Proyek Perang Kuman Itu di Indonesia [1] |
Kamis, 08 Mei 2008 | |
Laboratorium Angkatan Laut AS sudah tiga tahun beroperasi tanpa kontrak. Penelitinya kebal diplomatik dan bebas berkeliaran tanpa pemeriksaan. Indonesia negara bagian Amerika? [bagian pertama] Oleh: Amran Nasution * Hidayatullah.com--Lihat saja, tak lama lagi berbagai serangan dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) tertentu akan ditujukan kepada Departemen Kesehatan. Lalu departemen itu akan jadi inceran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berbagai isu akan menerpa Siti Fadilah Supari, 59 tahun, Menteri Kesehatan yang memimpin departemen itu. Yang penting, menteri ini harus diberi pelajaran. Oleh karenanya berbagai elemen antek Amerika di Indonesia -- yang bertebaran di pemerintahan, LSM, intelektual, pers, dan politisi – harus bekerja menyingkirkannya. Skenario seperti ini secara eksplisit tergambar sebagai sesuatu yang lazim di dalam The Confessions of an Economic Hitman yang ditulis John Perkins, bekas intel ekonomi Amerika Serikat yang bertugas di Jakarta di tahun 1970-an. Perkins datang ke sini menyamar sebagai konsultan perusahaan Amerika, untuk membangun jaringan listrik. Tugas mereka sebenarnya adalah menguasai Indonesia dan Asia Tenggara, melalui jebakan utang luar negeri. Lebih dari itu, seperti ditulis Perkins di bukunya, Amerika bisa memerintahkan pembunuhan atau penggulingan kekuasaan orang-orang yang mengganggu kepentingannya. Itu terjadi di berbagai negara Amerika Latin. Siti Fadilah Supari adalah orang Indonesia pertama dalam beberapa dekade ini yang berani menentang kepentingan Amerika Serikat. Ia menjadi Soekarno di tahun 1960-an. Presiden pertama Indonesia itu dengan gagah berani berteriak, ''Go to hell'', kepada Amerika. ''Pergilah ke neraka, Amerika.'' Sesungguhnya ia patut ditabalkan sebagai patriot: Wanita Indonesia paling berani 2008. Ia berani mendobrak sistem dunia yang zalim, tak adil, yang menjadikan Amerika Serikat sebagai penguasa yang bisa bertindak seenak perut. Siti Fadilah Supari tak mau menjadi antek negeri adidaya itu, dan orang seperti dia dibutuhkan negeri yang sedang terpuruk dan rakyatnya terancam kelaparan. Itu semua karena banyak pemimpinnya yang lebih merasa nyaman menjadi antek daripada menegakkan martabat bangsa. ''Saya berjuang sendiri. Tapi ini sebuah ketidak-adilan yang bisa menuju pada kehancuran,'' kata Siti. Betul, ia memang sendiri. Lebih 500 anggota DPR diam saja. Begitu pula anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang lebih sibuk kasak-kusuk untuk memperbesar kekuasaan. Tak ada dukungan pers, tak ada dukungan politisi, cendekiawan, atau siapa pun. Lihat betapa sulitnya tak mau menjadi antek di sebuah komunitas antek. Februari lalu, ia melansir buku dalam edisi Indonesia berjudul, Saatnya Dunia Berubah, dan dalam edisi Inggris, It's Time for the World to Change. Kedua edisi buku – dicetak cuma 2000 eksemplar – sudah terjual habis dan sedang dicetak ulang. Padahal buku itu sepi dari publikasi pers. Di buku ini, ia betul-betul menelanjangi praktek WHO, badan kesehatan dunia itu. Bagaimana WHO mewajibkan Indonesia mengirimkan virus flu burung ke laboratoriumnya di Hongkong. Tahu-tahu sampel itu sudah ada di tangan Amerika. Bagaimana virus flu burung dari Vietnam diberikan WHO kepada perusahaan-perusahaan besar farmasi dunia untuk dijadikan vaksin, lalu dijual dengan harga seenaknya ke negara yang terserang flu burung – kebanyakan negara berkembang – tanpa konpensasi apa pun. Lebih dari itu, gebrakan perempuan ini telah mengungkap praktek kotor WHO. Ternyata lembaga itu hanya alat Amerika dalam memperkuat arsenal perang biologisnya. Itu setelah terbukti data virus flu burung yang diambil dari Indonesia, disimpan di Los Alamos National Laboratory. Anda tahu itu tempat apa? Inilah salah satu laboratorium penelitian untuk mengembangkan nuklir dan rudal canggih Amerika. Nama Los Alamos – resminya berada di bawah University of California – menjadi terkenal ketika Desember 1999, seorang penelitinya ditangkap polisi federal FBI, dituduh menjual rudal nuklir W88 yang paling canggih waktu itu, kepada intelijen China. Wen Ho Lee, peneliti itu, adalah warga Amerika kelahiran Taiwan, mendapat gelar Ph D dalam rekayasa industri dari Texas A&M University. Ternyata tuduhan tak terbukti, Wen Ho Lee dibebaskan. Kasusnya berkembang menjadi isu rasial. Wen dituduh dan ditangkap hanya karena dia satu-satunya peneliti berkulit kuning di laboratorium itu. Tamengnya Perusahaan Farmasi Jadi kalau sampel flu burung ada di Los Alamos, apa lagi gunanya kalau bukan untuk pengembangan senjata biologis (kuman). Wakil Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, John A. Heffern, membantah tuduhan. Katanya, Amerika tak mengembangkan senjata biologis karena terikat konvensi internasional tentang larangan senjata biologis. Mister John ini mungkin menganggap semua orang Indonesia bodoh sehingga percaya saja pernyataannya. Betul, pada 1972, Presiden Richard Nixon menandatangani Biological and Toxin Weapons Convention (BTWC), yang mengharamkan penggunaan dan pengembangan senjata kuman dan racun. Nixon juga menutup pusat pengembangan senjata biologis di Fort Detrick, Maryland, dekat Washington, 3 tahun sebelumnya. Konvensi diadakan karena pengembangan senjata itu di antara blok Barat pimpinan Amerika dan blok Timur pimpinan Uni Soviet di era perang dingin waktu itu sudah mengkhawatirkan. Tuduhan bahwa pasukan Amerika menggunakan senjata kimia dan biologis di Vietnam, kemudian di Laos dan Kamboja, sudah sulit dibantah. Amerika juga menggunakan senjata serupa di dalam Perang Korea, awal 1950-an. Tentu saja orang tahu Amerika tak sungguh-sungguh melaksanakan isi konvensi. Para pengamat meyakini Amerika menyembunyikan program senjatanya dengan menggunakan tameng perusahaan-perusahaan farmasi di negerinya. Sebenarnya riset pengembangan senjata itu tak penah berhenti. Apalagi BTWC sendiri dianggap macan ompong, tak memiliki ketentuan mengikat. Tak ada ketentuan yang mengizinkan pemeriksaan terhadap suatu laboratorium yang dicurigai. Pada Maret 2001, ada upaya dari Ketua Juru Runding BTWC, Tibor Toth, untuk mengusulkan sejumlah fasal yang lebih mengikat, misalnya, diperbolehkan pemeriksaan terhadap suatu proyek. Tapi usulnya ditolak mentah-mentah oleh Presiden George Bush yang waktu itu sedang sibuk menakut-nakuti rakyatnya akan bahaya senjata kuman dari teroris. Karenanya, Amerika, kata Bush, harus mempersiapkan diri menangkalnya. Artinya, proyek perang kuman harus digalakkan. Dengan penolakan itu, seperti ditulis di sebuah jurnal oleh Profesor Barbara Hatch Rosenberg, ahli senjata biologis dari State University of New York, ''Amerika Serikat dan komunitas internasional tak sungguh-sungguh mengupayakan pelarangan senjata biologis.'' Proyek perang biologis Amerika berjalan secara tertutup, dan cukup aman atau steril dari pemberitaan pers. Soalnya, DPR Amerika Serikat meloloskan undang-undang yang melarang penyiaran informasi tentang riset kuman. Jelas undang-undang itu bertentangan dengan akta kebebasan informasi yang dibangga-banggakan para pendukung kebebasan Amerika di sini. Belang Amerika Serikat terbuka ketika pecah perang Iran dengan Iraq di tahun 1980-an. Amerika membenci pemerintahan Islam Iran karena menjatuhkan bonekanya yang setia, Shah Iran. Selain Amerika khawatir Iran mengeskpor revolusi Islam ke sejumlah negara Timur Tengah yang mengakibatkan pengaruh super power itu terkikis di kawasan kaya minyak. Maka Amerika membantu Irak yang dipimpin Saddam Hussein. Selain uang, informasi intelijen, senjata konvensional, Amerika (beserta Inggris dan Italy) mengirimkan senjata kimia dan biologis ke Irak. Banyak tentara Iran menjadi korban. Foto mayat tentaranya dengan sekujur tubuh melepuh dibawa Iran ke PBB sebagai bahan bukti pengaduan. Tapi PBB tak berbuat apa-apa karena pengaruh Amerika Serikat. Maka Saddam Hussein pun tambah berani. Sejumlah orang Kurdi dituduhnya berkhianat membantu Iran, diberi pelajaran dengan senjata Amerika itu. Kasus tersebut nanti yang menjadi alasan mengadili dan menghukum mati Saddam setelah Amerika menduduki Irak di tahun 2003. Sidang pengadilan tak pernah mengungkapkan bahwa senjata itu berasal dari Amerika. Maklumlah, sidang itu asal-asalan, terserah keinginan Presiden Bush, dan dilakukan di markas tentara Amerika di Baghdad. Seusai perang , Saddam mengembangkan senjata biologis dari Amerika dan di kemudian hari itu yang dijadikan Presiden Bush dalih menyerang Irak (lihat Noam Chomsky dalam Failed States, Penguin Book, 2006). Penulis adalah Direktur Institute for Policy Studies |
Bersambung di link berikut http://endyen.blogspot.com/2008/05/proyek-perang-kuman-itu-di-indonesia-2.html
My personal web: http://pujakesula.blogspot.com/ or http://endyenblogs.multiply.com/journal
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.
No comments:
Post a Comment