Friday, May 23, 2008

Besarnya Pengaruh Tinta Menjaga Keaslian Ajaran

Besarnya Pengaruh Tinta Menjaga Keaslian Ajaran vs Mempertahankan keyakinan
 

Oleh : Ahmad Dairobi


"Tulisan bisa bertahan, sedang hafalan mudah melayang," demikian dalam kata bijak Arab. Sebuah tulisan tetap memiliki pengaruh, meski penulisnya sudah hilang ditelan masa. Demikian kira-kira ucapan penyair yang dikutip Syekh az-Zarnuji dalam kitab Ta'lîmul-Muta'allim.



Sulit untuk dihitung berapa deret penghargaan, pujian, atau dorongan yang diberikan untuk sebuah buku. Buku, memang memiliki peran tersendiri yang tidak bisa diperankan oleh media yang lain. Rasulullah r bersabda:


يُوْزَنُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِدَادُ العُلَمَاءِ وَدِمَاءُ الشُّهَدَاءِ فَيَرْجِحُ مِدَادُ العُلَمَاءِ عَلىَ دِمَاءِ الشُّهَدَاءِ


"Pada Hari Kiamat, tinta ulama dan darah orang-orang yang mati syahid ditimbang. Ternyata, tinta ulama lebih berat dibanding darah orang-orang yang mati syahid." (HR al-Marhabi dari Imran bin Hushain, Ibnu Abdil Barr dari Abu Darda', asy-Syirazi dari Anas bin Malik)


Mengenai Hadis ini, memang ada beberapa ulama yang menolak karena sanadnya dhaîf, atau bahkan ada yang menyatakan maudhû', namun al-Munawi menyatakan bahwa Hadis ini bisa diterima meskipun sanadnya dhaîf, karena masing-masing riwayat saling memperkuat satu sama lain. Selain dukungan al-Munawi dari segi sanad, isi dari Hadis ini memang bernilai tinggi. Karena realitasnya, buku memang dapat membawa angin perubahan terhadap pola pikir dan pandangan hidup masyarakat. Dalam hal ini, pengaruh kekuatan pena memang bisa lebih dahsyat dibanding pengaruh pedang atau kekuatan politik. Maka tidak heran kalau dalam Hadis tersebut Rasulullah r menyampaikan bahwa bobot tinta ulama (pengaruh perjuangan pemikiran) masih lebih berat dibanding bobot darah syuhada (pengaruh perjuangan politik).


Berkat kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama, kekayaan ajaran Islam masih tetap terjaga dengan baik. Tak ada satupun agama di dunia ini yang memiliki kekayaan referensi orisinal sebagaimana Islam. Agama-agama lain tidak memiliki mata rantai riwayat dan penulisan yang bisa dipertanggungjawabkan, sehingga keaslian ajaran mereka mudah diruntuhkan oleh kritik-kritik kesejarahan. Ini sangat berbeda dengan Islam, keaslian ajarannya bisa dilacak dan dipertanggungjawabkan dengan mudah dan kokoh. Sehingga, sangat sulit diruntuhkan melalui kritik-kritik kesejarahan.


Penyatuan tulisan Mushaf al-Qur'an yang dilakukan pada masa Sayidina Utsman t memiliki peran sangat besar bagi terjaganya kesucian teks al-Qur'an. Hal itu mirip dengaan kebijakan kodifikasi Hadis yang diputuskan Khalifah Umar bin Abdil Aziz t pada ujung Abad Pertama Hijriah. Kebijakan itu memiliki peran sangat besar bagi kelestarian ajaran-ajaran Rasulullah r, sehingga tetap bisa menjadi pegangan hidup generasi Muslimin setelah itu.


Bacaan punya peran besar bagi kelestarian sebuah pandangan hidup, terutama pandangan hidup keagamaan. Wahab bin al-Munabbih, seorang Tabiin yang dikenal sebagai pakar sejarah umat-umat terdahulu, menyatakan bahwa Nebukadnezar memiliki dosa yang sangat besar terhadap agama Yahudi. Hal itu, salah satunya, karena Raja Babilonia itu membakar dan melenyapkan kitab-kitab keagamaan Yahudi. Sehingga, meski pada akhir hayatnya sempat mengakui keesaan Allah, tobat Nebukadnezar tetap tidak diterima.


Selain andil melestarikan pandangan hidup tertentu, kitab atau buku juga punya andil dalam membawa perubahan bagi masyarakat, baik itu perubahan positif atau penyimpangan massal. Hal itu merupakan sesuatu yang dengan sangat mudah dapat kita simpulkan dari perjalanan sejarah. Ibnu Abbas konon pernah melarang untuk menulis. Dalam cerita Said bin Jubair, muridnya, beliau pernah bilang, "Yang membuat umat sebelum kalian menjadi sesat adalah kitab-kitab."


Yang dimaksud Ibnu Abbas di atas, barangkali adalah kecaman Allah terhadap para penulis Yahudi yang memasukkan kebohongan-kebohongan dalam tulisan mereka karena ingin mengeruk keuntungan materi, sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 79. Buku-buku yang mereka tulis berpengaruh terhadap berubahnya ajaran-ajaran asli yang disampaikan Nabi Musa u.


Penulis punya seribu satu motivasi ketika ia mulai menulis. Bisa saja ia mengorbankan kebenaran yang diyakininya karena hendak mengejar popularitas atau kepentingan duniawi. Atau, bisa jadi penulisnya memang meyakini sesuatu yang menyimpang. Kedua hal ini tentu saja sangat berpengaruh pada arah dan isi tulisan, lalu melahirkan pengaruh buruk terhadap pembacanya.


Selain faktor kesalahan penulis, pengaruh buruk dari sebuah kitab, buku, atau jenis tulisan yang lain bisa juga karena kesalahpahaman pembacanya, kondisinya yang tidak kondusif, atau faktor-faktor yang lain. Dari sekian banyak faktor itu, yang paling berpengaruh tentunya adalah faktor penulisnya.


Beberapa penyimpangan akidah yang meresap ke dalam hati umat Islam pada Abad Pertengahan, ditengarai merupakan pengaruh dari penulis-penulis Yunani yang hidup ribuan tahun sebelumnya. Syekh Abdul Halim Mahmud, ulama ternama dari al-Azhar, menengarai bahwa dampak buruk dari maraknya buku-buku Yunani sangatlah besar.


Adalah Yahya bin Khalid al-Barmaki, tokoh politik tangan kanan Dinasti Abbasiyah di masa-masa awal, yang mengimpor buku-buku filsafat metafisika Yunani dari negeri Romawi. Juga al-Ma'mun, Khalifah Abbasiyah yang beraliran Muktazilah, banyak mengimpor buku-buku filsafat metafisika Yunani dari Siprus, pulau bekas jajahan Romawi di Laut Tengah. Buku-buku itu banyak mempengaruhi pola pemikiran ketuhanan para filosof Muslim yang oleh Imam al-Ghazali dalam karyanya Tahâfutul-Falâsifah ditegaskan sebagai pemikiran kafir.


Jauh sebelum Imam al-Ghazali, Imam asy-Syafi'i sudah menegaskan bahwa buku-buku Yunani berdampak meresapkan berbagai penyimpangan akidah di tubuh umat Islam. "Orang-orang Islam menjadi bodoh dan bersilang pendapat karena mereka meninggalkan lidah Arab dan cenderung memakai lidah Aristoteles," tegas Imam asy-Syafi'i sebagaimana dikutip Syekh Abdul Halim Mahmud dalam karyanya, al-Islâm wal-'Aql.


Melihat besarnya pengaruh buku terhadap keyakinan, pemikiran, dan gaya hidup seseorang, maka sangatlah maklum bila ulama, pada umumnya, melarang membaca buku-buku yang isinya tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam Ahlusunah wal Jamaah, seperti karya-karya Muktazilah, Syiah, dan para filosof metafisika. Larangan itu diarahkan, terutama, pada para pemula, karena mereka merupakan pembaca yang sangat mudah terpengaruh oleh apa yang dibacanya. Bacaan yang salah sangat berpotensi meresapkan keraguan terhadap keyakinan, pemikiran, dan gaya hidup seseorang bila ia belum memiliki fondasi mapan.


Faktor pengetahuan pembaca memang cukup menentukan bagi lahirnya pengaruh baik atau buruk dari sebuah bacaan. Maka, tidak heran jika kemudian muncul sebuah pernyataan, "Orang yang membaca tanpa melalui guru, maka gurunya adalah setan."


Pernyataan ini tentu saja bukan sebuah kaidah yang bisa diterapkan secara menyeluruh, tapi hanya merupakan vonis terhadap kasus-kasus tertentu. Inti dari pernyataan ini adalah untuk memberikan langgam bahwa dalam mencari kebenaran, seseorang butuh pembimbing. Tidak bisa otodidak mutlak, karena sangat mungkin dia salah paham dalam membaca dan memahami masalah-masalah tertentu.


Walhasil, sebagai sebuah pengetahuan atau informasi murni, kitab, buku atau tulisan apapun, sangatlah penting untuk dibaca. Tak ada informasi yang tidak penting. Namun, jika di balik informasi itu terdapat hal lain yang mengganggu, maka informasi itu menjadi penting untuk disumbat atau disesuaikan dengan kondisi pembacanya. Tentunya, bukan untuk menyumbat wawasannya, tapi menyumbat pengaruh buruknya.

sumber :http://www.sidogiri.com/modules.php?name=News&file=article&sid=953&mode=&order=0&thold=0

My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 

No comments: