengan takdir itu terjadi.

Sebagaimana dengan Nabi Yusuf AS. Ia adalah hamba yang dicintai Allah. Meskipun demikian Allah menakdirkannya dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah selama tujuh tahun. Insya Allah, kami juga berada pada jalan Nabi Yusuf AS. Kami berada pada jalan para nabi yang dirahmati. Kami menetapi sunnah mereka yang agung. Insya Allah kami melakukan apa yang mendatangkan kebaikan. Orang mukmin berada di jalan para nabi, dan di dalam Al-Quran, Allah berfirman bahwa Dia menghendaki kita mengambil mereka sebagai teladan. Dia memerintahkan kita agar menaati mereka dan menyerupai mereka. Dan kehidupan kita mungkin memiliki sisi yang mirip dengan sisi kehidupan mereka. Ayat-ayat Al-Quran berlaku bagi seluruh Muslim.

Dalam pengertian tersebut, ayat-ayat itu berlaku pula bagi saya dan sahabat-sahabat saya. Dalam ayat ke-35 Surat Yusuf, misalnya, Dia berfirman: "Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai waktu tertentu."

Ayat ini menyiratkan pengertian bahwa ada kebimbangan apakah akan memenjarakannya atau tidak, tapi pilihan pertama pada akhirnya mengemuka. Sungguh terdapat sebuah kemiripan di sini. Allah berfirman perihal Yusuf AS bahwa ia dikenai hukuman sedikitnya tiga tahun penjara. Al-Quran merujuk pada beberapa tahun. Ini berarti sekurang-kurangnya tiga, masa antara tiga dan sembilan. Ini adalah sebuah isyarat. Al-Quran berlaku sepanjang zaman, untuk seluruh manusia dan seluruh peristiwa, dan inilah salah satu keajaiban Al-Quran.

Tak seorang pun dapat melukai saya di mana pun dengan cara bagaimana pun; kecuali hanya hal-hal yang Pencipta saya, Allah Yang Mahakuasa, menghendaki benar-benar terjadi demikian. Saya akan hidup sesuai takdir saya. Apa pun yang ada dalam takdir saya, itulah yang akan terjadi. Saatnya akan datang ketika ruh saya diambil. Ketika saat itu datang, Dia akan mengambil ruh saya. Tapi di luar itu, tidak seorang pun mampu menyakiti saya sehelai rambut pun pada kepala saya. Tidak sesuatu pun akan terjadi pada saya. Apa pun yang ada dalam takdir saya, hal itu akan terjadi ketika saatnya tiba, di waktu yang telah ditetapkan.

Pada peristiwa-peristiwa yang terkini, sedikit tekanan yang terkini, kami menerima kabar bahwa seseorang yang tak pernah kami duga, yang kami yakini sebagai seorang yang teguh, taat beragama, ternyata adalah seorang Freemason. Kami sangat terkejut. Kami dulunya benar-benar yakin bahwa ia orang yang shaleh, beraliran kanan, dan kami menaruh kepercayaan kepadanya sebagaimana mestinya. Akan tetapi ia terbukti seorang Freemason kelas atas.

Ada delapan surat [dari Freemasonry luar negeri], yang dikirim ke sini, ke markas [Freemasonry Turki]. Surat-surat itu membicarakan tentang kami, dan tentang saya secara pribadi, dengan merujuk langsung ke buku saya, Atlas Penciptaan. Mereka merujuk kepada kemampuan saya melakukan kegiatan tanpa kesulitan. Mereka menanyakan bagaimana ini dapat terjadi, bagaimana saya dapat bebas melakukan kegiatan seperti itu.

Mereka mengatakan [buku Atlas Penciptaan] telah menimbulkan dampak dahsyat, seperti bom atom. Itulah yang mendasari adanya tekanan terhadap kami di tahun-tahun belakangan. Kami bahkan berpendapat bahwa tekanan itu dilakukan terhadap pemerintah untuk menekan kami. Saya dapat memahami mengapa tamatnya Darwinisme telah membuat mereka sangat terganggu, sebab hal ini telah benar-benar meruntuhkan keseluruhan sistem mereka. Filsafat-filsafat, cara pandang dan ideologi-ideologi mereka telah terhancurkan. Dan mereka tidak mampu menemukan jawaban atas hal ini. Segala yang dapat mereka lakukan adalah melakukan tekanan.

Kami menerima sebuah ancaman baru berkenaan dengan buku terkini saya [tentang Freemasonry] hanya kemarin, ditujukan kepada saya sendiri, agar buku tersebut tidak beredar; ancaman itu datang dari para Freemason, yang menelpon rekan saya. Mereka menyampaikan pesan bahwa kami akan mendapatkan masalah besar jika buku tersebut beredar. Namun meskipun demikian saya akan memunculkan buku itu, insya Allah. Saya telah diancam sebelumnya, ketika saya di rumah sakit jiwa. Saya diberitahu agar meninggalkan kegiatan saya. Di kala itu selain menawarkan kepada saya uang, mereka juga berkata bahwa mereka akan "membebaskan kesulitan" yang saya alami ini, dan mereka mengatur pengacara saya menyampaikan pesan itu kepada saya. Mereka menawari saya sejumlah besar uang jika saya menghentikan karya saya, dan tidak meneruskan menulis buku, menghentikan buku saya mengenai Freemasonry, dan bahwa siksaan mengerikan yang tengah saya alami akan diakhiri. Tapi saya menolak tawaran tersebut.

Izinkan saya menyatakan sekali lagi bahwa saya tidak memiliki keluhan terhadap pengadilan. Saya tidak menaruh dendam atau tuduhan balik terhadap siapa pun. Allah-lah yang menyebabkan pengadilan menandatangani putusan hakim itu. Hanya satu hal di pengadilan yang mengherankan saya dan membuat saya terdiam sejenak untuk berpikir, yakni bahwa kami memiliki tiga sahabat perempuan. Sebagaimana sahabat-sahabat saya lainnya, mereka sama sekali tidak terlibat dengan tuduhan tersebut. Namun masing-masing mereka dihukum tiga tahun penjara. Mereka ini adalah para pemudi belia yang berpendidikan baik. Hal itu sungguh mengherankan saya. Tapi sekali lagi saya tetap menghormati pengadilan, dan ada sesuatu kebaikan dalam segala hal." [as/harunyahya.com/cha/www.hidayatullah.com]

 
My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 

Meruntuhkan Teori Evolusi, Harun Yahya Divonis Penjara

assalamualaikum

wahai saudaraku sekalian, satu lagi hukum rimba di dunia ini yang memenjarakan ilmuan. 'Singa Allah' mungkin cocok di julukkan kepada pejuang pena Harun Yahya pada zaman ini, melalui beliau Allah memukul mundur idiologi ateis yang berlandaskan teori evolusi Darwin-nya, semoga beliau kuat menghadapi ujian ini, dan semoga Allah menjaga dan memelihara beliau.

 

Senin, 26 Mei 2008

Untuk kesekian kalinya, Adnan Oktar alias Harun Yahya dipenjarakan. Inilah penindasan para ilmuwan yang berani mengungkap kekeliruan ilmiah teori evolusi

ImageHidayatullah.com--Penindasan terhadap para ilmuwan dan intelektual yang berani mengungkap kekeliruan ilmiah teori evolusi Darwin, dan berbagai sisi gelap teori itu tidak hanya berlaku di Amerika Serikat. Untuk kesekian kalinya, Adnan Oktar, dengan nama pena Harun Yahya, diganjar pengadilan Turki 3 tahun penjara, lantaran mengemukakan kebenaran bahwa teori evolusi Darwin tidaklah ilmiah.

Sebelum ini, Harun Yahya sudah dipenjara beberapa kali. Ia pernah dikurung di rumah sakit jiwa bersama para pasien penyakit jiwa berbahaya. Di tempat itu, beliau dicoba untuk dibunuh beberapa kali.

Meski demikian, Harun Yahya tetap tidak bergeming membongkar kepalsuan teori evolusi, beserta gerakan ideologis yang mendukungnya, termasuk Freemasonry.

Pembunuhan Karakter

Sebagaimana diketahui, ilmuwan Muslim yang karyanya sudah merambah dunia itu beberapa tahun terakhir ini mengagetkan dunia. Buku besar Harun Yahya berjudul Atlas Penciptaan muncul di Eropa, dan mengagetkan pihak berwenang di negara-negara seperti Perancis, Denmark, Austria, dan Italia.

Tidak mampu menanggapi balik secara ilmiah dan intelektual, organisasi dunia setinggi Dewan Eropa mengeluarkan resolusi yang melarang buku Atlas Penciptaan dan pemikiran kritis semacamnya atas teori evolusi diajarkan di sekolah-sekolah Eropa.

Lebih dari itu, tindakan penyusupan agen rahasia Freemasonry pun dilakukan demi membungkam kegiatan Harun Yahya.  

Bisa ditebak, media massa pro evolusi memanfaatkan peristiwa ini untuk melakukan pembunuhan karakter Harun Yahya untuk kesekian kalinya dengan berbagai tuduhan negatif, tak terkecuali situs rujukan seperti wikipedia.

Menjawab putusan pengadilan ini, Harun Yahya menyampaikan pernyataan penting dalam sebuah konferensi pers.  

"Ini adalah sebuah kasus yang mungkin akan tercatat dalam sejarah. Saya belum pernah mendengar, melihat atau membaca kasus yang penuh tipu daya semacam ini. Namun kami masih menaruh rasa hormat yang sepatutnya.

Kami menghormati sistem keadilan. Kami menghormati keputusan pengadilan. Ada suatu kebaikan dalam segala hal. Keputusan itu telah ditakdirkan dalam pandangan Allah sebelum para orang tua hakim itu dilahirkan. Mereka mengeluarkan pernyataan putusan hakim ketika saatnya tiba. Mereka mengeluarkan pernyataan putusan pengadilan yang ada dalam takdir mereka. Tak seorang pun dapat menentukan untuk dirinya sendiri, tidak pula membuat pernyataan apa pun sekehendaknya sendiri. Setiap orang membuat pernyataan yang telah ditetapkan dalam takdirnya. Mengapa ini terjadi dengan cara sedemikian itu? Sebab kebaikan akan muncul dengan takdir itu terjadi, " ujarnya.

Harun Yahya menyebut pemenjaraan dirinya diibaratkan kasus Nabi Yusuf AS. "Insya Allah, kami juga berada pada jalan Nabi Yusuf AS. Kami berada pada jalan para nabi yang dirahmati. Kami menetapi sunnah mereka yang agung. Insya Allah kami melakukan apa yang mendatangkan kebaikan. Orang mukmin berada di jalan para nabi, dan di dalam Al-Quran," katanya dikutip www.harunyahya.com. [as/cha/berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 

Sunday, May 25, 2008

PENGANTAR BUKU "DAJAL DAN SIMBOL SETAN"

PENGANTAR BUKU DAJAL DAN SIMBOL SETAN
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak pernah akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.
(al-Baqarah: 120)

Bismillahirrahmanirrahim Asalamu'alaikum wr. wb.
imageAlhamdulillahi ladzii arsala rasulahu bil-hudaa wadiinil haqqi liyuzhhirahu 'alad-diini kullihi walau karihal-nusyrikun. Allahumma shalli 'ala Nabiyi wa Sayyidul-Mursaliin Muhammad saw. wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in. Amma ba'du.

Alhamdulillah, penulis dapat mempersembahkan sebuah buku yang berjudul Dajal dan Simbol Setan, sehingga umat atau pembaca dapat melakukan telaah dan merenungkannya secara lebih mendalam mengenai bahaya sepak terjang Dajal dan pahamnya. Sebagaimana pembahasan tentang iman yang kita berikan makna sebagai keberpihakan yang penuh (kaffah) kepada Allah dan Rasul-Nya seraya menafikan seluruh ajaran setan yang menjadi musuh kita (al-Baqarah: 208) maka kita menafsirkan setan sebagai sebuah ideologi Dajal yang akan membongkar dan memalingkan wajah batin keberpihakkan kita kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut. Dengan kata lain, ada satu gerakan yang sangat besar saat ini yang saya sebut dengan istilah "gerakan kafirisasi". Bila berapa dekade yang lalu kita mengenal istilah zionisme maka saat ini sejalan dengan globalisasi, kita berhadapan dengan ideologi kafirisasi yang disebut dengan neo-zionisme sebuah ideologi yang ingin menciptakan tatanan dunia global yang sekuler dan terlepas sama sekali dari ajaran agama yang mereka anggap sebagai kepalsuan, racun, dan dogmatis-fundamentalis.

Di mana-mana mereka akan membuat keguncangan, keresahan, dan rasa bimbang di hati umat beragama melalui gerakan yang saya istilahkan dengan "gerakan 7 F", yaitu menghancurkan kekuatan finansial (Financial) umat Islam, merusak pola makan (f'ood), menciptakan adu domba atau perpecahan di kalangan umat beragama maupun di dalam tubuh umat Islam (friction), menyebarkan cara berpikir bebas (freethought), menebarkan ideologi yang membebaskan manusia dari tata cara pemikiran agamis (freedom of religion), menguasai film, TV, dan media massa (film), menumbuhkan dan menggoda masyarakat agar berbudaya dan bersikap mengikuti millah mereka (fashion/life style), membuat beberapa aliran mistik untuk menghancurkan agama (faith, sect, occultism, dll.), menumbuhkan rasa kecewa (frustrasion), dan lain-lain.

Gerakan konspirasi mereka telah membuat carut-marut dan tercabiknya wajah kaum beragama, utamanya umat Islam. Mereka menuduh umat Islam sebagai fundamentalis, ekstremis, dan tiran. Bahkan, Huntington dengan jumawa (berani) mengatakan bahwa musuh Barat setelah Rusia hancur adalah Islam. Lantas, informasi apalagi yang mampu menggugah dan menggedor umat Islam bahwa dirinya sedang dijadikan sasaran tembak kaum dajal?

Bukankah setiap saat kita berdoa, "Allahumma inni a'udzubika min fitnatil Masihid Dajjal," (Ya Allah aku berlindung kepadamu dari fitnah Masihud-Dajjal). Tetapi, sungguh nelangsa jiwa karena kita mengucap tanpa mengetahui apa maknanya. Dalam pembahasan ini telah dijelaskan bahwa al-Masih adalah orang yang diberkati, yang diurapi, yang dibasuh kepalanya atau ditafsir sebagai bentuk "kesucian", sedangkan Dajal diartikan sebagai penipu, penjahat, atau gerakan kafirisasi. Sehingga al-Masih ad-Dajal diartikan sebagai gerakan para penipu yang berpura-pura membela kesucian. Gerakan anti-agama yang berwajah lembut.

Benarlah apa yang difirmankan Allah SWT: "Dan, apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan Dabbah (sejenis binatang melata) dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami." (an-Naml: 82)

Dabbah atau binatang melata tersebut tidak lain adalah ideologi kafirisasi atau gerakan konspirasi yang selama ini terselubung (under-ground 'bawah tanah') akan muncul dengan terang-terangan menantang umat Islam agar mengikuti millah atau tata cara budaya mereka (al-Baqarah: 120).

Dalam situasi seperti ini, kunci untuk menghambat gerakan mereka adalah kesatuan umat, satu komando, satu gerakan, dan satu visi, yaitu menanamkan satu etos perjuangan di dada setiap pribadi muslim untuk memenangkan Islam (at-Taubah:33, al-Fath:28; ash-Shaff:9).

Sudah saatnya semua pihak memikirkan tantangan yang semakin menggila dari kaum dajalis ini dengan cara mempersatukan kekuatan seraya membuat garis yang tegas, mana kawan mana lawan. Sebagaimana firman-Nya:

"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahhanmu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi...." (Ali Imran: 118)

imageHarus ditanamkan sejak dini kepada putra-putri kita, bahkan harus dijadikan satu etos kultural bahwa yang dimaksudkan dengan seorang muslim adalah "seorang yang berpihak kepada Allah dan Rasul-Nya, dan memunyai misi untuk memenangkan agama Islam semata-mata" (at Taubah: 33; al-Fath: 28; ash-Shaff: 9). Dengan definisi ini, jelaslah bahwa siapa pun yang bergabung dengan kelompok atau harakah yang tidak melandaskan dirinya untuk izzul Islam wal-muslimin (kejayaan Islam dan umatnya) adalah kehohongan yang nyata.

Harus ditanamkan satu kesadaran bahwa memperjuangkan kejayaan Islam dan umatnya adalah bagian dari darah daging seorang muslim, merupakan bagian dari jati dirinya. Karena, begitu seseorang mengaku sebagai muslim, dia adalah pejuang Allah, partisan yang sekujur tubuhnya, mulai dari ujung rambut sampai ujung kakinya, dari relung jiwanya sampai bentuk wadag jasmaninya, dicelup, (di-sibghah) dengan semangat perjuangan. Jiwa muru'ah-nya hanya mempunyai satu moto perjuangan, "isy kariman au mut syahidan" yang artinya menjadi muslim sejati atau mati sebagai syuhada, atau dalam bahasa Inggrisnya, be a good muslim or die as fighter.

Lihatlah sekitar kita. Hidup tidak lain adalah sebuah pertarungan. Manusia yang berjiwa kardus akan segera tersingkir dari derap perjalanan peradaban ini. Hanya manusia yang tangguh yang jiwanya telah dicelup (sibghah) mahabbah lillah (kecintaan kepada Allah) yang dapat berdiri tegar meraup debu-debu perjuangan. Hanya manusia yang hatinya dibalut iman, rohnya membara disulut jihad yang pantas menghadang segala tantangan musuh. Gantilah kelewangmu dengan kecerdasan pikiranmu yang paling tajam. Buanglah anak-anak panah dan ganti dengan zikirmu yang paling merasuk di hati agar waspadalah jiwa menyimak gerak musuh sekecil apa pun langkah mereka.

Sebagaimana kerinduanku kepadamu semua bahwa ilmu yang kita peroleh ini bukanlah sebagai pajangan untuk memenuhi perpustakaan, melainkan sebagai penyulut ruhul jihad, menebar iman dengan cinta, menggubah dunia dengan prestasi, menjadikan hidup penuh arti. Apalah artinya ilmu tanpa amal, bagaikan gelas tanpa isi. Sebaliknya, apalah artinya mempunyai gelas, bila diisi dengan racun.

Hadapkan wajah batinmu untuk menghadang segala durjana. Walau fitnah mendera, sejuta cibir mencemooh, dan segudang fitnah mendera-dera, janganlah surut. Karena kiprah para mujahid dakwah bukan meminta puji dan tepukan manusia, tidak juga untuk mencari imbalan duniawi, melainkan menggapai cinta Ilahi Rabbi.

Engkau sungguh mengetahui, betapa siksa, cerca, dan penjara telah membelenggu diriku. Hidup terpuruk dalam kemiskinan dan diterpa oleh segala fitnah karena mengambil risiko untuk berdakwah.

Tetapi, bagi kita tidak ada kata "berhenti". Tempat perhentian seorang mujahid, hanyalah kematian yang menjadi pintu awal kebahagiaan abadi.

Laungkan soneta perjuangan yang akan menebar kasih penyubur hidup alam semesta. Abaikan segala fitnah dan cemooh kaum durjana, selama dadamu sarat dengan cinta, katakan kepada mereka:

"Wahai dunia, robek dan cabiklah dadaku Lumat dan sirnakan jasadku Tetapi engkau tak akan pernah Memperoleh imanku

Tebarkanlah sejuta duri fitnah Yang menguak hati penuh nanah Tak akan aku menjadi gelisah Karena cintaku telah tumpah Menggapai Marhamah.

Isy kariman au mut syahidan!"


Lihatlah di hadapanmu, betapa jelasnya kemunafikan manusia. Nuraninya telah kering dari siraman air surgawi. Jiwanya telah tergadai kepada dunia. Bahkan, dengan gagah berani mereka mencampakkan rasa malu, membutakan mata hatinya seraya menjual martabat dan harga dirinya demi dunia. Dia tenggelam dalam debu dunia yang menderu dan mendera. Mereka mengaku muslim, tetapi jauh dari sikap dan perilaku yang Islami. Mereka mengaku muslim, tetapi berbudaya dan berpolitik di atas fondasi dan semangat yang tidak dinaungi bayangan Al-Qur'an sama sekali. Bahkan, mereka melakukan "akrobatik intelektual" untuk mencari alasan-alasan yang tidak disadarinya justru sedang memperkuat tatanan masyarakat jahiliah. Kuat secara intelektual, tetapi bobrok secara moral!

Tetapi, bagimu wahai para mujahid dakwah, tidak ada kamus untuk menjadi budak dunia. Dengan iman dan amal prestasimu, gubahlah dunia agar merangkak menjadi budak di ujung telapak kakimu. Jangan engkau bunuh hati nuranimu hanya karena ingin mendapatkan kedudukan dunia.

Bila saja semangat itu terhunjam di hati kita semua, niscaya cita-cita membangun ittihadul ummah (persatuan umat) sebagai salah satu cara untuk mengahadapi kaum dajjalis bukanlah sebuah impian. Dia pasti datang walau pelan dan merangkak sekalipun.

Akhirnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Penerbit Gema Insani Press, Bapak Sirodjul Munir, Ibu Khadijah, dan banyak lagi sahabat yang tidak sempat saya tuliskan yang telah membantu terbitnya buku ini. Demikian pula ucapan terima kasih kepada seluruh santri Labmend yang telah memberikan banyak inspirasi kepada saya.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Jakarta, 17 Oktober 1998

Toto Tasmara 
 
My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 

Friday, May 23, 2008

Wacana Khilafah dan Ideologi Transnasional

Wacana Khilafah dan Ideologi Transnasional

Oleh: M Idrus Ramli*


Perbincangan tentang khilafah Islamiyah dewasa ini seakan tidak terlepas dari kaum pengusung ideologi transnasional. Karena meskipun khilafah Islamiyah merupakan persoalan mayoritas umat Islam – untuk tidak mengatakan umat Islam secara keseluruhan, persoalan khilafah dewasa ini menjadi perbincangan hangat dan polemik yang aktual di berbagai media, setelah diangkat secara internasional oleh kelompok yang mengusung ideologi transnasional – yang dalam hal ini adalah partai politik Hizbut Tahrir, sebagai wacana aktual dan memiliki ruangan pemikiran tersendiri dalam wacana mereka.


Dalam khazanah pemikiran Islam, persoalan khilafah atau imâmah (kepemimpinan) dikategorikan sebagai persoalan furû'iyyah (cabang) yang masuk dalam kajian ilmu fikih, terlepas dari pandangan kelompok Syiah yang menganggapnya sebagai persoalan ushûliyyah (ideologis). Namun walaupun termasuk persoalan furû'iyyah, khilafah memiliki ruangan yang spesifik dalam kajian ilmu kalam (teologis) yang menjadi kajian ushûliyyah. Hampir semua pakar ilmu kalam memberikan kajian yang spesifik tentang khilafah dalam kitab-kitab ilmu kalam yang mereka tulis, semisal Imam al-Haramain dalam al-Irsyâd, al-Ghazali dan al-Iqtishâd, al-Amudi dalam Ghâyat al-Marâm, al-'Adhud al-Iji dalam al-Mawâqif dan lain-lain.


Menurut hemat penulis, yang perlu diperhatikan dalam menyikapi persoalan khilafah yang kian hari selalu berupaya diaktualisasikan oleh kaum pengusung ideologi transnasional Hizbut Tahrir melalui majalah bulanan Al-Wa'ie dan mingguan Al-Islam yang menjadi corong pemikiran mereka, adalah hal-hal yang tersembunyi di belakang slogan khilafah Islamiyah itu sendiri. Memang harus dimaklumi, bahwa pada saat-saat kaum Muslimin dewasa ini dilanda keputus-asaan dan hilangnya rasa percaya diri setelah mengalami kekalahan dan kehancuran dalam bidang sosial, politik, ekonomi, militer, peradaban dan kebudayaan dalam pertarungan dahsyat menghadapi serangan dan hegemoni Barat (Amerika dan Eropa), sebagian kalangan mengembalikan kekalahan tersebut pada rapuhnya persatuan umat Islam yang tercabik-cabik dan tidak terlaksananya syariat Islam sebagai sistem negara dalam naungan khilafah Islamiyah. Berangkat dari alasan inilah, kaum pengusung ideologi transnasional Hizbut Tahrir, yang didirikan oleh Taqiyuddin an-Nabhani, mengangkat wacana khilafah sebagai satu-satunya solusi untuk mengembalikan kejayaan umat Islam yang hilang dan kembali dalam persatuan di bawah naungan sistem khilafah yang menjanjikan terlaksananya ajaran Islam secara kaaffah.


Sekilas, alasan dan ajakan tersebut sangat rasional dan menjanjikan impian indah kaum Muslimin yang telah terkubur dalam kenangan manis sejarah masa lalu. Namun apabila kita melacak latar belakang Taqiyuddin an-Nabhani sendiri dan ideologi yang diusungnya, agaknya kita akan segera menelan ludah yang teramat pahit penuh dengan kekecewaan. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari beberapa contoh berikut ini:


Pertama, latar belakang an-Nabhani sendiri yang diliputi dengan kabut hitam penuh misteri. Masa lalunya, ia termasuk pengikut aliran radikal Ikhwanul Muslimin Quthbizme didikan Sayid Quthub yang mengadopsi pandangan Khawarij dalam hal takfîr (pengkafiran) terhadap seluruh kaum Muslimin yang ada di muka bumi pada saat ini. An-Nabhani juga terlibat sebagai anggota partai sosialis kiri yang beraliran komunis Marxis. Akan tetapi karir politiknya yang tidak berhasil mengantarnya menuju puncak kesuksesan dalam partai komunis tersebut, mengantarnya pada inspirasi untuk mendirikan partai politik 'Islam' Hizbut Tahrir (HT) yang mengusung wacana khilafah dengan dia sendiri sebagai pimpinannya.


Kedua, latar belakang an-Nabhani yang terlibat dalam partai komunis marxis menyisakan satu pemikiran yang dia tuangkan ke dalam partai HT yang didirikannya. Dalam beberapa bagian karyanya as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (seperti hal. 43, 71 dan 91), secara vulgar an-Nabhani mengadopsi ideologi Mu'tazilah yang tidak mempercayai qadha' dan qadar Allah I. Rukun iman yang seharusnya ada enam, direduksinya menjadi lima. Apabila ideologi komunis tidak mempercayai adanya Tuhan apalagi qadha' dan qadar Tuhan, maka HT mempercayai Tuhan tetapi tidak mempercayai qadha' dan qadar yang menjadi salah satu sifat kesempurnaan Tuhan.


Ketiga, dalam karyanya as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (seperti hal. 70), an-Nabhani secara vulgar mengkritik mayoritas kaum Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama'ah sejak generasi salaf yang saleh. Menurutnya, kaum Muslimin telah gagal dalam mengatasi persoalan ideologis sehingga terjerumus dalam 'kesesatan'. Oleh karena itu, tidak heran apabila kita dapati sebagian petinggi HT dewasa ini menulis kritik terhadap ideologi kaum Muslimin dalam ilmu kalam. Tentu saja kritik mereka terhadap kaum Muslimin akan melahirkan perpecahan dan pada akhirnya keberadaan HT sendiri akan dianggap duri dalam daging yang menyakiti kaum Muslimin.


Keempat, masa lalu an-Nabhani yang pernah tidak lulus dalam studinya di Universitas al-Azhar karena hasil ujiannya yang buruk, sangat berpengaruh terhadap pemikiran HT. Tidak jarang an-Nabhani sendiri dan petinggi-petinggi HT yang lain mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial dan keluar dari al-Qur'an dan Hadis, seperti pandangan HT yang tidak mempercayai siksa kubur, fatwa bolehnya jabatan tangan dengan wanita ajnabiyyah, fatwa bolehnya qublat al-muwada'ah (ciuman selamat tinggal) dengan wanita ajnabiyyah sehabis pertemuan semisal acara-acara seminar, pelatihan dan lain-lain.


Dari beberapa pandangan HT yang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an dan Hadis di atas, kiranya kaum Muslimin perlu berpikir jernih dengan hati nurani yang paling dalam, hal-hal yang tersembunyi di belakang jargon khilafah dan tegaknya syariat Islam. Tentu kita akan menolak khilafah dan syariat Islam model HT yang akan menebarkan perpecahan, kebencian, kerapuhan akidah dan dekadensi moral atas nama khilafah dan agama. [] 


* Penulis adalah mantan Pemimpin Redaksi IJTIHAD periode 1418 H. Tulisan ini dimuat di Majalah Ijtihad Edisi 28. sumber dari sidogiri.com

 
My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 

LAHIRNYA MAZHAB HIBRIDA: Fikih Syafii, dari Benih ke Buah

LAHIRNYA MAZHAB HIBRIDA: Fikih Syafii, dari Benih ke Buah
Oleh: Usman Hasib

Boleh jadi, Mazhab Syafii disebut sebagai mazhab hibrida atau persilangan dari beberapa kecenderungan pemikiran fikih pada saat itu. Mazhab Syafii memang dirumuskan melalui pengembaraan dan penyerapan yang panjang terhadap berbagai kecenderungan pemikiran fikih pada saat itu, terutama fikih Hijaz yang cenderung kepada Hadits dan fikih Irak yang cenderung kepada ra'yu (rasional).


***

Tahun 150 H, seorang bayi lahir dari rahim seorang Muslimah di Gazza. Entah kebetulan atau tidak, kelahirannya sarat dengan isyarat-isyarat yang menakjubkan. Pada hari lahirnya, dua ulama besar meninggal dunia, mufti terkenal Hijaz yaitu Imam Ibnu Juraij dan pendiri mazhab Hanafi, yaitu Imam Abu Hanifah.

Sewaktu hamil, sang ibu bermimpi melihat bintang keluar dari perutnya, membubung tinggi ke atas, lalu pecah tercerai berai di langit menerangi daerah-daerah sekelilingnya. Dalam prediksi para ahli, hal itu pertanda akan lahir seorang bayi yang nantinya memiliki pengetahuan yang luas. Bayi itu tidak lain adalah Muhammad bin Idris yang kemudian lebih akrab dengan sebutan Imam asy-Syafii. Ternyata, berpuluh-puluh tahun kemudian, Imam asy-Syafii menjadi mujtahid muthlaq seakan menjawab takwil dari mimpi sang ibu.


Imam Asy-Syafii menyuguhkan sosok pemikiran fikih yang segar, baru dan moderat antara fikih tradisionalis dan fikih rasionalis. Konsep dan teori fikihnya mencoba mengambil jalan tengah antara dua kutub kecendrungan intelektual yang berbeda: antara aliran Hadits (ahl al-Hadîts) dan aliran rasional (ahl ar-ra'yi).


Posisi beliau sebagai penengah sekaligus pendatang baru ini  tidak membuat ide-idenya kalah pamor. Imam asy-Syafii tampil mengimbangi perputaran mazhab pemikiran di zamannya. Imam asy-Syafii mendapatkan sorotan tajam, diteliti, diuji, lalu mulai diminati dan bahkan akhirnya diikuti.


Pengalaman-pengalaman apa saja yang membentuk fikih asy-Syafii? Untuk mengetahui hal ini, kita perlu menjelajahi jejak pengembaraan intelektualnya dari jenjang terendah sampai jenjang yang lebih tinggi.


 


Saat Menabur Benih


Sebelum Imam asy-Syafii muncul sebagai mujtahid besar dengan mazhab yang baru, asy-Syafii mengumpulkan perangkat ijtihadnya melalui proses belajar yang panjang. Fikih asy-Syafii merupakan rumusan baru dari berbagai komposisi fikih yang beliau pelajari semasa hidupnya.


Tempat yang menjadi 'madrasah' pertama bagi Imam asy-Syafii adalah kota Mekah. Beliau sudah singgah di Kota Suci itu sejak dibawa oleh sang ibu saat masih berusia dua tahun. Dalam proses belajar yang dijalaninya, asy-Syafii menampakkan kelebihan sebagai cikal bakal bibit unggul seorang ulama. Pada usia 9 tahun saja, beliau sudah bisa menghapal 30 juz al-Qur'an dengan lancar, dan satu tahun berikutnya, beliau sudah mampu membaca kitab Muwattha', salah satu karya fenomenal Imam Malik.


Bakat dan kecerdasan asy-Syafii sangat membantunya untuk menguasai seluk-beluk bahasa Arab dan ilmu tata bahasanya. Beliau mempelajari bahasa Arab langsung dari sumber yang aslinya, yaitu kabilah-kabilah pedalaman yang bahasanya masih belum tercampur oleh bahasa asing.


Pada usia 15 tahun, asy-Syafii sudah menjadi seorang mufti, sebanding dengan para ulama sepuh di zamannya. Ulama-ulama Mekah yang berjasa menularkan ilmunya kepada Imam asy-Syafii adalah Imam Sufyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid az-Zanji dan Said bin Salim al-Qaddah. Mereka merupakan murid-murid dari ulama Tabiin yang keilmuannya sangat masyhur, di antaranya Mujahid bin Jabr yang terkenal dengan periwayatannya tentang qaul-qaul Ibnu Abbas mengenai tafsir al-Qur'an; 'Atha' bin Abi Rabah, pakar fikih Mekah yang dikenal dengan ilmu manasik hajinya yang lengkap; dan Thawus bin Kisan yang menjabat sebagai mufti sekaligus salah satu murid spesial Ibn Abbas. Bila dirunut lebih jauh, fikih Mekah sejatinya berafiliasi pada dua sahabat besar, yaitu Muadz bin Jabal dan Abdullah bin Abbas.


Setelah dari Mekah, asy-Syafii dalam usia 13 tahun berpindah ke daerah sebelahnya, Madinah, daerah yang pernah didiami Rasulullah r selama kurang lebih 10 tahun. Madinah merupakan salah satu gudang ilmu yang dihuni oleh tokoh-tokoh Shahabat semisal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman, Ali bin Abi Thalib, Abbdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Aisyah. Ilmu mereka menurun pada Tabiin, di antaranya Said bin Musayyib, Urwah bin az-Zubair dan lain-lain. Kemudian berpindah pada kalangan Tabi'ut Tabiin seperti Ibnu Syihab az-Zuhri, Nafi` mantan budak Umar bin Khattab, Rabiah ar-Ra'yi, Yahya bin Said dan Abu az-Zannad Abdullah bin Dzakwan. Hingga pada akhirnya beralih ke Imam asy-Syafii melalui perantara Abdul Aziz ad-Darawardi, Abdullah bin Nafi` dan Imam Malik.


Selama di Madinah, Imam asy-Syafii berhasil merampungkan belajar fikih Maliki sampai wafatnya sang guru, Imam Malik, pada tahun 179 H. Imam asy-Syafii menguasai corak dan metodologi fikih ala Mazhab Maliki yang notabenenya merupakan aliran Hadits (ahl al-Hadîts).


Mazhab Maliki menyatakan bahwa Hadits Âhâd (Hadits yang jalur riwayatnya tidak banyak) yang sahih atau hasan harus didahulukan sebagai dasar hukum dibanding dari qiyâs (analogi). Hanya saja, menurut Mazhab Maliki Hadits Âhâd tidak bisa dipakai sebagai dasar hukum jika berlawanan dengan perbuatan penduduk Madinah. Karena suatu perbuatan yang diterima oleh khalayak ramai, posisinya sama dengan riwayat yang masyhur, sehingga harus didahulukan ketimbang riwayat yang hanya dibawa oleh satu orang saja.


 


Saat Memupuk


Setelah mangkatnya imam Malik, asy-Syafii melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke negeri di ujung selatan Semenanjung Arab, yaitu Yaman. Lingkungan dan kondisi Yaman—dengan corak sosial budaya lokalnya dan kedudukan asy-Syafii yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretaris gubernur plus mufti—merupakan suatu tantangan dan pengalaman baru yang menuntut lebih aktifnya Imam asy-Syafii dalam memahami latar belakang persoalan dan mencoba menghubungkannya dengan konsep fikih yang dimilikinya.


Kenyataan tentunya akan memberikan pengaruh yang baru bagi pola mazhab yang dirancang oleh Imam asy-Syafii. Dan, di Yaman ini beliau juga banyak meraup Hadits dan berbagai ilmu lainya dari para ulama Yaman seperti Abu Ayyub Muthraf bin Mazin al-Shan'ani, Abu Abdirrahman Hisyam bin Yusuf , Amr bin Abi Salmah (murid imam al-Auzai), dan Yahya bin Hassan (salah satu ulama pengikut Imam al-Laits bin Sa'd. Fikih mereka berpangkal pada Shahabat Mu`adz bin Jabal, Khalid bin Walid dan Ali bin Abi Thalib.


Ketegaran dan komitmen asy-Syafii dalam menegakkan hukum Islam menyebabkan rasa dendam pada orang-orang yang tidak menyukainya. Oleh karena itu, pada tahun 184 H, asy-Syafii harus berlawat ke Baghdad menemui Khalifah Harun ar-Rasyid karena dituduh menjadi penyebar ajaran syiah. Namun, beliau berhasil bebas dengan terhormat setelah terbukti tidak bersalah.


Kesempatan pergi ke Iraq, merupakan peluang besar untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuannya. Kebetulan kondisi sosial dan kecenderungan intelektual Iraq, terutama Baghdad, beda jauh dengan Hijaz dan Yaman. Sebagai ibukota Dinasti Abbasiyah tentu saja Baghdad menjadi kota dengan kemajuan peradaban yang luar biasa. Baghdad adalah pusat pertanian, perdagangan, ilmu pengetahuan, penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya.


Hijaz (Mekah, Madinah sampai Yaman) unggul karena kekayaan khazanah Haditsnya, sedangkan Iraq memiliki perbendaharaan Hadits yang minim. Corak fikih di Iraq lebih banyak menggunakan pertimbangan akal dibanding fikih Hijaz. Fikih Iraq merupakan warisan Shahabat Abdullah bin Mas'ud yang kemudian diusung oleh Abu Hanifah, seorang mujtahid besar dan pendiri Mazhab Hanafi. Selanjutnya, fikih tersebut diwarisi oleh Waki' bin al-Jarrah dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani. Kepada mereka berdualah, Imam asy-Syafii berguru fikih di Iraq.


Setelah cukup lama malang melintang ke berbagai wilayah, Imam asy-Syafii akhirnya kembali ke Mekah. Di sana, beliau mengajar dan aktif menyebarkan ilmu.


Dengan pengembaraan yang luar biasa ini, Imam asy-Syafii memiliki sekian banyak perbandingan. Dalam diri beliau terkumpul serpihan demi serpihan gagasan, yang siap untuk dirumuskan dan diolah menjadi buah pemikiran yang segar.


 


Kelahiran dan Pertumbuhan Mazhab asy-Syafii


Setelah mengantongi seabrek pemikiran fikih dari Mekah, Madinah, Yaman dan Iraq, maka pada tahun 195 H, Imam asy-Syafii mendeklarasikan mazhabnya yang baru. Hal ini terjadi bersamaan dengan kunjungan beliau ke Baghdad untuk kedua kalinya. Pada momen-momen inilah pemikiran Imam asy-Syafii memasuki tahap pengujian sebelum akhirnya diterima masyarakat luas. Dengan intens, Imam asy-Syafii menyebarkan mazhabnya di Iraq sekitar 2 tahun, baik lewat lisan maupun tulisan. Di Baghad beliau menulis kitab ar-Risâlah yang kemudian menjadi pelopor lahirnya ilmu ushul fikih. Imam asy-Syafii memiliki para pengikut (ashâb) seperti Imam Ahmad bin Hanbal, az-Za'farani, al-Karabisi dan Abu Tsaur. Seluruh pendapat dan karya Imam asy-Syafii selama berada Baghdad ini kemudian disebut dengan qaul qadîm (pendapat lama dari Imam asy-Syafii).


 


Kematangan dan Kesempurnaan Mazhab asy-Syafii


Titik awal tahap ini dimulai sejak kedatangan Imam asy-Syafii ke Mesir pada akhir-akhir tahun 199 H sampai wafatnya tahun 204 H. Meskipun dalam kurun waktu yang sebentar, yaitu tidak lebih dari 5 tahun dari sisa usianya, masa-masa ini merupakan masa-masa yang menebarkan keharuman dan keagungan Imam asy-Syafi`i. Masa-masa yang penuh dengan inovasi dan kreasi-kreasi subur dari hasil kerja olah pikir Imam asy-Syafii. Pergumulannya dengan para ulama dan pemikiran-pemikiran di Mesir serta pengamatannya yang tajam terhadap kondisi sosial budaya dan kemasyarakatan yang berbeda dengan daerah Hijaz dan Iraq, membuat Imam asy-Syafii menengok kembali pendapat-pendapat yang pernah beliau publikasikan sewaktu berada di Baghdad (qaul qadîm). Imam Syafii pun mengeluarkan revisi atas qaul qadîm-nya. Revisi ini yang kemudian lebih dikenal dengan istilah qaul jadîd. Pemikiran-pemikiran barunya dibukukan ke berbagai kitab, di antaranya kitab al-Ummu yang menjadi salah satu kitab induk dalam mazhab asy-Syafii.


Inovasi-inovasi asy-Syafii ini membuat beberapa ulama-ulama besar dari mazhab lain berbelok arah menjadi pengikutnya, seperti Imam al-Muzani yang sebelumnya bermazhab Hanafi dan al-Buwaithi yang pada awalnya menganut Mazhab Maliki.


 


                                                           **********


Sampai di sini, kita tahu betapa keras perjuangan Imam asy-Syafii dalam melakoni proses pencarian jati diri pemikirannya. Berkat perjuangan, pengembaraan, dan kemauan yang tak kenal lelah, didukung dengan kecerdasan yang tinggi, Allah menganugerahi Imam asy-Syafii kemampuan untuk menjadi mujtahid. Ijtihadnya melahirkan fikih yang matang dan akomodatif, akumulasi dari fikih Hijaz, Iraq, Yaman, dan Mesir. Inilah fikih yang mengeksplorasi kekayaan tradisi dengan pemahaman mendalam tentang dalil-dalil syariat.[]

 


Kudeta Demi Khilafah

 Kudeta Demi Khilafah

Oleh: Ahmad Dairobi*

Memang sudah semestinya seorang Muslim punya keinginan agar umat Islam bersatu kembali di bawah satu pemimpin, seperti pada masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin juga Bani Umayah. Jika tidak, maka layak dipertanyakan komitmennya terhadap agama. Hal itu sebagai sebuah idealisme. Soal mungkinkah persatuan itu terwujud atau tidak, itu soal lain.


Barangkali semua Muslim sepakat bahwa pemerintahan ideal itu adalah pemerintahan khilafah pada masa Khulafaur Rasyidin. Sehingga, khilafah banyak dianggap sebagai bentuk asli dari pemerintahan Islam, meskipun sebenarnya khilafah bukanlah sebuah bentuk, namun sebuah semangat.

 

Kalau kita mengikuti pendapat Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, jelas sekali bahwa khilafah itu bukanlah sebuah bentuk. Arti khilafah menurutnya adalah membawa masyarakat untuk mencapai kebaikan dunia-akhirat dengan mengikuti pola pikir Syariat. Definisi ini dibuat oleh Ibnu Khaldun untuk membedakan dengan al-mulk (kerajaan) yang berarti membawa masyarakat atas dasar kepentingan dan nafsu. Makna yang hampir sama disampaikan oleh Khudhari Bik dalam Itmâmul-Wafâ dan Abdul Wahhab an-Najjar dalam al-Khulafâ' ar-Râsyidûn.

 

Menurut beberapa Hadis, khilafah memang selesai pada tahun 40 Hijriah atau 30 tahun setelah Rasulullah r wafat. Namun, dalam Hadis lain, Rasulullah r masih menyebut para pemimpin setelah itu sebagai khalifah, semisal yang terdapat dalam Hadis tentang 12 khalifah yang diriwayatkan dari banyak jalur. Dengan demikian, maka yang dimaksud khilafah yang berakhir pada tahun 40 itu adalah khilafah yang ideal.

 

Secara umum, kamus politik internasional menyatakan bahwa khilafah berakhir pada tahun 1924 M, setelah runtuhnya Dinasti Utsmani di Turki. Kesimpulan ini didapat mungkin karena setelah Dinasti Utsmani tidak ada lagi negara Islam yang menyematkan label khilafah dalam pemerintahannya. Atau, mungkin karena Dinasti Utsmani merupakan negara Islam terakhir yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Atau, mungkin karena Dinasti Utsmani berdiri di Abad Pertengahan. Memang, hampir semua pemerintahan Islam yang muncul di Abad Pertengahan mengklaim dirinya sebagai "Khilafah".

 

Ibnu Khaldun memilih untuk tidak memastikan sampai abad berapa khilafah itu bertahan. Ketika melihat kecenderungan politik antar-masa, ia hanya membuat kesimpulan bahwa kadar kekentalan khilafah bisa dibagi tiga, yaitu khilafah murni, khilafah campuran, dan khilafah labelnya saja. Masa Khulafaur Rasyidin masih murni khilafah, karena pemerintahan betul-betul berdasarkan agama. Masa Umayah sampai masa-masa awal Abbasiyah, secara umum, landasan agama dalam khilafah sudah bercampur baur dengan politik kekuasaan yang dibangun di atas orientasi golongan dan kepentingan duniawi penguasa. Setelah itu, secara umum, khilafah sudah tinggal nama dan klaim, sedangkan esensinya sudah hilang sama sekali.

 

Maka, ketika kata "khilafah" diucapkan, cukup sulit bagi kita untuk menebak apa maksudnya. Sebab, persepsi orang tentang pengertian khilafah memang berbeda-beda. Ada yang cenderung memahami khilafah sebagai semangat kepemimpinan yang berlandaskan agama. Dengan pengertian ini, maka khilafah tidak bisa disematkan secara utuh kepada satu periode tertentu, kecuali masa Khulafaur Rasyidin. Dengan pengertian ini, orang bisa saja menyebut pemerintahan Umar bin Abdil Aziz sebagai khilafah, tapi masa sebelum dan sesudahnya sudah bukan khilafah. Di antara puluhan negara-negara Islam saat ini, bisa saja ada negara khilafah jika negara itu menjadikan Islam sebagai landasan pemerintahannya.

 

Adapula yang cenderung memahami khilafah sebagai persatuan umat Islam di bawah satu pemimpin atau umat Islam hanya punya satu negara dan satu pemimpin. Mengikuti pengertian ini, maka khilafah secara umum berakhir pada masa Umayah. Setelah itu sudah bukan khilafah, karena Muslimin sudah terpecah ke dalam dua pemerintahan, lalu ke dalam beberapa negara.

*****

Apapun persepsi tentang khilafah, yang jelas semuanya merujuk pada masa Khulafaur Rasyidin. Hanya saja sudut pandangnya berbeda-beda. Ada yang mengambil dari sudut pandang semangat, landasan dan moralnya. Ada yang mengambil dari sudut pandang persatuannya. Dan, adapula yang mengambil sudut pandang secara utuh. Yang terakhir ini adalah sudut pandang paling idealis, namun nyaris menjadi sebuah utopia jika melihat kondisi saat ini.

 

Meski untuk kembali ke Khulafaur Rasyidin hampir mustahil, minimal kita wajib  punya keinginan atau impian kembali ke sana. Namun, bukan berarti bahwa pemerintahan yang tidak sama dengan Khulafaur Rasyidin harus dibabat, dikudeta lalu direvolusi. Sebab, politik bukanlah wilayah yang bisa disulap tanpa risiko. Revolusi politik memiliki risiko yang sangat tinggi.

 

Kudeta Abbasiyah membuat Damaskus menjadi lautan darah. Rencana pemberontakan Sayidina Husain terhadap Yazid berakhir dengan tragedi Karbala yang mengenaskan. Kudeta Abdullah bin az-Zubair berakhir dengan genangan darah Muslimin di Masjidil Haram dan bangunan Kakbah menjadi luluh lantak. Pemberontakan Madinah terhadap Yazid berakhir dengan Tragedi Harrah yang memakan puluhan ribu nyawa Muslimin, baik dari Sahabat maupun Tabiin.

 

Karena pertimbangan risiko tinggi itu, ulama-ulama fikih nyaris menutup pintu untuk memberikan izin bagi terjadinya pemberontakan, kudeta dan semacamnya, meskipun penguasa yang hendak dihabisi adalah penguasa yang zalim. Ada banyak sekali syarat untuk bisa mengkudeta penguasa yang tidak memenuhi kriteria, antara lain: tidak menyebabkan terjadi kekacauan yang lebih besar dan pengganti yang dipersiapkan memenuhi kriteria.

 

Oleh karena itu, ulama-ulama fikih cenderung menyatakan sah terhadap pemerintahan-pemerintahan Muslimin yang tidak sesuai kriteria Syariat, baik yang tidak sesuai itu adalah kualitas pemimpinnya atau sistem pemerintahan yang dianutnya. Keputusan ini diambil karena realitas politik memang tidak memungkinkan untuk menerapkan semua kriteria secara utuh. Inilah yang disebut kondisi darurat. Dalam kondisi ini, berada di bawah pemimpin yang zalim masih lebih baik daripada tidak memiliki pemimpin sama sekali. Memiliki pemerintahan yang tidak ideal masih lebih baik daripada terjadinya pertumpahan darah yang tak ada ujungnya.

 

Kalau kondisi tidak ideal itu selalu disikapi dengan upaya kudeta dan pemberontakan, maka umat Islam akan mengalami nasib yang sama dengan Khawarij. Dari satu rezim ke rezim yang lain, Khawarij selalu menjadi opisisi ekstrem dan berada di medan perang melawan penguasa; benak mereka selalu diisi dengan revolusi politik Sehingga, mereka selalu berada dalam situasi resah, tidak sempat mempelajari ilmu pengetahuan agama, apalagi membangun peradaban. Ini jelas tidak kondusif bagi perkembangan Islam.

 

Melihat berbagai ilustrasi di atas, inti yang ingin penulis sampaikan di sini adalah bahwa kita wajib punya impian untuk memiliki pemerintahan sebagaimana masa Khulafaur Rasyidin. Jika memungkinkan dan tidak menyebabkan mudarat yang lebih besar, kita juga wajib berjuang untuk menegakkan dan menghidupkan kembali pemerintahan Khulafaur Rasyidin, baik dalam bagian-bagian tertentu atau (kalau bisa) secara utuh.

 

Namun demikian, pemerintahan kita saat ini tetaplah merupakan pemerintahan yang sah; undang-undang dan peraturannya yang tidak melanggar Syariat wajib kita patuhi. Dan, jika memungkinkan dan tidak menyebabkan mudarat yang lebih besar, kita juga harus memperjuangkan agar negara ini bisa menjadi lebih sesuai lagi dengan Syariat dan mengupayakan agar umat Islam bisa bersatu kembali di bawah satu pimpinan.

 

Sekali lagi, semua itu, kalau memungkinkan dan tidak menimbulkan mudarat yang lebih besar.[]

 

* Penulis adalah Kepala Badan Pers Pesantren Pondok Pesantren Sidogiri dan Mantan Pemimpin Redaksi IJTIHAD periode 1421 H. Tulisan ini dimuat di Majalah Ijtihad Edisi 28

sumber :http://www.sidogiri.com/modules.php?name=Kajian_Santri&file=article&sid=915&mode=&order=0&thold=0
 
My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 

Besarnya Pengaruh Tinta Menjaga Keaslian Ajaran

Besarnya Pengaruh Tinta Menjaga Keaslian Ajaran vs Mempertahankan keyakinan
 

Oleh : Ahmad Dairobi


"Tulisan bisa bertahan, sedang hafalan mudah melayang," demikian dalam kata bijak Arab. Sebuah tulisan tetap memiliki pengaruh, meski penulisnya sudah hilang ditelan masa. Demikian kira-kira ucapan penyair yang dikutip Syekh az-Zarnuji dalam kitab Ta'lîmul-Muta'allim.



Sulit untuk dihitung berapa deret penghargaan, pujian, atau dorongan yang diberikan untuk sebuah buku. Buku, memang memiliki peran tersendiri yang tidak bisa diperankan oleh media yang lain. Rasulullah r bersabda:


يُوْزَنُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِدَادُ العُلَمَاءِ وَدِمَاءُ الشُّهَدَاءِ فَيَرْجِحُ مِدَادُ العُلَمَاءِ عَلىَ دِمَاءِ الشُّهَدَاءِ


"Pada Hari Kiamat, tinta ulama dan darah orang-orang yang mati syahid ditimbang. Ternyata, tinta ulama lebih berat dibanding darah orang-orang yang mati syahid." (HR al-Marhabi dari Imran bin Hushain, Ibnu Abdil Barr dari Abu Darda', asy-Syirazi dari Anas bin Malik)


Mengenai Hadis ini, memang ada beberapa ulama yang menolak karena sanadnya dhaîf, atau bahkan ada yang menyatakan maudhû', namun al-Munawi menyatakan bahwa Hadis ini bisa diterima meskipun sanadnya dhaîf, karena masing-masing riwayat saling memperkuat satu sama lain. Selain dukungan al-Munawi dari segi sanad, isi dari Hadis ini memang bernilai tinggi. Karena realitasnya, buku memang dapat membawa angin perubahan terhadap pola pikir dan pandangan hidup masyarakat. Dalam hal ini, pengaruh kekuatan pena memang bisa lebih dahsyat dibanding pengaruh pedang atau kekuatan politik. Maka tidak heran kalau dalam Hadis tersebut Rasulullah r menyampaikan bahwa bobot tinta ulama (pengaruh perjuangan pemikiran) masih lebih berat dibanding bobot darah syuhada (pengaruh perjuangan politik).


Berkat kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama, kekayaan ajaran Islam masih tetap terjaga dengan baik. Tak ada satupun agama di dunia ini yang memiliki kekayaan referensi orisinal sebagaimana Islam. Agama-agama lain tidak memiliki mata rantai riwayat dan penulisan yang bisa dipertanggungjawabkan, sehingga keaslian ajaran mereka mudah diruntuhkan oleh kritik-kritik kesejarahan. Ini sangat berbeda dengan Islam, keaslian ajarannya bisa dilacak dan dipertanggungjawabkan dengan mudah dan kokoh. Sehingga, sangat sulit diruntuhkan melalui kritik-kritik kesejarahan.


Penyatuan tulisan Mushaf al-Qur'an yang dilakukan pada masa Sayidina Utsman t memiliki peran sangat besar bagi terjaganya kesucian teks al-Qur'an. Hal itu mirip dengaan kebijakan kodifikasi Hadis yang diputuskan Khalifah Umar bin Abdil Aziz t pada ujung Abad Pertama Hijriah. Kebijakan itu memiliki peran sangat besar bagi kelestarian ajaran-ajaran Rasulullah r, sehingga tetap bisa menjadi pegangan hidup generasi Muslimin setelah itu.


Bacaan punya peran besar bagi kelestarian sebuah pandangan hidup, terutama pandangan hidup keagamaan. Wahab bin al-Munabbih, seorang Tabiin yang dikenal sebagai pakar sejarah umat-umat terdahulu, menyatakan bahwa Nebukadnezar memiliki dosa yang sangat besar terhadap agama Yahudi. Hal itu, salah satunya, karena Raja Babilonia itu membakar dan melenyapkan kitab-kitab keagamaan Yahudi. Sehingga, meski pada akhir hayatnya sempat mengakui keesaan Allah, tobat Nebukadnezar tetap tidak diterima.


Selain andil melestarikan pandangan hidup tertentu, kitab atau buku juga punya andil dalam membawa perubahan bagi masyarakat, baik itu perubahan positif atau penyimpangan massal. Hal itu merupakan sesuatu yang dengan sangat mudah dapat kita simpulkan dari perjalanan sejarah. Ibnu Abbas konon pernah melarang untuk menulis. Dalam cerita Said bin Jubair, muridnya, beliau pernah bilang, "Yang membuat umat sebelum kalian menjadi sesat adalah kitab-kitab."


Yang dimaksud Ibnu Abbas di atas, barangkali adalah kecaman Allah terhadap para penulis Yahudi yang memasukkan kebohongan-kebohongan dalam tulisan mereka karena ingin mengeruk keuntungan materi, sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 79. Buku-buku yang mereka tulis berpengaruh terhadap berubahnya ajaran-ajaran asli yang disampaikan Nabi Musa u.


Penulis punya seribu satu motivasi ketika ia mulai menulis. Bisa saja ia mengorbankan kebenaran yang diyakininya karena hendak mengejar popularitas atau kepentingan duniawi. Atau, bisa jadi penulisnya memang meyakini sesuatu yang menyimpang. Kedua hal ini tentu saja sangat berpengaruh pada arah dan isi tulisan, lalu melahirkan pengaruh buruk terhadap pembacanya.


Selain faktor kesalahan penulis, pengaruh buruk dari sebuah kitab, buku, atau jenis tulisan yang lain bisa juga karena kesalahpahaman pembacanya, kondisinya yang tidak kondusif, atau faktor-faktor yang lain. Dari sekian banyak faktor itu, yang paling berpengaruh tentunya adalah faktor penulisnya.


Beberapa penyimpangan akidah yang meresap ke dalam hati umat Islam pada Abad Pertengahan, ditengarai merupakan pengaruh dari penulis-penulis Yunani yang hidup ribuan tahun sebelumnya. Syekh Abdul Halim Mahmud, ulama ternama dari al-Azhar, menengarai bahwa dampak buruk dari maraknya buku-buku Yunani sangatlah besar.


Adalah Yahya bin Khalid al-Barmaki, tokoh politik tangan kanan Dinasti Abbasiyah di masa-masa awal, yang mengimpor buku-buku filsafat metafisika Yunani dari negeri Romawi. Juga al-Ma'mun, Khalifah Abbasiyah yang beraliran Muktazilah, banyak mengimpor buku-buku filsafat metafisika Yunani dari Siprus, pulau bekas jajahan Romawi di Laut Tengah. Buku-buku itu banyak mempengaruhi pola pemikiran ketuhanan para filosof Muslim yang oleh Imam al-Ghazali dalam karyanya Tahâfutul-Falâsifah ditegaskan sebagai pemikiran kafir.


Jauh sebelum Imam al-Ghazali, Imam asy-Syafi'i sudah menegaskan bahwa buku-buku Yunani berdampak meresapkan berbagai penyimpangan akidah di tubuh umat Islam. "Orang-orang Islam menjadi bodoh dan bersilang pendapat karena mereka meninggalkan lidah Arab dan cenderung memakai lidah Aristoteles," tegas Imam asy-Syafi'i sebagaimana dikutip Syekh Abdul Halim Mahmud dalam karyanya, al-Islâm wal-'Aql.


Melihat besarnya pengaruh buku terhadap keyakinan, pemikiran, dan gaya hidup seseorang, maka sangatlah maklum bila ulama, pada umumnya, melarang membaca buku-buku yang isinya tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam Ahlusunah wal Jamaah, seperti karya-karya Muktazilah, Syiah, dan para filosof metafisika. Larangan itu diarahkan, terutama, pada para pemula, karena mereka merupakan pembaca yang sangat mudah terpengaruh oleh apa yang dibacanya. Bacaan yang salah sangat berpotensi meresapkan keraguan terhadap keyakinan, pemikiran, dan gaya hidup seseorang bila ia belum memiliki fondasi mapan.


Faktor pengetahuan pembaca memang cukup menentukan bagi lahirnya pengaruh baik atau buruk dari sebuah bacaan. Maka, tidak heran jika kemudian muncul sebuah pernyataan, "Orang yang membaca tanpa melalui guru, maka gurunya adalah setan."


Pernyataan ini tentu saja bukan sebuah kaidah yang bisa diterapkan secara menyeluruh, tapi hanya merupakan vonis terhadap kasus-kasus tertentu. Inti dari pernyataan ini adalah untuk memberikan langgam bahwa dalam mencari kebenaran, seseorang butuh pembimbing. Tidak bisa otodidak mutlak, karena sangat mungkin dia salah paham dalam membaca dan memahami masalah-masalah tertentu.


Walhasil, sebagai sebuah pengetahuan atau informasi murni, kitab, buku atau tulisan apapun, sangatlah penting untuk dibaca. Tak ada informasi yang tidak penting. Namun, jika di balik informasi itu terdapat hal lain yang mengganggu, maka informasi itu menjadi penting untuk disumbat atau disesuaikan dengan kondisi pembacanya. Tentunya, bukan untuk menyumbat wawasannya, tapi menyumbat pengaruh buruknya.

sumber :http://www.sidogiri.com/modules.php?name=News&file=article&sid=953&mode=&order=0&thold=0

My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal