Friday, July 3, 2009

Jangan meminta yang bukan hakmu

Mungkin tak pernah lagi dapat dipahami. Oleh siapapun. Siapapun yang masih mempunyai syahwat terhadap lezatnya dunia. Dunia yang penuh dengan tipuan. Terkadang menyesatkan orang-orang yang lemah. Lemah hubungan dan kecintaannya terhadap Allah Azza Wa Jalla. Tapi, kisah ini pernah terjadi di dalam episode sejarah Islam, yang menyebabkan umatnya mendapatkan kemuliaan, dan ketenteraman. Dalam kurun waktu yang sangat singkat.

Suatu hari, Ummu Amr bin Marwan, dikenal wanita sangat manja dikalangan para Khalifah dan pembesar Dinasti Marwan. Tetapi, ia seorang yang sangat dihormati dan disayangi oleh keponakannya, Umar bin Abdul Aziz.

Ketika seluruh hak-hak istimewa (privilieges) Daulah Bani Umaiyah dicabut, maka dicabut pula hak-hak istimewa yang dimiliki wanita itu. Maka, wanita itu menemui Umar … yang saat itu sedang makan malam. Wanita itu mengucapkan salam, lalu duduk. .. Matanya terbelalak melihat pemandangan yang hampir tidak dapat dipercayai oleh kedua matanya. ..

Apa yang dimakan oleh Umar bin Abdul Aziz, tiada lain beberapa potong roti basi dan semangkok kuah.

Bumi bagaikan terbalik dalam pandangan wanita itu ..
Inikah Umar yang dahulu bergelimang kemewahan ..?
Hanya itukah yang menjadi makanannya …?

Wanita itu, yang tak lainnya adalah bibinya sendiri, tak dapat menguasai dirinya lagi, ia pun menangis di depan Umar, seraya berkata : "Aku datang kemari karena ada keperluan kepadamu .. Tetapi, aku tidak akan menyampaikan hal itu sebelum memulai dengan dirimu terlebih dahulu!". "Apa yang ingin bibi lakukan?", tanya Umar. "Dapatkah kamu mengambil makanan yang lebih dari pada ini?", tanya bibinya. "Tapi … aku memang tidak punya apapun selain ini, bibi. Kalau ada, tentulah aku akan mengambilnya!", ujar Umar.

"Pamanmu, Abdul Malik bin Marwan telah memberikan semua harta yang kubutuhkan. Kakakmu, Walid malahan menambahnya … demikian pula dengan halnya Sulaiman. Kemudian kekuasaan berpindah ke tanganmu, lalu kamu memutuskan bantuan itu ..!".

"Bibi, pamanku, Abdul Malik dan kedua saudaraku, Walid dan Sulaiman telah memberikan harta kekayaan kaum muslimin sebagai bantuan kepada bibi. Sedangkan itu semua bukanlah milikku. Akan tetapi kalau bibi mau, aku dapat memberikan harta milikku sendiri!", ujar Umar.

"Berapa banyak kekayaan yang kamu miliki hai Amirul Mukminin?", tanya bibinya. "Gajiku .. dua ratus dinar setahun, ambillah!", sahut Umar. "Cukup apa uang sekecil itu bagiku?", ujar wanita itu, serta dengan nada yang jengkel.

Wanita itu pun pulanglah dengan hati kecewa, karena selama ini, para Khalifah Bani Marwn selalu memberinya segala apa yang dimintanya, serta memenuhi segala keinginannya … !".
Masih dapatkah orang mengharapkan apa yang bukan menjadi miliknya ..?

Tidak .. Api keikhlasannya telah membakar hangus segala bentuk ketamakan dunia. Keikhlasannya telah memagari dirinya dari segala bentuk godaan dan penyelewengan. Sebagaimana ia menjadi benteng yang tangguh yang melindungi dirinya dari segala macam ancaman manusia.

Suatu ketika, datanglah orang-orang dekatnya dan menanyakan : "Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau tidak takut terhadap tindakan yang diakibatkannya?", Tanya sahabatnya itu. Mendengar pertanyaan sahabatnya itu, tiba-tiba laki-laki yang lemah lembut, santun dan tiada henti-hentinya menangis itu .. , tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Ia bangkit seperti singa, dan suaranya menggeletar keras :

"Apakah kalian menyuruh diri saya takut pada selain hari kiamat .. ? Semua bentuk ketakutan selain hari kiamat, sama sekali tidak ada artinya bagiku …!". Itulah Umar bin Abdul Aziz.

Keikhlasannya itu telah melenyapkan segala rintangan yang tidak mungkin dilenyapkan oleh siapapun juga. Kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan oleh para khalifah keluarga Bani Umaiyah selama ini, kebobrokan yang merajalela, baik politik, ekonomi dan social, semuannya luluh dibawah kebesaran jiwa yang ikhlas dari umar.

Maka, Umar selalu mengucapkan do'a yang tidak pernah putus-putus, yang menjadi tali pengikat dalam kehidupannya, selama menjadi Khalifah adalah :

"Ya Alah, jadikanlah aku rela dengan keputusan-Mu. Berkahilah aku dengan takdir-Mu, sehingga aku tidak akan suka memajukan sesuatu yang Engkau undurkan, dan mengundurkan apa yang Engkau majukan".   Wallahu 'alam.

Sumber Era Muslim
--
Your Best Regard
www.rindurosul.wordpress.com
http://www.rumahvendi.phpnet.us

Monday, June 29, 2009

Risalah Niat Dalam Ibadah

Niat adalah merupakan hal yang penting pada setiap pekerjaan kita, berangkat dari hadits Baginda Rasulullah SAW :

انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى. فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله ، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها او امراة ينكحها فهجرته الى ماهاجر اليه

"Sesungguhnya segala amalan itu dengan niat, dan segala sesuatu tidak ada artinya tanpa adanya niat, maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya, dan barang siapa yang hijrahnya untuk urusan dunia yang akan didapatkannya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya pada sesuatu yang diniatkan kepadanya" (HR. Bukhori)

Dari hadits diatas inilah para ulama fikih mengharuskan atau menjadikan niat sebagai hal yang harus pada setiap pekerjaan atau ibadah yang kita lakukan sehari-hari, bahkan pada pekerjaan mubah pun bisa bernilai sunnah jika diniatkan untuk mengikuti Rasulullah SAW, akan tetapi niat berbuat jahat tidak akan ditulis sebagai kejahatan sampai niat tersebut dilaksanakan, sementara niat kebaikan akan dicatat satu amalan kebaikan walaupun belum dilakukan walaupun baru berniat saja, demikian indahnya kemurahan Allah SWT yang maha Pemurah.

Terdapat sejumlah pemahaman dalam hal ini, salah satunya menggampangkan suatu pemahaman dengan mengatakan "jika kita sudah wudu sudah berangkat ke masjid ya berarti kita sudah punya niat untuk sholat", hal seperti ini bisa benar bisa juga salah, karena jika kita teliti anak sekolah bangun pagi mandi berangkat sekolah, sesampai di sekolah gurunya tidak masuk, dan dia tidak dapat pelajaran apapa, namun dia merasa bahagia karna dia bisa bermain dengan puas, padahal kita tahu tujuan para anak sekolah itu untuk belajar, mengapa mereka senang tidak dapat pelajaran, jawabannya karna niatnya sudah keliru, niatnya tidak terhujam dalam hatinya, bahkan mereka tidak tahu mengapa mereka berangkat sekolah, untuk taat kepada orang tua saja, atau untuk mencari teman, atau untuk mencari ilmu atau yang lainnya?.

Demikian pula esensi sholat, puasa, zakat, Haji dll, ketika seseorang berangkat ke masjid mengikuti orang tua mereka, dari kecil merupakan kebiasaan, maka mereka lama kelamaan akan kehilangan makna dari pekerjaan yang dia lakukan setiap hari, bahkan jika anda perhatikan gerakan sholat di Saudi Arabia yang dilakukan oleh para pemuda langsung saja takbir, seolah mereka tidak tahu bahwa itu adalah Sholat percakapan kepada Allah, mereka bergerak semaunya sendiri, bahkan saat sholat dan Hp-nya berdering maka dia akan melihat Hp dan kemudian membaca sms, atau bahkan ada yang merekam bacaan sholat imam dengan Hp-nya saat dia melaksanakan sholat.

Sadarkah mereka bahwa mereka sedang berhadapan dengan Tuhannya Allah SWT, jika mereka sadar dengan niatnya seharusnya kekhusyu'an akan terlahir, mengapa mereka dapat bergerak bebas membetulkan pakaian, sorban dll, tanpa berhenti dari mulai takbir sampai salam, walaupun tidak semua tetapi begitu banyak yang melakukan hal tersebut. Itulah mengapa Rasulullah menegaskan masalah niat ini, jika melakukan sesuatu bersiap ibada atau beramal sudah pasti berniat, buat apa rasulullah mengaskan hakikat niat orang hijrah mengikuti rasulullah dzahirnya yang padahal mereka ada tujuan lain. Berhaji ke makkah ada juga yang hanya bertujuan ingin melihat makkah, rekreasi dll, inilah pentingnya niat yang menghujam dalam sanubari.

Telah disepakati bersama oleh para ulama, bahwasanya niat yang dimaksud dalam hadits di atas yang segala sesuatu tidak ada arti tanpanya adalah niat yang ada dalam hati manusia, kemudia pada setiap pekerjaan ibadah terdapat perselisihan ulama' dalam mentapkan posisi niat, sebagai syarat suatu pekerjaankah? atau rukun suatu ibadah?

Rukun adalah suatu pekerjaan yang wajib dipenuhi dalam suatu ibadah yang pekerjaan itu berkaitan atau merupakan komponen dari ibadah tersebut, bukan setelah atau sebelum, atau dengan kata lain Rukun adalah kewajiban yang harus dikerjakan karna pekerjaan itu termasuk dari ibadah tersebut, jika tidak dikerjakan maka tidak syah ibadahnya.

Syarat adalah suatu pekerjaan yang wajib dipenuhi akan tetapi tidak termasuk dalam pekerjaan (ibadah yg dilakukan) dia merupakan hal yang terpisah, hal lain yang harus dipenuhi.

Pendapat Syafi'ie mengatakan bahwa niat adalah Rukun, jadi niat dalam hati itu adalah hal yang harus dilakukan didalam ibadah bukan di luarnya (sebelum atau sesudahnya), misalnya sholat, sholat adalah perkataan dan perbuatan yg khusus yang diawalai dg takbir dan diakhiri dengan salam, maka madzhab syafi'ie menetapkan niat sebagai rukun, dan niat dalam hati dilakukan saat bersamaan dengan takbirotul ihrom dalam sholat didalam kalimat Allahu akbar. dimulai dari huruf hamzah dan di akhiri dg huruf Ra, saat itulah niat dimasukkan dlm hati. tidak bisa dilakukan sebelumnya karna niat adalah rukun.

Dalam Kitab al-mugni diterangkan yang dibutuhkan dalam niat adalah "pekerjaan dan penentuan" misalnya  sy niat "Sholat dzuhur" sholat adalah pekerjaan, dzuhur adalah penetapannya. sementara penetapan Fardu atau sunnatan terdapat khilafiyah, dan ibn qodamah memilih tidak memerlukannya. yang diperlukan cukup "saya niat sholat isya" (misalnya).

Talaffudz Bi Niat (Melafalkan Niat)

Dalam melafalkan niat Ibnu Qodamah dalam al-mugni mengatakan bahwa itu hanyalah untuk menguatkan atau penegasan. Namun terdapat ulama yang mengatakan sebagai bid'ah, karna hal itu tidak diperbuat oleh Rasulullah SAW, seperti yang diungkapkan oleh ibnu qoyyim.

Apakah hukumnya Wajib??
Kita tidak bisa menghukuminya sebagai suatu kewajiban, dengan alasan hal itu tidak dilakukan rasulullah pada setiap ibadah beliau, maka tidak bisa dikatakan hal itu adalah wajib.

Apakah hukumnya Bid'ah? atau haram dan terlarang??
Hal ini juga tidak bisa kita lakukan karena beberapa alasan :
1. Terdapat hadits Rasulullah yang mengisahkan bahwa rasulullah melafalkan niat pada saat beliau beribadah:
Diriwayatkan dari aisyah ummul mukminin Rha. Beliau berkata :
"Pada suatu hari Rasulullah Saw. Berkata kepadaku : "Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang dimakan? Aisyah Rha. Menjawab : "Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu pun". Mendengar itu rasulullah Saw. Bersabda : "Kalau begitu hari ini aku puasa". (HR. Muslim). didalmnya terdapat pelafalan niat puasa

Kejadian inilah yang membuktikan bahwa beliau pernah melafalkan niat dengan mengucap "kalau begitu hari ini aku puasa" ini sudah menjadi alasan bahwa melafalkan niat tidak boleh dilarang, karna rasul pernah melakukannya, dan mempermasalahkan hal yang boleh sehingga diharamkan adalah kejahatan beasar dalam islam sebagaimana hadits Bukhori.

Anas RA berkata:"Aku pernah mendengar rasulullah Saw. Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : Labbaikallahumma Hajjan wa umrotan ("Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah"). (HR. Bukhari Muslim).
ini melafalkan niat haji atau umroh

"Aku pernah shalat idul adha bersama Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata : "Dengan nama Allah, Allah maha besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban diantara ummatku" (HR Ahmad, Abu dawud dan turmudzi)  ini melafalkan niat dalam berqurban

2. Talaffudz (melafalkan) Niat yang dilakukan oleh para pengikut madzhab syafi'ie adalah diluar sholat, yaitu sebelum takbirotul ikhrom, jadi tidak bisa dihukumkan menambah-nambah dalam ibadah, karna pelaksanaannya diluar sholat, sesuai dengan kesepakatan para fuqoha' bahwa sholat dumulai dari takbirotul ihrom (takbir pengharaman), dan rukun sholat dilakukan didalam sholat bukan diluar sholat, dan mereka tidak menganggapnya sebagai hal yang harus atau wajib, hanya sekedar penegasan, jika tidak dilakukan, maka sholatnya tetap syah.

Lalu hukumnya apa??
Qaidah fikih mengatakan asal segala sesuatu adalah bolah, maka hukum talafudz niat adalh boleh atau mubah, kemudian sebagian ulama mengatakan sebagai hal yang sunnah, seperti kita tahu hal mubah bisa menjadi sunnah demikian pula dalam pelafalan niat ini, mengapa demikian??

1. Terdapat firman Allah yang berbunya :
Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan (Al-qaf : 18). dan  Kepada Allah jualah naiknya kalimat yang baik (Al-fathir : 10).

Melafalkan niat untuk sholat jika tidak diiringi dengan ria' atau pamer, tentu adalah suatu kebaikan yang akan dicatat oleh malaikat.

2. Berkata Ibnu hajar Al-haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12
"Dan disunnahkan melafadzkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan dapat menolong hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syaz yakni menyimpang. Kesunatan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji".

3. Berkata Imam ramli dalam Nihayatul Muhtaj Jilid I/437 :
"Dan disunnatkan melafadzkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan menolong hati dank arena pelafadzan itu dapat menjauhkan dari was-was dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya."

4. DR. Wahbah zuhaili dalam kitab Al-fiqhul islam I/767 :"Disunnatkan melafadzkan niat menurut jumhur selain madzab maliki."
Adapun menurut madzab maliki  diterangkan dalam kitab yang sama jilid I/214 bahwa : "Yang utama adalah tidak melafadzkan niat kecuali bagi orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar hilang daripadanya keragu-raguan".

Intinya terkadan al-fakir tidak melafalkan niat, terkadang melafalkan, tetapi al-fakir tidak sependapat kepada yang mewajibkan atau yang melarang (menganggapnya bid'ah), Mewajibkan hal yang tidak wajib adalah bid'ah dan mengharamkan sesuatu yang halal (boleh) adalah kejahatan besar. Jika anda mantap untuk tidak melafalkan lebih baik lakukan yg anda yakini tanpa menghukumi haram (bid'ah), dan jika anda mantap melakukan niat tersebut maka lakukanlah tanpa berkeyakinan itu adalah harus atau wajib. Dapat difahami bahwa talaffudz hukumnya antara mubah dan sunnah, bisa menjadi makruh bila terlalu kencang dan mengganggu kekhusyu'an teman sebelahnya saat sholat.

Demikian sedikit pemaparan dari al-fakir ini, kiranya ada kesalahan hamba mohon ampunan kepadaMU ya Allah dan mohon maaf kepada pembaca sekalian, sekiranya ada benarnya sungguh itu datang dari Allah SWT. wallahu a'lamu bishowab.
--
Your Best Regard
www.rindurosul.wordpress.com
http://www.rumahvendi.phpnet.us

Sunday, June 28, 2009

Mengenal keagungan Rasulullah SAW Dari Mu'jizatnya.

Al-`Ibaru Bi Ba`di Mukjizat Khairil Basyar, oleh Syeh Nuruddin hal. 203-210

Pada suatu hari pada perang Uhud, Rasulullah SAW melemparkan segenggam krikil kepada orang musyrikin yang jumlahnya ribuan akan tetapi mu'jizat Rasulullah SAW, satu genggap kerikil ada ditangan Baginda SAW dilemparkan ke arah musyrikin dan tak satu orangpun dari pasukan musyrikin yang tidak terkena matanya oleh lemparan sang Nabi.

Bagaimana mungkin satu genggam kerikil yang diambil oleh baginda dengan satu lemparan bisa mengenai ribuan pasukan musuh dihadapan Rasulullah SAW, itulah salah satu mu'jizat baginda SAW yang terceritakan dalam al-qur'an "Wa maa ramaiti idz romaita" (Dan tidaklah engkau melempar ketika engkau melemparkan) yang mengandung syari'at, bahwasanya dzahirnya memang Rasulullah SAW yang melempar akan tetapi di nafyikan dengan kalimat "Maa" yang artinya "tidak" yang dinafyikan (ditiadakan) adalah hakikatul wusul yaitu makna hakikat dari melempar, dan kalimat "Walakinallaha roma" (akan tetapi Allah-lah yang melempar) itulah hakikat, bahwa sesungguhnya Allah-lah yang melemparkan kepada mereka walaupun terlihatnya Rasulullah yang melemparkan, akan tetapi hakikatnya Allah yang melemparkannya.

Akan tetapi pada perang uhud baginda tersebut dengan pasukannya mendapatkan kekalahan sampai baginda Nabi copot giginya, dengan satu kesalahan saja, ketidak taatan pasukan panah yang ada dibukit untuk tidak meninggalkan tempatnya, nemun mereka mengindahkan pesan baginda Rasulullah SAW, padahal pada saat itu pasukan islam hampir menang, tapi dari kesalahan itu walaupun Rasulullah masih ada, Para sahabat masih lengkap, namun terkalahkan karen satu kesalahan dari para pasukan panah yang mengindahkan perinta rasulullah, lalu berapa pesan rasulullah pada saat ini yang para kaum muslimin-muslimat indahkan?

Pada saat situasi terdesak, serangan musuh bertubi2 pada perang uhud, karna kesalahan 50 pasukan yang meninggalkan tempatnya dan berebut harta rampasan, rasulullah memerintahkan kepada Sayidina Sa'ad bin abi waqos RA untuk menghalau serangan musuh, pada saat itu terlihat pula mu'jizat Rasulullah SAW melalu anak panah yang dipergunakan oleh Sa'ad, betapa sayidina Sa'ad menyerang dengan gigih dengan anak panahnya yg dia ketahui hanya tinggal satu, namun anehnya anak panah sa'ad tidak pernah habis, dan seolah yang dilemparkan oleh beliau adalah anak panah yang sama yang kembali lagi pada tempatnya. inilah mungkin sesuai dengan perkataan "anfiq ma fil jaib ya'tika ma fil ghoib" (nafkahkan apa yang ada dalam sakumu, maka akan datang kepada kamu apa yang tidak ada padamu) selepas peristiwa itu beliau berkata "Panah ini adalah panah yang barakah" sampai panah dan anak panah itu diwariskan kepada putra-putra beliau.
---------------------
Soerang Arab Badui datang kepada Rasulullah SAW untuk mengikuti rasulullah SAW hijrah ke Madinah pada saat peristiwa khaibar, kemudian Rasulullah sedang membagi-bagikan harta Ghonimah kemudian sampailah pada orang yang baru memeluk islam dan baru hijrah tersebut, dan Rasulullah SAW memberikan bagiannya kepada Badui tersebut, namun sang badui tersebut berkata "Saya masuk islam dan hijrah ke Madinah bukan untuk mendapatkan harta ghonimah ya Rasulullah, bukan untuk ini sy ikut baginda, akan tetapi saya ikut baginda adalah saya ingin ikut berjuang dan berperang sampai saya terkena panah atau tombak dibagian tengkuk saya sini (Sambil menunjuk leher belakang tengkuknya) kemudian saya mati sahid dan masuk syurga ya Rasulallah" kemudiaan rasulullah bersabda: "Kalau engkau memang jujur terhadap ucapanmu maka Allah akan turuti kehendakmu" maka hamba tersebut ikut bergabung menyerang musuh, maka ternyata sang hamba tersebut benar-benar terkena panah pada bagian yang ditunjuk sebelumnya dan syahid, maka baginda Rasulullah SAW bersabda : Sungguh maha benar Allah maka Allah menjadikanya orang yang shiddik (Dikeluarkan oleh Hakim)

----------
Pada suatu Hari Rasulullah ingin membersihkan ka'bah dari berhala-berhala yang masih tersisa bersama sayidina Ali KW, kemudian Sayidina Ali diperintahkan untuk duduk untuk sebagai pijakan nabi naik dipundaknya agar nyanpai pada bagian yang agak tinggi untuk menghancurkan patung-patung yang terikat kuat di dinding ka'bah dengan rantai dan pasak-pasak, setelah Baginda SAW naik dipundak sayidina Ali, sayidina Ali tidak kuat untuk berdiri, kemudian Rasul turun dan gantian, Rasulullah yang duduk dan baginda Ali yang naik dipundak baginda Rasulullah, kemudia seperti tidak ada beban rasul berdiri dan baginda Ali menggapai semua patung-patung yang ada di dinding ka'bah sampai kesemuanya yang terdapat patung dari tembaga yg terikat dg rantai kemudian dengan mudah dilepaskan dan dilempar sehingga hancur, setelah peristiwa itu baginda Ali ditanya oleh para sahabat, bagaimana perasaan beliau saat berada dipundak rasulullah, beliau menjawab "Perasaan saya seandainya saya disuruh menggapai bulan maka akan teraihlah bulan oleh saya, tidak ada sesuatu yang tidak terjangkau ku raih saat itu, itulah perasaanku" (hanya tiga orang yang diberi kehormatan menaiki bahu rasulullah SAW yang lebar, yaitu baginda Ali dan dua putranya Hasan dan Husain cucu Rasulullah SAW). 
------------
Pada suatu hari dimalam hari terdapat seorang shohabat yang ingin mengaji dan menghafalkan al-qur'an atau suatu ayat surat dalam al-qur'an yang telah beliau hafal sebelumnya, akan tetapi pada malam itu beliau tidak bisa menghafalnya sama sekali hanya bisa mengucapkan bismillahirahmanirrahim saja itu terjadi dari beberapa sahabat rasulullah, lalu sahabt tersebut bertanya kepada rasulullah SAW, dan baginda menjawab bahwa ayat tersebut telah mansukh atau telah dihapus semalam.
------------
Suatu hari sayidina Amar ibn yasir pada saat itu Amar dibakar oleh orang-orang musyrik, maka Rasulullah SAW melewati sayidina Amar dan memasukan tangan beliau ke kepala amar kemudian bersabda "Wahai Api jadikalah engkau dingin dan menyelamatkan bagi Amar sebagaimana engkau lakukan kepada Nabi Ibrahim AS, engkau (Maksudnya Amar) akan di keroyok dan dibunuh oleh pasukan dholim nanti, dan ternyata beliau meninggal dari pihak sayidina Ali melawan Sayidina Muawiyah dari sinilah ulama' berpendapat bahwa pertempuran antara Sayidina Ali dan Muawiyah yang lebih benar adalah di pihak Ali KW, Namun hasil penyerangan sayidina Muawiyah pun juga didasarkan pada ijtihad nadzar, maka walaupun salah pun akan mendapatkan pahala disisi Allah, maka sayidina Ali berkata "Pasukanku dan pasukan Muawiyah yang terbunuh dan yang membunuh akan masuk syurga". wallahu a'lamu bishowab.
-----------
Api tidak akan menyentuh sesuatu yang menyentuh wajah Rasulullah SAW(par nabi).
Pada suatu hari Anas ibnu Malik RA. berkata kepada pelayan wanitanya (jariah) : "wahai pelayan tolong hidangkanlah makanannya secepatnya, kita akan makan bersama" setelah makanan sudah siap kemudian ditanyakan kepada jariah "Mana sapu tangannya (lap/kacu/handuk, nya)..??", kemudian jariah tersebut datang dengan sapu tangan yang kotor sekali, kemudian sesampainya dihadapan Anas bin Malik beliau berkata "Bawa lap ini masukan dalam api..?" karna disuruh tuannya maka lap itu dimasukkan dedalam api tersebut, sekejap kemudian lap itu ditarik kembali, dan ternyata menjadi bersih dan hilanglah kotoran-kotorannya sama sekali. kemudian Anas bin malik bertanya : "Apa itu??" jariyah itu menjawab :"ini adalah sapu tangan rasulullah yang biasa dipakai untuk mengusap wajah beliau. maka jika sapu tangan itu kotor, maka kami akan lakukan hal yang demikian, karna kami tahu bahwa api tidak akan menyentuk sesuatu yang telah tersentuh oleh wajah para nabi. Wallahu a'lam bishowab.

Dan masih banyak mu'jizat Rasulullah SAW yang bisa kita jadikan ibroh, kecintaan kita kpd beliau SAW.
Jika ingin mendownload dan mendengarkan sendiri silahkan klik dan download Mu'jizat Api menjadi Dingin


--ditulis oleh Komarudin Evendi-- Allahumma Solli Ala Sayyidina Muhammad SAW. Shollu Ala nabiyy
Your Best Regard
www.rindurosul.wordpress.com
http://www.rumahvendi.phpnet.us

Thursday, May 28, 2009

Beraqidah mengikuti Madzhab Ahli Hadits

Beraqidah mengikuti Madzhab Ahli Hadits

Jika kita berjalan-jalan menelusuri isi internet dengan dipandu oleh syeh Google, maka akan kita temukan beberapa artikel yang dibuat oleh segolongan orang yang mengkampanyekan aqidah yang menurut mereka paling sesuai dengan Al-qur'an dan Al-hadits seraya mensesatkan aqidah lain yang tidak sesuati dengan mereka atau tidak sama, mereka mengaku bahwa mereka beraqidah dengan mengikuti madzhab Ahli Hadits, itulah yg paling sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, begitu fanatiknya mereka terhadap apa yang telah diyakininya seraya berkata "saya heran kok ada kelompok yang menerima aqidah islam yang tidak jelas sumbernya, sementara aqidah yang shohih dari ahli hadits malah mereka tolak".

Adapun maksud mereka dan arah pembicaraan mereka adalah sekelompok orang yang menetapkan ayam mutasyabihat sesuai dzahir ayatnya, seperti Allah punya Tangan, wajah, kedua mata dll dan inilah yg menurut mereka paling sesuai dg yg dibawa Baginda Rasulullah SAW, sementara yang dituduh tidak sesuai mereka adalah yang menta'wil ayat mutasyabihat, semisal Wajah diartikak sebagai dzat, yaad diartikan sebagai kekuasaan dll, dan mereka ini dituduh sebagai aqidah sesat.

Mari kita lihat dari dua kubu di atas, siapakah yang berhak mengaku sebagai pengikut ahli hadits dalam beraqidah? dan untuk mengetahuinya mari kita lihat para ahli hadits yang muktabar dan yang telah diakui oleh ahlussunnah wal jama'ah.

Siapakah Ahli Hadits Yang telah diakui oleh ahlussunnah waljama'ah?
Telah menjadi kesepakatan didalam kalangan sunni atau ahlussunnah wal jama'ah, bahwa kita dapat mengenal para ahli hadits itu setidaknya dari karya yang ditinggalkan oleh ulama' hadits tersebut, dan dalam hal keshohihan hadits tersebut ulama menetapkan adanya kutubussittah, kemudian semakin tinggi Rowahul Khomsah, kemudia semakin tinggi Syaikhoni, dan yang terakhir derajat paling tinggi adalah yang dijuluki oleh imam Muslim sebagai Raja Hadits yaitu Imam Bukhori.

Mari kita telusuri satu saja dari aqidah ahli hadits yang dijuluki Raja Hadits dalam mensikapi ayat-ayat mutasyabihat yang berkenaan dengan sifat Allah yang terdapat dalam Al-qur'an maupun sunnah.

Imam Bukhori
Imam Bukhori dalam menjelaskan ayat "wa yabqo wajhu robbika" (surat Arrahman) beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Wajhu dalam ayat tersebut adalah dzat Allah SWT. menanggapi pernyataan imam Bukhori ini, syeh Albani dalam menjawab pertanyaan jama'ah mengatakan "ya akhi haadza la yaquuluhu muslimul mu'min" artinya, "saudarak tak akan keluar perkataan tersebut (perkataan imam Bukhori yang menta'wil wajhu menjadai Dzat) dari seorang muslim yg beriman" (lihat Fatawa albani hal.523)

Astaghfirullahal adzim sebagai seorang bodoh seperti saya ini apalah dibanding mereka berdua (Imam Bukhori dan Albani) namun muqollid fakir ini tahu sedikit banyak bagaimana sepak terjang imam Bukhori dan track Record beliau dalam bidang hadits, kitabnya yang tidak hanya sekali diuji dan dites keshohihannya oleh para ulama sampai kitab beliau disematkan oleh banyak ulama sebagai kitab No.1 dibidang ilmu Hadits, dan begitu pula saya tahu track Record syeh albani yang belajar kepada gurunya kemudian meneruskan belajar dan menggali serta sampai mentakhrij ilmu hadits, walaupun terdapat beberapa fatwa hadits beliau yang bertolak belakang antara satu sama lain, namun beliau berdua adalah lebih tahu banyak dalam bidang hadits ketimbang al-gaqir ini.

Tatapi sebagai muqollid tentunya saya memilih seorang Bukhori yang telah diakui oleh ulama' dalam beberapa kurun, daripada Albani yang baru beberapa tahun ini, lebih-lebih belum sampai beberapa kurun berlalu karya beliau terbukti terdapat kontradiktif yang tidak sedikit bahkan berjumlah ratusan hadits yang membingungkan hukumnya antara shohih atau dhoif. Tanpa bermaksud sama sekali merendahkan, sebagai seorang muqollid saya bertanya "Setega itukah syeh Albani mengeluarkan perkataan kepada Imam Al-Bukhori? demikiankah perkataan Muhaddits besar kepada Imam Muhaddits besar pula tatkala tidak sependapat?

Ya ikwan dari perbedaan diatas, adakah suara para muqollid seperti kita mendengung-dengeukan dan berkampanye paling sesuai sunnah dan paling mengikuri Aqidah ahli Hadits? perkataan "bermadzhab dengan madzhab Ahli hadits dalam tidak menta'wil ayat mutasyabihat" adalah perkataan yang menunjukkan orang yang berkata tidak tahu akan siapa ahli hadits dan bagaimana mereka beraqidah dalam ayat mutasyabihat, seandainya mereka tahu seharusnya mereka mengkampanyekan "mari bermadzhab dengan imam Albani atau Imam Bukhori dalam beraqidah menetapkan ayat mutasyabihat", karna jelas keduanya adalah muhaddits dan Ahli hadits.

Hadits Qudsi Allah mengajakan ta'wil:
"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat : "Hai anak Adam, Aku telah sakit dan kamu tidak mau menjengukku?". Bertanya anak Adam : "Bagaimana aku harus menjengukMu? Sedang Engkau adalah Tuhan sekalian alam". Dia berfirman, "Tidakkah kamu tahu, sesungguhnya hambaKu Fulan itu telah sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya? Tidakkah kamu tahu bahwa sesungguhnya jika kamu menjenguknya tentu kamu menemukan Aku di sisinya?". (HR Muslim)

wallahu a'lamu bishowab.
--
Your Best Regard
www.rindurosul.wordpress.com
http://www.rumahvendi.phpnet.us

Monday, May 25, 2009

Perseteruan Liberalisme dan MUI

Kritik kita terhadap MUI terkadang banyak kita lontarkan karna hawa nafsu, tetapi kekhawatiran yang akut juga membuat sebagian ulama' mengeluarkan kalimat yang terkesan ekstrim, sebagai mana kita menerima atau menolak sebagian fatwa MUI.

Tatkala MUI mengatakan bahwa rokok adalah haram, bagi para perokok dan yang memiliki kepentingan didalam rokok, maka hal itu sangat berat diterima, dengan alasan sebelumnya MUI menfatwakan bahwa rokok adalah makruh bukan haram, maka bagaimana mungkin hukum bisa berubah-rubah demikian? maka dijawab oleh MUI dan sebagian ulama besar bahwasanya hukum memang bisa berubah sesuai dengan kadar pengetahuan yang dihasilkan saat berijtihad menentukan Hukum Haram atau makruhkah, dan dalam hal ini MUI telah menetapkan dan beralasan bahwasanya saat rokok dihukumkan makruh, demikianlah hasil ijtihad dan istimbat yang dihasilkan, bahwa rokok tidak diketahui begitu banyak madhorot, tetapi saat technologi semakin moderen, semakin banyak madhorot yg mengancam dari bahaya rokok maka MUI menetapkan Haram untuk menjaga generasi manusia, menjaga kelestarian Hidup dan kesehatan Manusia.

Demikian pula Tindakan MUI dalam menyikapi masalah Golput. mui mengeluarkan fatwa haram Golput dalam pemilu karna dianggap suatu pembangkangan terhadap ulil amri yang syah, yang jelas-jelas dilarang oleh Agama, mentaati Agama berarti taat kepada Rasulullah, mentaati Rasulullullah dan Allah, maka harus taat pada ulil amri serta orang tua pd hal kebaikan, hal yang pertama kita taati adalah Allah, kemudian taat pada Rasulullah dan pada ketaan keduanya adalah ketaatan yang tidak terbatas, karna kita tidak bisa mendapatkan apapun sebagai khabar atau risalah tanpa Rasulullah, bisa ditakan apa yang diprintahkan atau diminta oleh Rasulullah adalah sama dengan apa yang diminta oleh Allah, semantara ketaatan kepada Orang tua dan pemerintah, maka kita harus timbang dengan Al-qur'an dan As-sunnah, jika tidak bertentangan dengan keduanya, maka suatu dosa besar terhadap Allah jika kita mengingkarinya atau mengabaikannya.

MUI tidak bisa semena-mena mengeluarkan suatu keputusan fatwa, seperti isu yang berkembang baru-baru ini adalah keharaman Facebook yg sempat mengagetkan saya, tetapi sesuatu esensi haram adalah bersifat muthlaq, maka bagaimana mungkin sebuah alat yg tidak bisa berbuat apa-apa dan pekerjaan dengan alat yang bersifat multi fungsi bisa diharamkan secara muthlaq? demikian pula facebook, iyanya banyak digunakan untuk jejaring sosial, dan silaturrahmi, kemudian ada yg menggunakan untuk mengirim gambar porno, bukan facebooknya yg haram tetapi pornografinyalah yg haram, dan ternyata memang demikian yg diklarifikasi oleh salah satu ulama' MUI pusat jakarta, bahwa MUI belum pernah mengeluarkan fatwa haram pada facebook, jika itu adalah keputusan MUI daerah atau sekelompok ulama' maka yg bertanggung jawab adalah ulama' yg bersangkutan.

Kasus menghukumi dengan hawa nafsu ini sering sekali kita temukan, terutama pada kaum liberal yang terkesan 'melindungi' kepentingan-kepentingan masyarakat yang mengandung hawanafsu keduniaan belaka, seperti pembolehannya nikah lintas Agama, legitimasi pernikahan Lesbian dan Homoseksual, batas aurot wanita yg mencakup hanya CD dan BH, serta banyak lagi hawa nafsu yg dibela dan diayomi oleh kaum berfaham Liberal ini. Maka wajar apabila MUI dan kaum LIBERAL adalah seperti api dengan air, yg selalu berlawanan, MUI mengeluarkan fatwa sesat kepada pemahaman Liberal, kemudian kaum liberal juga selalu mencari celah untuk membela apa yang difatwakan haram atau sesat oleh MUI, bahkan mengkritik segala fatwa atau kebijakan yg dikeluargkan olrh Majlis Ulama Indonesia ini.

Jika MUI hanya mengeluarkan fatwa yang mengingatkan masyarakat, sebagai lembaga resmi keagamaan dalam suatu negara dan tidak ikut campur tangan dalam mensikapi terhadap penyebaran pemahaman tertentu, atau peredaran barang tertentu atau tidak pula mengeluarkan anjuran terhadap peraturan pemerintah dll, berbeda dangan Liberal yang mencari pembenaran kepada masyarakat, bahakan mengusulkan agar membubarkan MUI, yang tentunya agar majelis ulama akan dipegang oleh instansi-instansi yang tidak resmi dan Liberal akan berpeluang besar untuk mengeluarkan fatwa yang melindungi kemaksiatan dengan tidak ada yang menghalang-halangi lagi.

Wallahua almaubishowab
--
Your Best Regard
www.rindurosul.wordpress.com
http://www.rumahvendi.phpnet.us

Thursday, April 9, 2009

Renungan Dari Hadits Arbain Nawawi No 24

RENUNGAN AWAL
Lewat Sebuah Hadits Qudsi, Allah mengajak hamba-Nya berdialog:

Dari Abu Dzar Al-ghifari RA, dari Rasulullah SAW, Beliau bersabda "Allah SWT berfirman:
Hamba-Ku...
Aku haramkan aniaya atas diri-Ku
Dan kujadikan ia larangan bagi-Mu
Maka janganlah saling menganiaya

Hamba-Ku...
Setiap dari kalian akan tersesat
Kecuali mereka yang kuberi petunjuk
Maka mintalah bimbingan kepada-Ku
Pasti Ku bimbing

Hamba-Ku...
Setiap dari kalian tetap akan lapar
Kecuali mereka yang Ku beri rezeki
Maka mintalah nafkah kepada-Ku
Pasti Ku penuhi

Hamba-Ku...
Setiap dari kalian adalah telanjang
Kecuali orang yang Ku sandangi
Maka mintalah pakaian kepada-Ku
Pasti Ku cukupi

Hamba-Ku...
Tak ada artinya bagi-Ku
Perilaku baik & burukmu
Maka berbuatlah sesukamu

Hamba-Ku...
Jika saja seluruh dari sesamamu
Semenjak makhluk pertama hingga generasi paling purna baik jin maupun manusia
Semuanya bertakwa dengan sepenuh jiwa laksana jiwa orang yang paling suci di antaramu,
sungguh sedikitpun tidak mempengaruhi kemegah keagungan istana-Ku

dan kalaupun semuanya durhaka laksana jiwa orang yang paling durjana di antaramu
sungguh sedikitpun tidak mempengaruhi kemegahan istana-Ku.

dan seandainya semuanya berdiri menyatu di atas sebongkah batu kemudian berdoa & meminta,
pasti akan Kupenuhi satu persatu pintanya.

Dan Sungguh semua itu takkan mengurangi sedikit apa yang ada pada-Ku,
melainkan hanya bagai air yang menempel pada peneiti yang dientas dari samudera.

Hamba-Ku...
Adanya dirimu bagi dirimu
Dan semua bergantung atas perbuatanmu
Aku berikan kesempatan
Dan nantinya Ku anugerahi balasan
Siapapun nantinya yang memperoleh kebajikan,
Hendaklah ia berterima kasih
Dan memuji Tuhan
Dan yang menemukan keburukan,
janganlah mengeluh & menyalahkan
Kecuali pada dirinya sendiri.
(Ibnu Hajar Al-'Asqalani, Dan Hadits Arba'in Nawawi no.24)

Kaitan Logis antara Air Liur Anjing dan Debu (Bukti Mukjizat Rasulullah saw)

Kaitan Logis antara Air Liur Anjing dan Debu (Bukti Mukjizat Rasulullah saw)
Dipublikasi pada Thursday, 02 April 2009 oleh
Kontra Liberal

Oleh : M. Masyhuri Mochtar*


Sucinya wadah salah seorang di antara kamu jika anjing menjilatinya, adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah/pasir. (HR. Muslim)

Hadis yang tercantu dalam Shahîh Muslim di atas, di samping menjelaskan kenajisan anjing, juga menjelaskan bagaimana cara menyucikan sesuatu yang terkena najis berat ini, yaitu membasuhnya tujuh kali, yang salah satunya dicampur dengan debu. Lalu apa kira-kira yang melandasi Rasulullah e untuk menganjurkan hal demikian?

Pada dasarnya, ketetapan najis bagi air liur anjing ini dipandang dari dimensi yang bersifat ritual, bukan rasional, sehingga tidak harus ada alasan logisnya. Dimensi akal masih jauh dari kesempurnaan untuk menganalisa secara detail tentang najisnya air liur anjing. Memang, agama tidaklah diukur dengan akal. Sayidina Ali t mengatakan: "Andaikan agama diukur dengan akal, maka mengusap sisi bawah muzah (sepatu) lebih utama daripada mengusap sisi atasnya. Dan Rasulullah e telah mengusap di atas dua sepatu." (HR. Abu Dawud).


Meski demikian, setiap ketetapan syariat sudah pasti mengandung hikmah. Untuk mengungkap hikmah itu, manusia sifatnya hanya meraba (zhannî) atau memperkirakan, tidak sampai pada tingkatan memastikan (qath'î). Ketentuan pastinya, hanya peletak syariat saja yang tahu.


Sementara itu, bersamaan dengan kecanggihan teknologi di era modern ini, ternyata telah diketemukan alasan logis di balik anjuran Nabi e di atas. Science berhasil mengungkap bahwa di dalam air liur anjing ternyata terdapat kuman yang membahayakan manusia.


Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa, jika ada seseorang yang digigit anjing tidak segera ditangani, maka akan berakibat fatal baginya. Pernyataan itu muncul ketika penelitian itu mengkaji bahaya anjing sebagai binatang peliharaan. Hal itu terjadi karena air liur anjing mengandung bakteri yang membahayakan manusia. Alasannya adalah karena  anjing tidak berpeluh, sehingga ia berpeluh melalui lelehan air liur dari mulutnya yang terus menganga.


Contoh kasusnya telah terjadi di Bali (29 November 2008). Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, menyerukan kepada warganya untuk memberangus anjing liar. Seruan itu diberikan setelah Bali dinyatakan positif rabies. Status tersebut disandang setelah tiga warga dilaporkan meninggal dalam kondisi terjangkit virus yang dibawa anjing. Akhirnya warga Denpasar, Bali, memburu setiap anjing liar yang tak bertuan untuk dibunuh.


Kasus yang sama terjadi di Tiongkok. Sejak 25 Juli 2006, pemerintah Tiongkok menggalakkan kampanye antirabies. Pemerintah menginstruksikan untuk membunuh lebih dari 5000 anjing di kota Muding, Provinsi Yunnan. Kampanye itu dilakukan setelah tiga warga kota itu meninggal akibat rabies. Menurut data pemerintah, sejak Januari 2006 terdapat 360 orang yang digigit anjing, tiga di antaranya meninggal.


Melihat beberapa kasus di atas, tidak heran jika Nabi Muhammad e menginstruksikan kita sebagaimana Hadis di atas. Bahkan beliau e memerintahkan untuk membunuh anjing gila karena penyakit berbahaya yang mungkin merebak dalam masyarakat akibat gigitannya.


Lalu mengapa harus disucikan dengan debu? Bukankah dengan debu malah menambah kotor?


Pertanyaan seperti itu pasti terlintas di benak kita. Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam Ibânatul-Ahkâm, mengategorikan perintah Nabi e itu sebagai bagian dari mukjizat. Beliau menjelaskan bahwa riset ilmuan membuktikan bahwa, air liur anjing mengandung mikroba atau bibit penyakit, sehingga jika objek yang terkena air liur anjing dicuci dengan sabun, maka tidak menjamin bersih dari microba. Untuk mematikan kuman tersebut, harus dengan cara ditaburi tanah atau debu yang dicampur dengan air. Cara ini terbukti ampuh berdasarkan riset laboratorium yang di masa Nabi e tidak ada.


Suatu ketika, mantan Presiden Repulik Indonesia, Soekarno, pernah mengatakan bahwa pada zaman sekarang kita tidak perlu lagi menyamak, atau membasuh tujuh kali yang diantaranya dicampur dengan debu apabila terkena najis kelas berat. Menurutnya, cukup menggunakan sabun. Pendapatnya ditentang oleh para ulama Indonesia pada waktu itu. Para ulama tersebut meminta Presiden untuk melakukan eksperimen guna membuktikan mana yang lebih relevan; penggunaan sabun atau dengan debu.


Maka dilakukanlah eksperimen dengan sampel dua benda yang telah dijilat oleh anjing. Satu di antara dicuci menggunakan sabun, dan yang satu lagi dibersihkan dengan debu. Setelah itu, kedua benda tadi diperiksa di bawah electron microscope. Hasilnya didapati bahwa, benda yang dibasuh dengan menggunakan sabun masih terlihat kuman dari hasil jilatan anjing. Sebaliknya, benda yang dibersihkan dengan debu sangat bersih dan terbebas dari kuman.


Di sini, yang perlu ditegaskan kembali adalah, bahwa tolok ukur najisnya anjing dan babi adalah dimensi ritual menurut pandangan syariah, bukan dimensi akal. Oleh sebab itu, proses pensucian najis mughallazhah tetap mengacu pada proses yang bersifat ritual pula, sehingga kedudukan tanah di sini tidak bisa diganti dengan sejenis cairan pembersih apa pun. Begitu juga hitungan berapa kali pencuciannya: bersifat formal-ritual, dan paten untuk diikuti apa adanya.


Sebagai perbandingan adalah buah apel. Vitamin yang terkandung di dalamnya tentu sangat bermanfaat bagi kesehatan. Akan tetapi, ada sisi lain yang perlu diperhatikan; dari mana asal apel tersebut? Kalau hasil mencuri, walaupun manfaat vitamin bisa didapat, dampak perkara haram yang masuk ke dalam tubuh sangat berpengaruh pada sikap keseharian. Jika perilaku seseorang menjauh dari ibadah kepada Allah I bisa diprediksikan bahwa makanannya kurang bersih, atau tidak halal. Pengaruh ini tidak bisa diukur dengan sains dan teknologi, karena hanya Allah I yang lebih mengetahuinya. Rasulullah e telah menjelaskan masalah ini: "Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram, maka neraka lebih utama baginya." (HR. at-Tirmidzi)


Kalangan ahli kasyf (dapat melihat hal-hal abstrak dengan mata batin) sepakat bahwa, makan atau minum dari sisa-sisa jilatan anjing akan menyebabkan kerasnya hati, hingga seorang hamba tidak bisa menangkap nasehat baik dan sulit untuk mengerjakan kebaikan.


Satu bukti lagi, sebuah kejadian menarik yang dialami oleh salah satu murid Imam Malik, di mana dalam Madzhab Maliki, anjing tidak termasuk najis mughallazhah. Suatu hari sang murid tersebut minum susu dari sisa jilatan anjing. Di luar dugaan, ia mengalami kebuntuan nalar dalam ilmu agama dan hatinya menjadi beku dan keras. Beberapa nasehat ia abaikan dan kesehariannya penuh kenistaan. Kejadian ini terus berlangsung selama sembilan bulan. (Mîzânul-Kubrâ, hlm. 114)


Jadi, walaupun secara sains sudah bersih, tidak ada jaminan juga dianggap bersih oleh Syara'. Karena bisa jadi dari segi agama yang bersifat ta'abbudiy justru mengnggap masih kotor, sebelum ada keputusan suci dari Syara', tentunya melalui cara yang telah ditetapkan oleh Syara' pula. Inilah hal yang kadang tidak bisa dinalar dengan intlegensi manusia. Bisa jadi, karena malaikat pemberi petunjuk tidak mau mendekatinya. Wa-Allâhu a'lam.


 

*) Penulis adalah staf pengajar Madrasah Miftahul Ulum Tingkat Tsanawiyah Pondok Pesantren Sidogiri. Tulisan ini dimuat di Buletin Sidogiri Edisi

--
Your Best Regard
www.komarudin.co.cc /
http://www.vendiudin.phpnet.us

Monday, March 16, 2009

Aku mahu tinggalkan dunia dalam sujudku

Aku mahu tinggalkan dunia dalam sujudku

SUATU malam ketika aku sedang nyenyak tidur tiba-tiba aku melihat seolah-olah ayahanda menjelma di hadapanku. Perasaan kasih pada ayahanda tidak dapat ditahan-tahankan lagi, lalu aku berteriak: "Ayah... sudah lama tiada berita dari langit sejak ayahanda tiada!"
Waktu itu aku terlalu rindu setelah beberapa hari ayahanda wafat. Ketika aku sedang memanggil-manggil ayahanda, muncul pula para malaikat bersaf-saf lantas menarik tanganku, membawa aku naik ke langit.

Apabila aku mendongak temampaklah istana-istana indah yang dikelilingi taman-taman pawana serta anak-anak sungai mengalir saujana mata memandang.
Keindahan istana demi istana dan taman demi taman berjajaran di hadapan mata begitu mengasyikkan. Dari celahan pintu-pintu istana tersebut menjelmalah para bidadari seolah-olah patung bernyawa yang sangat jelita, sentiasa tersenyum dan bergelak ketawa. Bidadari itu berkata kepadaku: "Selamat datang wahai makhluk yang diciptakan syurga untuknya, dan kerana ayahanda kamu, kami diciptakan.. ."
Malaikat itu terus membawa aku naik ke langit seterusnya sehingga memasuki sebuah tempat yang dipenuhi istana-istana yang lebih indah daripada sebelumnya. Cahayanya bergemerlapan.
Dalam setiap istana itu terdapat rumah-rumah berisi pelbagai perhiasan indah yang belum pernah dilihat mata, tidak terdengar di telinga dan tidak pernah tersirat di hati. Penghuni istana-istana ini sentiasa bergembira, bergelak ketawa dan ceria. Di istana itu terdapat pelbagai kain sutera nipis dan tebal. Juga terdapat selimut-selimut daripada sutera dengan pelbagai warna dan corak.
Di atas rak-rak kelihatan pelbagai jenis gelas diperbuat daripada emas dan perak yang sungguh menawan. Pelbagai jenis hidangan makanan, buah-buahan serta air minuman yang lazat dan enak tersedia untuk dimakan. Pemandangan di taman-taman pula sungguh memukau dengan aliran sungai yang warnanya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu dan baunya lebih semerbak daripada kesturi.
Aku yang kehairanan dan takjub lantas bertanya: "Untuk siapakah tempat-tempat indah sebegini dicipta? Apa nama sungai-sungai yang harum mewangi ini?"
Malaikat-malaikat itu menjawab:
"Tempat ini adalah Firdaus, tempat paling tinggi dan tiada lagi syurga di atasnya. Syurga Firdaus ini khas untuk singgahsana ayahandamu, semua rasul, nabi, para syuhada dan syiddiqun yang dicintai Allah. Sungai ini bernama al-Kautsar yang telah Allah janjikan kepada ayahandamu."
Aku bertanya lagi: "Di mana ayahandaku?"
Malaikat-malaikat menjawab: "Sebentar lagi ayahandamu akan datang menjemputmu! "
Tidak lama kemudian aku ternampak istana-istana yang sangat putih dan permaidani yang tersangat indah.. Tiba-tiba aku sudah berada di atas permaidani yang terbentang di atas singgahsana. Aku ternampak ayahandaku sedang berehat di atas singgahsana tersebut dikelilingi sekelompok orang yang tidak dikenali. Ayahanda menarik tanganku dan mencium dahiku berkali-kali.
Ayahanda berkata: "Selamat datang wahai puteriku!"
Lalu ayahanda meletakkan aku di atas pangkuannya dan berkata lagi:
"Wahai puteriku, tidakkah engkau lihat apa yang telah dijanjikan Allah kepadamu dan yang akan engkau perolehi?"
Ayahanda menunjukkan istana-istana yang disaluti bermacam-macam hiasan yang indah menawan serta berkilau-kilauan, saujana mata memandang. Ayahanda berkata: "Inilah tempat tinggalmu, kediaman suamimu, kedua-dua anakmu serta orang-orang yang mencintaimu dan mencintai mereka. Bergembiralah. .. engkau akan mengikut ayahanda datang ke sini beberapa hari lagi..."
Aku berkata: "Kalau begitu senanglah hatiku dan bertambah rindu pada ayahanda."
Selepas berjumpa beberapa ketika dengan ayahanda, aku terjaga. Tubuhku menggigil dan terasa takut yang amat sangat. Aku masih teringat-ingat bisikan ayahanda. Aku akan mengikut langkah ayahanda beberapa hari lagi. Aku masih ingat ayahanda berkata perkara yang sama sebelum wafat. Ayahanda pernah membisikkan bahawa akulah orang pertama yang menyahut panggilan Ilahi selepasnya.
Sejak hari ayahanda wafat lagi aku selalu menangis dan bersedih. Perasaan sedih makin terasa selepas bermimpi bertemu ayahanda. Aku tahu tidak lama
lagi aku akan meninggalkan dunia fana ini untuk bersama ayahanda tercinta di akhirat yang kekal, aman dan sentosa.
Aku menceritakan mimpi tersebut pada suamiku dan juga pembantuku Asma binti Umays. Aku beritahu saat ajal hampir tiba. Asma menunjukkan pelepah kurma basah untuk membuat usungan seperti yang dilihat dibuat di Habshah.
Aku tersenyum apabila melihat keranda itu. Aku berwasiat supaya jenazahku nanti dikebumikan pada malam hari agar tiada seorang pun yang marah apabila melihat jenazahku. Aku juga meminta suamiku supaya menikahi Umamah, saudara perempuanku. Umamah menyayangi anakku seperti aku menyayangi mereka.
Setelah merasa saat ajal hampir tiba aku membawa dua orang anakku menziarah makam ayahanda. Tubuhku terasa sangat lemah untuk memijak. Tapi aku gagahi juga untuk bersembahyang dua rakaat antara mimbar dan makam ayahanda.
Tidak lama lagi jasadku akan berpisah dengan roh. Aku akan meninggalkan dua puteraku. Lalu aku peluk dan cium kedua-duanya bertubi-tubi. Sayang, ibumu terpaksa pergi dulu...
Selamat tinggal sayangku, puteraku dan suami tercinta. Biarlah aku menghadap Ilahi tanpa tangisan sesiapa. Aku tidak sanggup melihat tangisan puteraku dan suamiku. Biarlah mereka berada di sisi makam ayahanda dan suamiku bersembahyang. Kalau boleh aku mahu tinggalkan dunia ini dalam bersujud pada Ilahi..
Aku terus meninggalkan dua puteraku dan membiarkan suamiku bersembahyang di masjid. Aku mengambil ramuan hanuth, sejenis pengawet mayat yang ayahandaku biasa gunakan. Aku siramkan air ramuan itu ke seluruh tubuhku. Kemudian aku memakai kain sisa kapan ayahandaku. Selepas itu sekali lagi aku memanggil Asma binti Umays yang sentiasa mengurus dan merawatku.
Pada Asma aku berpesan, "Wahai Asma, perhatikanlah aku. Sekarang aku hendak masuk ke rumah membaringkan tubuhku sekejap. Jika aku tidak keluar, panggillah aku tiga kali dan aku akan menjawab panggilanmu. Tetapi jika aku tidak menjawab, ketahuilah aku telah mengikut jejak langkah ayahandaku!"

Setelah sejam berlalu, Asma memanggil-manggil nama wanita itu tetapi tiada sebarang jawapan. Ketika penjaga itu masuk, dia terkejut apabila melihat wanita kurus cengkung itu meninggal dunia dalam sujudnya. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun...

***********
Aku dalam cerita di atas ialah Fatimah az-Zahra, anak Rasulullah dengan isteri pertamanya Siti Khadijah. Fatimah meninggal dunia dalam usia 28 tahun setelah 40 hari Rasulullah s,a.w. wafat dan jenazahnya dimakamkan di perkuburan Baqi' di Madinah. Masih adakah wanita solehah seperti Fatimah di zaman moden ini?

--
Your Best Regard : email lama : vendiudin@yahoo.com sekarang pindah ini ;)
www.komarudin.co.cc

Monday, March 9, 2009

Maulid Nabi Muhammad SAW Di Rusia

Ribuan umat Muslim di ibu kota Moskwa memperingati dan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW di mesjid agung Moskwa.


hidayatullah.com--Jutaan umat Muslim Rusia di berbagai pelosok negerinya Muslim Rusia Merayakan Maulid Nabimemperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dengan meriah. Perayaan Maulid Nabi oleh umat Muslim di negeri beruang merah itu rupanya telah menjadi tradisi yang turun temurun.

Kantor berita Rusia al-Yaum (9/3) mengabarkan, ribuan umat Muslim di ibu kota Moskwa memperingati dan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW di mesjid agung Moskwa.

"Ribuan umat Muslim datang beramai-ramai ke mesjid agung Moskwa untuk menghadiri acara rutin tahunan ini," demikian dikatakan wartawan RY, Asyraf Abdullah dari tempat kejadian.

Acara peringatan Maulid Nabi di mesjid agung Moskwa sendiri dimulai sejak Ahad sore kemarin. Rangkaian acara tersebut berupa shalat isya berjamaah, pembacaan shalawat Nabi, serta khutbah dan ceramah keagamaan.

Ulama Muslim terkemuka Syaikh Dr. Yusuf al-Qardhawi, menyatakan jika memperingati maulid Nabi adalah dianjurkan (mustahabbah) hukumnya. Dengan maulid Nabi, umat Muslim dapat mengingat junjungan Nabi mereka Muhammad SAW, mengambil berbagai macam teladan, semangat, dan juga mengingatkan kembali akan sirah nabawiyyah. Pendapat serupa juga diamini oleh Grand Syaikh Al-Azhar Syaikh Thanthawi, Mufti Agung Mesir Syaikh Ali Jum'ah, ulama terkemuka Suriah Syaikh Wahbah Zuhaili, dan lain-lain.

Meski demikian, sebagian kelompok ulama dari kalangan Wahhabiyyah Salafiyyah di Saudi Arabia banyak yang menganggap peringatan Maulid Nabi adalah bid'ah dan sesat, meskipun di satu sisi yang lain, mereka justru membolehkan peringatan ulang tahun Raja Saudi Arabia, raja mereka, yang digelar dengan sangat mewah dan jauh dari unsur keagamaan. (atj/rt/alm/ www.hidayatullah.com)

sumber : Hidayatullah

--
Your Best Regard
www.komarudin.co.cc

Memperingati Maulid Nabi tidak bolehkah?

dakwatuna.com - Jutaan umat Islam di seluruh belahan dunia memperingati tanggal 12 Rabi'ul Awwal setiap tahun, memperingati hari kelahiran Rasulullah saw. Kaum muslimin saling memberi ucapan selamat, hadiah, dan aneka hidangan yang dipersiapkan untuk peringatan tersebut, bahkan penjual aneka makanan mendapatkan pesanan yang beragam dan melimpah, sesuai kebiasaan dan tradisi khas tempat masing-masing.

Waktu berjalan, peringatan maulid Nabi berkembang secara resmi di kalangan pejabat, raja dan pemimpin umat Islam dengan saling memberi ucapan selamat, do'a-do'a keberkahan, bagi-bagi hadiah untuk penghafal Al Qur'an, orasi dan pidato politik.

Pertanyaannya adalah, Kapan peringatan maulid Nabi bermula ?
Apakah peringatan maulid Nabi di benarkan dalam Islam ?
Apa hukumnya secara syariah memperingati maulid ini?

Pertanyaan-pertanyaan yang terus terulang saat ada peringatan maulid setiap tahunnya. Bersamaan dengan itu, masih ada perdebatan seputar hukum memperingati maulid, meskipun Rasulullah saw sendiri tidak pernah memperingati hari kelahirannya, begitu juga dengan para sahabat dan tabi'in yang merupakan generasi pilihan.

Tradisi Fathimiyyah

Sumber-sumber sejarah menceritakan bahwa, di Mesir ada sekelompok pendukung Fathimah putri Nabi, mereka disebut Fathimiyyin, mereka lah pertama kali yang mengadakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad. Mereka mengadakan peringatan secara besar-besaran, mereka membagi-bagikan aneka makanan. Di samping memperingati kelahiran Nabi, mereka juga memperingati hari-hari kelahiran keluarga "ahlul bait" Nabi saw.

Inilah kenyataan sejarah yang menjadikan sebagian ulama fiqh menolak mutlak peringatan Nabi, dan memasukkan katagori bid'ah dalam urusan agama yang tidak ada dasar hukumnya. Rasulullah saw tidak pernah memperingati hari kelahirannya sepanjang hidupnya, begitu juga para sahabat dan tabi'in.

وهو القائل صلى الله عليه وسلم: "من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد"

"Barangsiapa yang membuat hal baru dalam urusan agama kami yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia tertolak." Artinya tidak termasuk dari ajaran Islam.

Para penentang perayaan maulid juga bersandar para praktek perayaan maulid ketika masa Fathimiyyin yang lebih cenderung berlebihan dalam menyebarkan ajaran syi'ah. Tujuan dari peringatan ini, sebagaimana yang dilihat oleh ahli fiqh sekaligus da'i, Abdul Karim Al Hamdan, adalah penyebaran aqidah syi'ah dengan kedok cinta keluarga Nabi dan disertai dengan praktek-praktek yang tidak diperbolehkan hukum, seperti berlebihan di dalam menghormati pemimpin dengan cara-cara sufiestik yang sudah menjerus pada kultus individu, berdo'a kepada selain Allah, bernadzar kepada selain Allah swt. Inilah bentuk-bentuk peringatan maulid Nabi semenjak kelomopk Fathimiyyin sampai sekarang, baik di Mesir atau di belahan dunia lainnya.

Mengapa Kita Tidak Memperingati ?

Dalam sudut pandang yang berbeda, Dr. Muhammad 'Alawi Al Maliki Al Husni, seorang ahli fiqh, memandang bolehnya memperingati maulid Nabi dengan diisi kegiatan yang bertujuan mendengarkan sejarah perjalanan hidup Nabi saw dan memperdengarkan pujian-pujian terhadapnya. Ada kegiatan memberi makan, menyenangkan dan memberi kegembiraan terhadap umat Islam. Meskipun ia menekankan tidak adanya pengkhususan peringatan pada malam hari tertentu, karena itu termasuk katagori bid'ah yang tidak ada dasarnya dalam agama.

Riwayat dari Rasulullah saw, bahwa beliau mengagungkan hari kelahirannya, beliau bersyukur kepada Allah pada hari itu, atas nikmat diciptakan dirinya dimuka bumi dengan membawa misi rahamatan lil'alalmin, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Ketika Rasulullah saw ditanya tentang sebab beliau berpuasa pada hari Senin dalam setiap pekan, beliau bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, (ذلك يوم فيه ولدت). "Itu hari, saya dilahirkan."

Terkait bahwa para sahabat dan tabi'in tidak melaksanakan maulid, Dr Al Husni mengatakan, "Apa yang tidak dikerjakan oleh salafus shaleh generasi awal Islam, tidak otomatis menjadi bid'ah yang tidak boleh dikerjakan. Justru perlu dikembalikan kepada persoalan aslinya, yaitu sesuatu yang membawa mashlahat secara syar'i menjadi wajib hukumnya, sebaliknya sesuatu yang menjerumuskan kepada haram, maka hukumnya haram."

Menurut padangan Dr. Al Husni, jika memperingati maulid Nabi membawa mashlahat secara syar'i, maka hukumnya dianjurkan, karena di dalamnya ada kegiatan dzikir, sedekah, memuji Rasul, memberi makan fakir-miskin, dan kegiatan lainnya yang diperbolehkan karena membawa manfaat.

Tergantung Kegiatan

Sebagian ulama mengingkari peringatan maulid, karena di dalamnya bercampur dengan bid'ah dan kemungkaran yang terjadi sebelum abad Sembilan Hijriyah, dengan bersandar pada hukum asli, yaitu "Menolak kerusakan lebih di dahulukan dari pada meraih mashalahat."

Ulama ahli Fiqh dari madzhab Maliki, Tajuddin Al Fakihani juga membolehkan. Sebagian ada yang malah menganjurkan, seperti Imam Jalaluddi As Suyuthi dan Ibnu Hajar Al Asqalani, namun mereka mengingkari praktek-praktek bid'ah. Pendapat mereka ini bersandar pada firman Allah swt, {وذكرهم بأيام الله} "Dan ingatkanlah mereka dengan hari-hari Allah."

Sejumlah ulama Al Azhar, terutama Syaikh 'Athiyyah Shaqr rahimahullah, telah berfatwa tentang dibolehkannya memperingati maulid Nabi dengan syarat.

Fatwa itu tertuang sebagai berikut, "Rasulullah saw telah menetapkan bahwa hari di mana beliau dilahirkan memiliki keutamaan dibanding dengan hari-hari lainnya. Setiap mukmin hendaknya bersungguh-sungguh dalam meraih keagungan pahala, mengutamakan amal. Itulah alasan memperingati hari ini. Dan bersyukur kepada Allah swt atas pemberian-Nya yang sangat besar, berupa kelahiran Nabi akhir zaman yang memberi petunjuk kepada kita menuju syari'at-Nya yang membawa kelestarian. Namun dengan syarat tidak membuatkan gambar-gambarnya secara khusus. Bahkan dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt atas apa yang disyariatkan, mengenalkan manusia keutamaan dan keagungan pribadi Rasul, tidak keluar dari koridor syariat dan berubah menjadi hal yang diharamkan secara hukum, seperti ikhthilat atau campur baur laki-laki dan perempuan, cenderung kepada kegiatan yang tidak ada gunanya dan hura-hura, tidak menghormati baitullah, dan termasuk yang dikatagorikan bid'ah adalah tawasul terhadap kuburan, sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan bertentangan dengan adab.

Jika yang dominan adalah kegiatan-kegiatan seperti di atas, maka yang diutamakan adalah mencegah kerusakan sebagaimana kaidah ushul. "Mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada meraih maslahat."

Namun jika hal-hal positif lebih dominan dan manfaat secara syar'i didapatkan, maka tidak ada larangan memperingati maulid Nabi dengan tetap mengantisipasi hal-hal negatif sesuai kemampuan." Allahu 'alam

Oleh ust Ulis Tofa, Lc
--
Your Best Regard
www.komarudin.co.cc

Sunday, March 8, 2009

Tasawwuf Menurut Ibnu Taymiyyah

KEDEKATAN IBNU TAIMIYAH PADA DUNIA TASAWUF

Dr. Thiblawy Mahmoud Saad

Tingkatan Sufi Menurut Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah membagi tingkatan sufi menjadi tiga macam; Shufiyah Al-Haqaiq (Tasauf Ekstensialis), Shufiyah Al-Arzaq (Tasauf Essensialis) dan Shufiyah Al-Rasmi (Tasauf Simbolis).

Mengenai Shufiyah Al-Haqaiq, Ibnu Taimiyah berkata; "Kaum sufi adalah jamaah orang-orang yang jujur dan dipercayai karena kejuhudannya dan ketekunannya dalam beribadah, maka hanya merekalah yang patut mendapat sebutan itu. Dan ada pernyataan seseorang mengatakan, bahwa kaum sufi itu adalah paling jujurnya ulama dan pemerintahan/penguasa, tanpa mengkhususkan pendapatnya kepada kaum sufi yang hidup pada masa Rasulullah (sahabat), kaum sufi dari tokoh tabi'ien atau tabi'it-tabi'ien.

Bila mereka dijuluki sebagai orang-orang yang jujur di Bashrah, maka para ulama fiqih daerah Kufah juga disebut orang-orang yang jujur dari Kufah. Dan mereka semua selalu berhati-hati di dalam menempuh jalan menuju ridha Allah dan Rasul-Nya, sebagai beban tanggung jawab mereka sebagai tokoh yang diteladani kaumnya. Kedua, pandangan Ibnu Taimiyah tentang Shufiah Al-Arzaq. Ia berkata; "Mereka adalah kaum sufi yang sangat berhati-hati di dalam beribadah..." kemudian Ibnu Taimiyah melanjutkan kata-katanya tentang Shufiyah Al-Arzaq; "Mereka adalah kaum sufi yang sebutannya terbatas pada cara berpakaiannya (wool) saja, atau tingkah lakunya dalam pergaulan sebagai contoh teladan bagi pengikut mereka."

Pandangan Ibnu Taimiyah terhadap Kepribadian Kaum Sufi dan Kitab-Kitab Tasauf

Ibnu Taimiyah berkata, "Di dalam memahami jalan hidup yang ditempuh kaum sufi, orang-orang ramai yang keliru memandang mereka, bahkan mengecam tasawuf sebagai sumber ilmunya. Orang-orang itu pun berkata; kaum sufi adalah kelompok ahli bid'ah, yakni orang yang ibadahnya menyimpang dari ajaran sunnah Nabi, namun banyak diikuti oleh beberapa aliran, karena mereka mengaku sebagai paling istimewanya makhluk setelah para Nabi."

Dan Ibnu Taimiyah menyanggah pendapat ini dengan kata-katanya; "Yang benar..., mereka adalah hamba-hamba yang taat kepada Allah untuk mendapatkan ridha-Nya, seperti sahabat Nabi dahulu. Di antara mereka ada yang mendekatkan diri kepada Allah dengan ketekunan ibadahnya, ada pula yang melalui safar (perjalanan musafir). Namun sesekali mereka ada yang keliru melangkah, maka dia bertaubat memohon ampunan atas kesalahannya." Pada pendapatnya ini Ibnu Taimiyah menjelaskan ruh tasamuh (ramah dan murah hati) kaum sufi dan ahli salaf.

Ibnu Taimiyah akan menerangkan kepada kita tentang beberapa karya tulis sufi yang diantaranya adalah hasil rujukan dari kitab-kitab pendahulu mereka. Ia juga menyebutkan perbedaan-perbedaan yang mesti dibantah dan hadis-hadis dha'if dalam kitab itu. Akan tetapi dari cacat dan kebaikan suatu kitab, kita tidak akan luput dari manfaat yang ada di baliknya.

Suatu waktu, Ibnu Taimiyah pernah diminta komentarnya tentang kitab Ihyaa 'Ulumuddien, karangan al-Ghazali dan kitab Qutul Qulub (Makanan Hati) karangan Abu Thalib al-Makki. Ia menjawab; "Kitab-kitab itu telah membawa dampak yang cukup besar di dalam membina rasa sabar, syukur, cinta kasih kepada Allah, tawakkal, dan tauhid seseorang. Maka Abu Thalib lebih banyak mengetahui daripadaku mengenai orang yang ahli dalam ilmu hati dari kalangan sufi."

Setelah itu Ibnu Taimiyah memuji kata-kata al-Makki dan berkata; " Wawasannya luas sekali dan jauh dari faham bid'ah. Padahal sulit sekali kita dapatkan hadis yang menunjukkan cara pembinaan hati, walaupun ada, itu adalah hadis dha'if dan maudhu'."

Dan Ibnu Taimiyah menjelaskan, bahwa pembahasan al-Ghazali tentang Al-Mukhlikat (sifat-sifat yang merusak) dalam kitabnya yang berjudul Ihyaa Ulumuddien dipengaruhi oleh Al-Muhasibi melalui karya tulisnya Ar-Ri'ayah li Huquqillah."

Ibnu Taimiyah berkata: "Sedangkan pembicaraan al-Ghazali tentang sifat-sifat yang merusak ( al-Mukhlikat) dalam kitab Ihyaa Ulumuddiennya seperti sifat sombong, riya, hasud dan lain-lain. Adalah nukilan dari kitab Ri'ayah al-Muhasibi diantara pendapatnya ada yang diikuti, ada yang ditentang dan ada yang menimbulkan berbagai pendapat ulama. Tetapi kitab Ihyaa Ulumuddien banyak mengandung manfaat."

Ibnu Taimiyah tidak terlalu fanatik dengan karya al-Ghazali itu. Buktinya, Ia menganggap banyak faedah yang terkandung dalam kitab Ihyaa Ulumuddien, tetapi ia berkata; " Dalam kitab itu ada materi pembahasan yang tercela sungguh di sana terdapat fikiran-fikiran filosof yang merusak tentang tauhid, kenabian, alam akhirat dan lain-lain.

Sampai tokoh Muslimin pun memungkiri karya tulis Abu Hamid. Maka berkata; "Apakah dia berpura-pura sakit?" sebagaimana diucapkan oleh Abu Bakar Ibnu al'Arabi, al-Hafid al-'Iraqi juga menyebutkan beberapa hadis dha'if dalam kitab Ihyaa Ulumuddien.

Barulah kemudian Ibnu Taimiyah berbicara tentang kandungan kitab Ihyaa Ulumuddien yang penuh kebaikan menuju ibadah dan penjelasan sekitar masalah pekerjaan hati, di samping penjelasannya mengenai peranan tokoh sufi yang bijaksana. Ia berkata,"Di dalam kitab Ihyaa Ulumuddien itu terdapat pandangan tokoh sufi yang bijaksana dan alim dalam mengetahui perbuatan-perbuatan hati berdasarkan al-Quran dan Sunnah Nabi.

Karya-Karya Tulis Sufi Ibnu Taimiyah

1. At-Tuhfah al-'Iraqiyah fi A'mal al-Qalbiyah (Kalangan Iraq tentang perbuatan-perbuatan Hati)
Dalam kitab ini Ibnu Taimiyah berkata; "Pembahasan singkat tentang kekuatan (peran) hati dalam kehidupan menusia yang kita sebut dengan ahwal dan maqaamat adalah sebahagian dari dasar kepercayaan dan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal, ikhlas, syukur, sabar (menerima takdir Allah), takut (kepada Allah), raja' (berharap kepada Allah).

Dan akan kita ketahui, bahwa Ibnu Taimiyah sering menggunakan istilah-istilah kaum sufi terdahulu di dalam kitabnya, seperti kata al-maqamat wal-ahwal." Istilah ini sudah lama dikenal dan dipergunakan oleh mereka.

Di dalam menafsirkan makna al-Maqamat wal-ahwal, Ibnu Taimiyah menyamakannya dengan arti rasa cinta, tawakkal, ikhlas, raja', takut kepada Allah (khauf) dan syukur. Dan dalam risalahnya ini, ia menjelaskannya secara rinci sebagaimana lazimnya kitab-kitab para sufi.

Qaidatul Mahabbah (Dasar Cinta Kasih)

Ibnu Taimiyah adalah seorang sufi yang memiliki rasa cinta. Berikut pernyataannya dalam risalah berjudul "at-Tuhfah al-'Iraqiyah fil A'mal al-Qalibiyah"; "... Adapun langit, bumi dan apa yang berada diantara keduanya, matahari, bulan, gugusan bintang dan lapisan atmosfir serta awan, hujan, juga tumbuh-tubuhan adalah tanda kekuasaan Allah yang dititipkan kepada langit dan bumi yang patuh mengerjakan segala perintah yang dititahkan kepadanya.

Pada akhir risalahnya itu, Ibnu Taimiyah berkata: "Sudah kita ketahui, bahwa semua gerakan unsur dalam itu adalah bersumber dari rasa cinta kasih kepada sang Khalik (pencipta)". Dan satu-satunya cara Ibnu Taimiyah mencintai Tuhannya adalah menganut ajaran agama yang diridhai Allah, karena hanya itulah satu-satunya perantara yang akan menyampaikan semua amal baiknya kepada Illahi.

Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ia setuju dengan pandangan al-Fadhil bi 'Iyadh tentang sebuah ayat al-Quran: "Agar Dia menguji siapakah di antara kamu sekalian yang lebih amalnya." (Hud:7)

Kemudian dia melanjutkan; ...dengan ikhlas dan benar: Murid-muridnya bertanya; "mengapa mesti ikhlas dan benar?" AL-Fadhil menjawab; "Karena Allah tidak akan menerima perbuatan benar tanpa didasari ikhlas Lillahi Ta'ala, pun sebaliknya Dia tidak meridhai amal yang kamu dasari hati ikhlas sedang itu adalah perbuatan salah, maka amalmu harus didampingi keduanya, ikhlas dan benar".

Seperti juga Asy-Syubli meriwayatkan, bahwa Ibnu Taimiyah berpandangan .... "rasa cinta harus dibuktikan dengan melaksanakan perintah Allah." Dan ia mengulang kata-katanya; "rasa cinta itu menuntut dilaksanakannya kewajiban dengan sempurna, dan kesempurnaan cinta kasih akan membawa kepada amal yang sempurna pula. Sedangkan maksiat adalah suatu hal yang mengurangi cintanya seorang hamba."

Berikut ini Asy-Syubli berpendapat tentang cinta kepada Allah:

"Kamu durhaka kepada Allah, padahal kamu berharap cintanya. Hal itu jelas tidak logik, bila cintamu itu tulus, pastilah kamu mentaatinya. Sesungguhnya orang yang bercinta itu patuh kepada yang dicintainya."

2. Kitab Al-Istiqamah

Salah satu judul buku sufi Ibnu Taimiyah yang lain adalah "Qaidatun fi Wujubil Istiqamah wal I'tidal (prinsip dasar kejujuran dan keadilan). Setelah mendengar penjelasan Ibnu Taimiyah dalam buku ini, kelompok Mu'tazilah dan Asy'ariyah beserta para pengikutnya mengecamnya dengan ilmu kalam. Namun tidak mudah bagi ulama sufi untuk mengikuti kelompok tersebut, karena telah merasa jemu dengan ilmu kalam mereka, bahkan ketekunannya menelaah karya-karya sufi Ibnu Taimiyah semakin meningkat.

Di dalam bukunya itu pula, Ibnu Taimiyah menulis satu fasal yang merupakan sanggahan terhadap risalah Abu al-Qasim al-Qusyairi. Ibnu Taimiyah berkata: "Ada satu pasal dalam risalah Abu al-Qasim al-Qusyairi yang terkenal itu menyebutkan adanya perpecahan pandangan kaum sufi terhadap ilmu kalam. Dan dia menyatakan sebagian kaum sufi menyokong pada kelompok Asy'ariyah. Itu hanyalah dugaan Abu al-Qasim al-Qusyairi sebagaimana halnya Abu Bakar bin Faruk dan Abu Ishak Al-Asfarayaini. Kemudian Ibnu Taimiyah menambahkan; "Abu al-Qasim itu telah membuat bingung kaum sufi dengan ilmu kalam kelompok Asy'ariyah dan Kilabiyah."

Seringkali Ibnu Taimiyah menerangkan kedudukan tokoh kaum sufi, bahwa mereka tetap berpegang pada ajaran sunnah Nabi dan sebaliknya menolak pandangan kelompok Kilabiyah dan Asy'ariyah yang menganut faham ilmu kalam. Kata-kata Ibnu Taimiyah ini adalah sindiran kepada al-Qusyairi. Pada akhir kitabnya ini Ibnu Taimiyah lebih banyak menyanggah ilmu kalamnya al-Qusyairi. (Disarikan dari "Tasawuf Menurut Ibnu Taimiyah karya Dr. Thiblawy Mahmoud Saad)

http://www.angelfire.com/journal/suluk/taimiyah.html


--
Your Best Regard
www.komarudin.co.cc

Aqidah Asy'afiyah VS Ahlussunnah oleh Salafy

PERBEDAAN POKOK ANTARA AQIDAH ASY'ARIAH dengan AQIDAH
            AHLUSUNNAH WAL JAMA'AH

Disebut aqidah Asy'ariah karena pencetus awalnya adalah Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari. Pada  walnya beliau adalah tokoh firqah Mu'tazilah  paham rasionalisme) sebelum beliau bertaubat kembali kepada pemahaman Manhaj Salaf, karena sejak kecil beliau diasuh oleh Bapak angkatnya yang juga sebagai tokoh Mu'tazilah pada masa itu yakni Abu Ali al-Jubba'i. Maka tidak heran jika beliau juga menjadi tokoh Mu'tazilah pada waktu itu disebabkan kecerdasan yang beliau miliki atas karunia Allah
Ta'ala. Kemudian atas taufiq dari Allah  Ta'ala, beliau menyadari atas kekeliruannya selama ini dan dengan ijin Allah jua beliau mengoreksi kembali dan memberikan bantahan atas penyimpangan-penyimpangan pemahaman Mu'tazilah yang beliau  kagumi selama 40 tahun. Walau, tatkala itu beliau pun masih  menonjolkan akal dalam menyergah faham-faham Mu'tazilah.

 

Dan itu merupakan proses perjalanan panjang pemikiran dan keyakinan Abu  Al-Hasan Al-Asy'ari
yang akhirnya berujung pada sikapnya untuk kembali kepada ajaran yang haq, yakni berpegang kepada pemahaman salaf. Dalam mengomentari perkembangan pemikiran Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari, Al-Imam Ibnu Katsir berkata, "Mereka menyebut bahwa Abu   Al-Hasan Al-Asy'ari memiliki tiga tahapan :

 

Pertama :
Memegangi paham Mu'tazilah dimana kemudian beliau taubat tak diragukan lagi.


Kedua :
Menetapkan tujuh sifat bagi Allah berdasarkan akal yakni:
Al-Hayat, Al-Ilmu, Al-Qudrah, Al-Iradah, As-Sam'u, Al-Bashar, Al-Kalam dan menta'wil sifat-sifat khabariyah seperti, wajah Allah, tangan Allah, kursi  Allah dan lain-lain.


Ketiga :
Menetapkan semua sifat Allah tanpa takyif dan tasybih sesuai dengan pemahaman as-Salaf sebagaimana dalam kitab Al-Ibanah 'An Ushul   Ad-Dieniiyah yang merupakan tulisan terakhirnya. (Dan kitab ini merupakan taubat dan kembalinya beliau kepada Manhaj Salaf-pen)

Pengaruh Mu'tazilah yang sangat kuat membawanya melalui tahapan kedua sebelum akhirnya kembali pada madzhab salaf yang murni. Meski demikian, pemahaman yang telah dikembangkan oleh beliau dikala belum kembali kepada manhaj yang haq, hingga kini masih bergulir dan digeluti oleh banyak
kaum muslimin. Dan yang paling menonjol  diantara faham yang pernah diajarkannya adalah berkenaan dengan  penetapan 7 sifat wajib bagi Allah dan 7 sifat mustahil bagi Allah.


Dan yang kemudian dikembangkan oleh Syaikh Maturidiyah menjadi 13  sampai 20 sifat. Dan bila ditelusuri lebih lanjut, nyatalah bahwa penetapan sifat wajib dan mustahil bagi Allah sebanyak tujuh sifat merupakan penetapan beliau berdasarkan akal. Padahal, untuk masalah-masalah yang menyangkut eksistensi Allah, segala penetapannya harus bersandar kepada apa yang telah dikhabarkan oleh Allah Ta'ala melalui firmanNya dan RasulNya shallallahu 'alaihi wa salam melalui hadits-haditsnya yang shahih dengan tanpa ta'thil, takyif, tahrif, tasybih atau tamsil. Oleh karena itu, ada kesalahpahaman yang sempat melanda kaum muslimin, baik dulu maupun sekarang. Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa aqidah Asy'ariyah tidak berbeda dengan aqidah Ahlussunnah, atau mereka itulah Ahlusunnah yang sesungguhnya.

 

Perlu diketahui bahwa Asy'ariyah dalam masalah aqidah, telah melewati masa-masa yang kian menambah jarak antara mereka dengan Ahlussunnah. Terutama setelah para tokohnya yang datang terakhir memasukkan prinsip-prinsip keyakinan yang diambil dari filsafat, tasawuf, mantiq dan ilmu kalam. Pada gilirannya Asy'ariyah tercemari oleh pemikiran-pemikiran bathil. Mereka (Asy'ariyah) sejalan  dengan Ahlusunnah dalam beberapa masalah aqidah dan berbeda dalam beberapa perkara lainnya.

 

Beberapa masalah penting yang menjadi perbedaan antara Asy'ariyah dengan Ahlussunnah adalah :

Pertama :
Penafsiran makna "Tauhid" yang dibatasi pada "Tauhid Rububiyah" dan kelalaian mereka dari Tauhid Uluhiyah dan Ibadah. Kita telah memahami bahwa para rasul datang mendakwahkan Tauhid Uluhiyah. Sebagaimana dalam Al-Qur'an surah Al-Anbiya' : 25, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada yang diibadahi (dengan            haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu akan Aku." Inilah tauhid yang menjadi tujuan diciptakannya jin dan manusia, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an surah Adz-Dzariyat ayat 56
: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku."

 

Manhaj Asy'ari dalam Tauhid Uluhiyah tidaklah jelas. Hal ini karena  beberapa sebab diantaranya adalah :

  1. Definisi Al-Ilah yang mereka artikan sebagai "Yang Maha Kuasa untuk mencipta" seperti disebutkan oleh Al-Baghdadi yang dia nisbatkan kepada Abu Al-Hasan Al-Asy'ari.
  2. Kitab-kitab karangan mereka dalam hal aqidah tidak membahas Tauhid Uluhiyah secara khusus. Bahkan para tokoh Asy'ariyah  dalam tulisan-tulisan mereka menggunakan cara-cara ahli filsafat atau  ahlu kalam. Mereka memulai tulisan-tulisannya dengan pengertian-engertian logika, teori-teori, bukti kebenaran nyata berdasarkan akal, tashawwur dan berbagai istilah ahlu kalam dan filsafat. Kemudian penyebutan dalil-dalil naqliyah (tekstual)  tidak memberikan faedah berupa keyakinan sedang dalil-dalil akal adalah qath'I (pasti) dan yakin. Setelah itu pembicaraan berpusat  sekitar kejadian alam, penetapan pencipta dan hal-hal lain yang berasal dari filsafat dan ilmu kalam, kemudian alur pembicaraan akhirnya tertumpu  pada penetapan Tauhid Rububiyah.
  3. Asy'ariyah menetapkan bahwa kewajiban pertama bagi mukallaf (orang yang sudah mencapai masa baligh) adalah an-Nazhar  (melihat) untuk menetapkan wujud Allah dan akhirnya keesaan Allah dalam dzat dan perbuatan. Bukan berarti Ahlusunnah mengenyampingkan Tauhid Rububiyah, tetapi orang-orang Asy'ariyah telah memulai dengan  suatu hal yang tidak dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa salam. Sebab Tauhid Rububiyah adalah fitrah, hampir-hampir tidak ada yang mengingkari secara keseluruhan melainkan sedikit. Tidak pernah kita mengenal suatu umat yang sepakat untuk mengingkari Tauhid Rububiyah, kalaulah ada kita akan dapatkan dalam kisah-kisah para nabi. Sebaliknya kesesatan berbagai umat, firqah atau kelompok terdapat pada penentangan terhadap Tauhid Uluhiyah.
  4. Sebagai akibat dari penafsiran tauhid yang dibatasi pada Tauhid Rububiyah oleh Asy'ariyah secara umum, kita jumpai bermacam bid'ah dalam ibadah bahkan perbuatan syirik atau membela perbuatan syirik pada orang-orang yang menisbatkan diri mereka kepada Asy'ariyah.
    Ini karena sikap remeh dan menganggap enteng Tauhid Uluhiyah. Disamping itu Asy'ariyah memang memiliki hubungan lama dengan Sufiyah.


Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebut lima tabaqat (generasi) orang-orang yang menisbatkan diri mengambil dari Abu Al-Hasan Asy'ari. Dari setiap tabaqat (generasi) terdapat orang yang ber-intisab kepada sufi.


Kedua :
            Mendahulukan akal yang mereka istilahkan dengan kepastian-kepastian akal dari pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam perkara-perkara ghaib, I'tiqad dan sifat-sifat Allah. Beberapa permasalahan penting yang menjadi kesepakatan Asy'ariyah, Maturidiyah, Mu'tazilah dan Jahmiyah adalah mendahulukan akal daripada wahyu. Kaidah mereka dalam hal ini diungkap oleh
Al-Juwaini dan Ar-Razi dan juga yang lainnya, yaitu dalil naqli tidak memberikan faedah berupa keyakinan, karena dalil naqli sifatnya zhanni sedang dalil aqli sifatnya qath'I (pasti), perkara yang bersifat zhanni (dugaan) tidak bisa menentang yang qath'i.

 

 Oleh karena itu, lihatlah di dalam majlis-majlis mereka dalam membahas perkara-perkara agama sedikit sekali mereka menggunakan cara-cara Ahlusunnah dalam menyampaikan ilmu dien yakni cara  ahlu hadits/ ahlu atsar. Kebanyakan mereka berbicara tentang agama dengan kepastian kebenaran akal. Bisa jadi pembahasan satu ayat Al-Qur'an atau hadits Nabi, ditakwilkan dengan berbagai macam-macam bentuk penakwilan agar dapat diterima oleh akal-akal mereka dan
memuaskan hawa nafsunya. Mereka memulai penyampaian ilmu dengan pengertian-pengertian logika, teori-teori, bukti kebenaran nyata berdasarkan akal, tashawwur dan berbagai istilah ahlu kalam dan filsafat. Kemudian penyebutan dalil-dalil naqliyah (tekstual) tidak memberikan faedah berupa keyakinan sedang dalil-dalil akal adalah qath'I (pasti) dan yakin. Setelah itu pembicaraan berpusat sekitar kejadian alam, penetapan pencipta dan hal-hal lain yang berasal dari filsafat dan ilmu kalam, kemudian alur pembicaraan akhirnya tertumpu pada penetapan Tauhid Rububiyah

Ketiga :
Asy'ariyah tenggelam dalam ta'wil sifat-sifat Allah yang telah dilarang oleh para salaf as-Shalih Asy'ariyah dan para pengikutnya seperti Maturidiyah dan lain-lainnya. Mereka, dalam mengimani masalah Asma' dan Sifat Allah adalah dengan menetapkan nama-nama Allah dan sebagian sifat-Nya serta menolak sebagian besarnya. Mereka menetapkan nama-nama dan menolak sebagian besar sifat-sifat Allah berdasarkan kesesuaian  akal manusia. Mereka menetapkan sifat tujuh bagi Allah yakni Al-Iradah, Al-Qudrah, Al-'Ilmu, Al-Hayah, Al-Bashar, As-Sama', dan Al-Kalam.


Mereka meyakini sifat-sifat yang mereka tolak itu bila ditetapkan (menurut mereka) akan terjadi tasybih (penyerupaan dengan makhluk). Mereka katakan, "Kami menetapkan sifat tujuh bagi Allah ini lantaran secara akal memang demikian."Cobalah lihat cara mereka menetapkan sifat-sifat Allah itu dengan logika: "Dengan adanya makhluk, berarti menunjukkan bahwa Allah itu Al-Qudrah (memiliki sifat kuasa). Kemudian, dengan adanya  makhluk yang mempunyai kekhususan masing-masing menunjukkan Allah itu mempunyai sifat Al-Iradah (berkehendak). Selanjutnya, dengan ihkam (keserasian penciptaan) makhluk menunjukkan Allah itu mempunyai sifat Al-Ilmu (berilmu). Dan semua sifat-sifat Al-Ilmu, Al-Qudrah, Al-Iradah menunjukkan Allah itu hidup (Al-Hayyu) dan hidup tentunya mempunyai sifat Al-Bashar (melihat), As-Sam'u (mendengar), Al-Kalam (berbicara). Inilah sifat yang sempurna, kemudian meletakkan sifat-sifat yang berlawanan dengan hal-hal di atas, seperti bisu, buta, dan tuli sebagai sifat terlarang bagi Allah."

 

Adapun sifat-sifat Allah yang lain yang mereka tolak karena tidak cocok dengan akal mereka. Mereka menolak sifat-sifat itu dengan cara menakwil dengan merubah makna asli kepada makna yang lain. Ta'wil yang mereka lakukan khususnya pada sifat-sifat khabariyah seperti tangan, mata, wajah, istiwa', nuzul (turunnya Allah ke langit dunia), benci, ridha dan lain-lain. Asy'ariyah tidak
mengimaninya seperti kedatangan kabar-kabar tentang itu sebagaimana yang dilakukan oleh Salaf as-Shalih. Tetapi mereka mena'wil dan memalingkan lafazh-lafazhnya dari bentuk zhahirnya. Hal ini menurut mereka karena adanya tajsim (menjasmanikan) dan tamsil (menyerupakan).

 

Mereka lalai bahwa akibat dari perbuatan ini berarti mereka telah berbuat tahrif (penyimpangan) pada kalam Allah dan mena'wil maknanya. Mereka juga berkata tentang Allah tanpa
dilandasi ilmu dan keharusan-keharusan lainnya (perangkat dalam memahami ilmu agama) akibat dari perbuatan ta'wil serta menafikan (menolak) sikap penyerahan terhadap Allah. Bagaimana mungkin Allah memberitakan tentang diri-Nya atau Rasulullah shallallahu 'alahi wa salam
dengan sesuatu yang tidak layak atau mengharuskan tasybih dan tajsim, kemudian baru dapat disingkap kebenarannya oleh ahlu kalam setelah abad III hijriyah.

 

Tidak mungkin pemahaman yang benar tentang sifat-sifat Allah itu terlepas dari para shahabat, tabi'in dan salaf al-Ummah yang lainnya. Padahal Allah telah menutup pintu tasybih dan tamsil dengan firmanNya yang artinya : "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (As-Syura: 11)

 

Kaidah Ahlussunnah wal Jama'ah dalam menyikapi tentang khabar-khabar yang datang dari Allah dalam kitab-Nya dan apa yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu 'alahi wa salam yang
tertera dalam kitab-kitab hadits yang shahih adalah wajib untuk diimani,baik dipahami maknanya atau tidak, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa':136 yang artinya : "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah  dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.

 

Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (An-Nisa' : 136 )

Atau surat An-Nisa' : 170 yang artinya :"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam) itu kepadamu dengan (membawa)kebenaran dari Rabbmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di
bumi itu adalh kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (An-Nisa' : 170 )


Dalam hal ini, apa yang sudah disepakati oleh Salaf al-Ummah dan imam-imam Ahlussunnah yang menerima nash-nash yang berhubungan dengan asma' dan sifat, seperti bersemayam (istiwa'), tangan (al-yad) dengan tanpa tahrif, ta'thil, takyif, tasybih atau tamsil.

 

 Mentauhidkan Allah dalam asma dan sifat-sifat-Nya termasuk perkara yang amat besar dalam pembahasan ilmu ushuluddin. Pendapat-pendapat para ahli filsafat dan ahli Ilmu Kalam telah rancu dan simpang siur dalam masalah ini. Ada yang menafikan sama sekali, ada yang mengakui asma Allah secara mujmal tapi menafikan sifat-sifat-Nya dan ada pula yang mengakui kedua-duanya (asma dan sifat) tetapi menolak sebagiannya dan mentakwilnya dengan mengubah makna dan lafazhnya.

 

Dalam masalah ini, Salafush Shalihin mengimani seluruh apa yang ada pada Kitabullah dan yang disebutkan dengan Sunnah yang shahih tanpa tahrif (menyimpangkan lafazh kepada lafazh yang lain), ta'thil (mengurangi/menolak), takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya), tasybih penyerupaan dengan makhluk) atau tamsil. Mereka meyakini bahwa asma Allah Ta'ala dan sifat-sifat-Nya bersifat tauqifiyah (apa adanya dari Allah dan Rasul-Nya) tak boleh ditetapkan (itsbat)
atau ditolak (dinafikan) kecuali dengan izin syara'. Yakni mereka tidak mengitsbat asma dan sifat untuk Allah kecuali asma dan sifat yang Allah itsbatkan sendiri dan yang diitsbatkan Rasul untuk
diri-Nya dengan izin Allah. Dan bahwa asma dan sifat yang telah tetap bagi Allah ialah bahwa Dia tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, bahkan seluruh sifat-sifat kesempurnaan yang tetap bagi Allah  yang disebutkan oleh nash-nash yang jelas adalah khusus buat-Nya  saja.


Jika ada asma yang ditetapkan bagi Allah tetapi juga dimiliki makhluk-Nya, maka persamaan tersebut hanya dalam lafazh, tidak dalam hakikat. Karena dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak sama dengan dzat-dzat selain Allah, maka sifatnya pun demikian, karena Allah itu tidak dapat disamakan dengan makhluk-Nya baik pada dzat maupun sifat-Nya. Seperti contoh di dalam firman-Nya bahwa Allah mempunyai tangan (yaddullah), ini berarti bahwa tangan Allah berbeda dengan tangan makhluk-Nya. Hanya sama dalam lafazh tetapi berbeda dalam  hakikat.

 

Sebagaimana kata Ibnu Abbas yang artinya :"Tidaklah sama apa-apa yang di surga dengan apa yang ada di dunia kecuali hanya sama dalam masalah nama." (Sanadnya shahih. Lihat  dalam
Taqrib at_tadmuriyah, hal. 42)

 

Dan dalam hadits Qudsi dengan sanad yang shahih yang artinya : "Telah Kami siapkan untuk hamba-Ku yang shalih apa-apa (nikmat surga) yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak juga didengar oleh telinga dan tidak pernah terdetak di hati manusia." Padahal  Allah telah mengkhabarkan di dalam Al-Qur'an tentang kenikmatan di   surga, seperti Allah memberitakan, dalam surga itu ada makanan,   minuman, pakaian, istri-istri, rumah, kurma, anggur, buah-buahan, daging, arak, susu, madu, air, emas, perka, dan lain-lain.

 

Berita-berita tersebut benar dan benar-benar ada. Walau nama-nama tersebut sama dengan apa yang ada di dunia tetapi hakikatnya berbeda, kita tidak mengetahuinya. Apalagi tentang nama-nama dan  sifat-sifat Allah Yang Maha Suci, tentu Allah Yang Maha Tahu tentang  hakikat diri-Nya.

 

Mengenai pembatasan sifat-sifat Allah menjadi beberapa bahagian, misal sifat wajib dan mustahil bagi Allah atau sifat wajib bagi Allah ada 13 atau 20, hal ini sangat bertentangan dengan hukum    syara' dan kaidah salafush-shalih. Karena Allah lah yang mengetahui tentang diri-Nya sendiri
bukan makhluk-Nya. Karena jika sifat Allah  dibatasi berarti hilang lah kesempurnaan bagi Allah, karena dengan   pembatasan tersebut berarti mengurangi kesempurnaan bagi Allah Yang  Maha Sempurna. Sekiranya Allah menyebutkan tentang diri-Nya dalam Asma-ul Husna, maka kita wajib mengimani apa adanya dengan tanpa pembatasan, mengurangi atau menambah, takwil, penyimpangan makna  dll. Maka kita wajib mengimani apa-apa yang diterangkan Allah di dalam kitab-Nya yang mulia (Al-Qur'an) dan petunjuk Rasul-Nya. Sedangkan makhluk-Nya mengetahui asma dan sifat Allah hanya sebatas  asma-asma dan sifat-sifat Allah yang Allah terangkan di dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Selain itu Allah lah Yang Maha Tahu. Dalam menyikapi akal sebagai karunia yang diberikan oleh Allah kepada manusia, maka manhaj Ahlussunnah memberikan penjelasan yang  gamblang dan terang.

 

Kita mengetahui bahwa akal adalah media pengetahuan yang terbatas yang tak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib kecuali dengan gambaran semata, tidak sampai yakin. Para  salafush shalihin mengimani apa yang diberitakan oleh nash Al-Qur'an dan sunnah Nabi-Nya yang mulia dalam perkara-perkara ghaib dengan tidak mencoba-coba memikirkan hakikat sebenarnya, karena hal itu di luar jangkauan akal. Membatasi akal dari memikirkan perkara-perkara seperti itu bukan berarti membelenggunya secara keseluruhan, karena kaum muslimin telah sepakat bahwa seorang anak kecil dan orang gila tidak terkena taklif (beban syari'at) lantaran akalnya kurang. Allah juga menyuruh kita untuk mentadaburi kitab-Nya, dan tadabur ini  tidak mungkin kecuali dengan akal. Akal hanya dilarang digunakan untuk masalah yang bukan bidangnya atau digunakan untuk menarik kesimpulan bagi manhaj (metodologi) yang bertentangan dengan manhaj  Al-Qur'an dan Sunnah. Sikap salafush-shalihin dalam mensyukuri  nikmat akal sebagai karunia dari Allah adalah bahwa mereka tidak  mengunggulkan akal, tidak menuhankannya dan tidak menganggapnya  cukup dan berdiri sendiri, tetapi mereka menempatkan fungsi akal    sesuai dengan kedudukannya.

 

Mereka menggunakan akal dalam batas-batas wilayahnya, seperti dalam mentafakuri alam, dalam masalah-masalah fikih (amaliah) dan dalam menemukan ilmu-ilmu yang bersifat kebendaan yang bertujuan meningkatkan dan mengembangkan  masyarakat. Inilah kesempurnaan ilmu dan jangkauan pandangan serta     selamatnya pemikiran mereka. Seandainya akal dijadikan penafsir seluruh masalah, maka tak perlu Rasul-Rasul diutus dan tak perlu kitab-kitab suci (kitab-kitab samawi) diturunkan. Wallahu a'lam

 

            Sumber : Majalah Assunah edisi 19/II/1417-1996
            Penerbit : Lajnah Istiqamah - Surakarta


Copyright Al-Islam 1998
Jl. Pahlawan Revolusi, No 100, Jakarta 13430
Telpon: 62-21-86600703, 86600704, Fax: 62-21-86600712
E-Mail: [EMAIL PROTECTED]

Sumber : http://www.mail-archive.com/hizb@hizbi.net/msg21367.html 


My comentar :

Trus yang dimaksud Ahlussunnah wal jama'ah al firqotunnajiyah itu siapa menurut salafy ini?

Trus Mulai lahir Ahlussunnah wal jama'ah itu kapan dan apakah pernah hilang gak ada ahlussunnah?

Ibnu Hajar Al-atsqolani dan imam Nawawi ahlussunnah bukan ya? kok dia menginduk pada faham aqidah asy'ariyah?

Yg bener aja sifat wajib yg ditulis oleh Asyariyah tidak ada dalam Al-qur'an dan sunnah? sudah di ceck? apa gk lihat?