Thursday, March 27, 2008

Politik Ekonomi Kebijakan Fiskal Islam

 

oleh: Hidayatullah Muttaqin

Pemahaman tentang politik ekonomi negara Islam sangat diperlukan untuk memahmai politik ekonomi kebijakan fiskal Islam. Sebab politik ekonomi merupakan garis kebijakan ekonomi yang melandasi kebijakan-kebijakan ekonomi negara seperti halnya kebijakan fiskal. Menurut an-Nabhani, politik ekonomi merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia.*1) Jadi politik ekonomi dalam kebijakan fiskal meliputi dua hal, yaitu (a) hukum-hukum yang dipergunakan, dan (b) tujuan yang ingin dicapai dengan hukum-hukum tersebut.

Dari sisi tujuan hukum, tujuan kebijakan fiskal Islam tidak dapat dilepaskan dari tujuan syariat Islam. Muhammad Husain Abdullah menyebutkan ada delapan tujuan luhur syariat Islam, yaitu; memelihara keturunan, akal, kemuliaan, jiwa, harta, agama, ketentraman/keamanan, dan memelihara negara.*2) Sementara itu dalam konteks kebijakan keuangan negara, Zallum sangat menekankan bahwa kebijakan keuangan negara Islam bertujuan untuk mencapai kemaslahatan*3) kaum Muslimin, memelihara urusan mereka, menjaga agar kebutuhan hidup mereka terpenuhi, tersebarnya risalah Islam dengan dakwah dan jihad fi sabililillah.*4)

Menurut an-Nahbani dan al-Maliki, politik ekonomi Islam adalah jaminan atas pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (al-hajat al-asasiyah/basic needs) bagi setiap individu dan juga pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder dan luks (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuan individu bersangkutan yang hidup dalam masyarakat tertentu dengan kekhasan di dalamnya.*5) Dengan demikian titik berat sasaran pemecahan permasalahan dalam ekonomi Islam terletak pada permasalahan individu manusia bukan pada tingkat kolektif (negara dan masyarakat).*6) Menurut al-Maliki, ada empat perkara yang menjadi asas politik ekonomi Islam. Pertama, setiap orang adalah individu yang memerlukan pemenuhan kebutuhan. Kedua, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dilakukan secara menyeluruh (lengkap). Ketiga, mubah (boleh) hukumnya bagi individu mencari rezki (bekerja) dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan dan meningkatkan kemakmuran hidupnya. Keempat, nilai-nilai luhur (syariat Islam) harus mendominasi (menjadi aturan yang diterapkan) seluruh interaksi yang melibatkan individu-individu di dalam masyarakat.*7)

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa politik ekonomi kebijakan fiskal Islam adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara (Muslim dan non Muslim/kafir dzimmi) dan mendorong mereka agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Politik ekonomi inilah yang menjadi garis dasar kebijakan fiskal Islam dan akan sangat terlihat dalam fungsi alokasi dan distribusi.

Politik Ekonomi Kebijakan Fiskal Konvensional

Berbeda dengan politik ekonomi kebijakan fiskal Islam, politik ekonomi kebijakan fiskal konvensional seperti yang diterapkan di Indonesia menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai asas atau sasaran yang harus dicapai perekonomian nasional.*8) Dalam pembahasan RAPBN hingga menjadi APBN antara pemerintah dan DPR, termasuk pandangan para pengamat ekonomi, salah satu isu sentralnya adalah pertumbuhan ekonomi. Misalnya, mantan Menteri Keuangan Boediono dalam Raker Komisi IX DPR-RI tanggal 4 Mei 2004 menyatakan keyakinannya sasaran pertumbuhan ekonomi 4,8% untuk periode tahun 2004. Boediono memprediksikan pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,0%–5,5%. Ia optimis angka pertumbuhan tersebut dapat dicapai dalam tahun mendatang.*9) Sementara itu dalam pidato kenegaraan Presiden RI di hadapan DPR pada tanggal 18 Agustus, mantan Presiden Megawati menyatakan bahwa asumsi pertumbuhan ekonomi yang mendasari RAPBN 2005 adalah 5,4%.*10)

Adapun argumentasi pemerintah, DPR, dan pengamat ekonomi yang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran utama kebijakan fiskal (dalam kerangka lebih luas kebijakan makro ekonomi), yaitu untuk menuntaskan berbagai permasalahan krusial ekonomi seperti kemiskinan dan pengangguran. Misalnya, Boediono menekankan seandainya angka pertumbuhan ekonomi 5,0% - 5,5% dapat dicapai, tingkat pertumbuhan sebesar itu masih belum memadai untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.*11) Maksudnya, agar kemiskinan dan pengangguran dapat dikikis secara berarti diperlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Pendapat serupa juga dikemukakan mantan Menko Perekonomian Dorodjatun, bahwa untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran diperlukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dorodjatun mencontohkan untuk menampung tenaga kerja baru sebanyak 2,5 juta orang dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.*12) Hanya saja untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi pemerintah harus realistis. Ketua Panitia Anggaran DPR, Abdullah Zainie berpendapat angka pertumbuhan yang realistis untuk tahun 2005 adalah 5,4%. Menurutnya angka pertumbuhan lebih dari itu, seperti 6% adalah tidak realistis mengingat keterbatasan dana pemerintah sementara partisipasi dana swasta belum terlalu dapat diharapkan karena masih rendahnya tingkat investasi.*13) Jadi logika kebijakan makro ekonomi yang diterapkan di Indonesia adalah "kemiskinan dan pengangguran akan terpecahkan dengan sendirinya jika pertumbuhan ekonomi tinggi".*14

Betapa urgennya masalah pertumbuhan ekonomi dalam paradigma ekonomi konvensional diungkapkan oleh Thurow. Sebagaimana dikutip Umar Capra, Thurow menyatakan "Jika negara memiliki pertumbuhan yang lebih cepat, maka ia akan memiliki lapangan kerja yang lebih banyak dan pendapatan yang lebih tinggi bagi siapa saja, dan ia tidak perlu risau mengenai distribusi lapangan kerja atau pendapatan. … Dalam keadaan apa pun, distribusi sumber-sumber daya ekonomi secara otomatis akan menjadi lebih merata seiring dengan proses pertumbuhan ekonomi."*15)

Agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi tercapai maka kebijakan-kebijakan makro ekonomi dan fiskal diarahkan untuk menggenjot tingkat produksi nasional*16) melalui peningkatan investasi, konsumsi masyarakat, dan ekspor.*17) Lantas bagaimanakah caranya agar hal tersebut dapat dicapai? Logikanya, untuk meningkatkan ekspor, kapasitas terpasang industri dalam negeri harus ditingkatkan, tapi hal ini sangat tergantung pada daya saing dan permintaan pasar dunia terhadap komoditas-komoditas yang diproduksi di Indonesia. Begitu pula untuk meningkatkan konsumsi masyarakat, tingkat pendapatan masyarakat harus didorong, antara lain melalui penyerapan tenaga kerja baru dan pengangguran. Artinya untuk menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin, investasi dan kapasitas terpasang industri di Indonesia harus ditingkatkan. Sebaliknya agar investasi meningkat, pasar dalam negeri harus memilki daya tarik bagi para investor, antara lain berupa tingginya pemintaan (konsumsi) masyarakat. Jadi dalam logika ini, kunci peningkatan output Indonesia (baik PDB dan PNB) adalah peningkatan investasi, dengan kata lain tingkat investasi yang tinggi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi.*18)

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah menarik investasi dari dalam (PMDN)*19) dan luar negeri (PMA)*20) ke Indonesia? Menjawab permasalahan rendahnya investasi di Indonesia paska tahun 1997 Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia Andre Steer, sebagaimana dikutip Republika mengatakan "Indonesia harus menciptakan lingkungan atau situasi kondusif (iklim investasi – tambahan penulis) di mana orang-orang mau berinvestasi di sini."*21) Untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif setidaknya pemerintah harus melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi dan deregulasi yang pro pasar, menciptakan stabilitas keamanan dan sosial, kepastian hukum dan menghilangkan ekonomi biaya tinggi (seperti pungli dan korupsi). Intinya adalah bagaimana membentuk persepsi positif tentang Indonesia di mata para investor dengan meminimalisir country risk.

Dari sisi peranan pemerintah, tidak mengherankan jika pemerintah berusaha mengarahkan kebijakan fiskal pro pasar (market oriented) meskipun untuk itu pemerintah harus melakukan kebijakan yang mengesampingkan hak-hak masyarakat. Terlebih dalam situasi krisis seperti sekarang, dengan beban utang yang sangat besar, memaksa pemerintah mengandalkan peranan modal swasta dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi.*22)

Besarnya harapan pemerintah terhadap modal swasta dapat dilihat dari jumlah investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,4%. Menurut Abdullah Zainie, dana yang dibutuhkan agar target pertumbuhan terpenuhi adalah Rp 440 trilyun. Sementara peranan langsung fiskal pemerintah (APBN) yang dapat disalurkan adalah Rp 56 trilyun, sedangkan sisanya ditutupi oleh APBD sebesar Rp 40 trilyun, BUMN dan BUMD sebesar Rp 135 trilyun, dan investasi swasta (PMDN dan PMA) Rp 205 trilyun.*23) Atas dasar kebutuhan investasi swasta inilah, pemerintah mengambil kebijakan apapun yang dipandang dapat memulihkan kepercayaan para investor baik lokal maupun asing. Bahkan menurut pandangan mantan Menteri Keuangan Boediono, pulihnya kerpecayaan para investor terhadap Indonesia merupakan syarat mutlak bagi negeri ini keluar dari krisis ekonomi.*24)

Jadi politik ekonomi kebijakan fiskal konvensional (baca: Kapitalisme) yang diterapkan di Indonesia berdiri di atas prinsip pertumbuhan ekonomi, di mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan tujuan sekaligus solusi berbagai macam permasalahan perekonomian nasional, seperti kemiskinan dan pengangguran. Kebijakan fiskal (dalam konteks lebih luas pembangunan) dikatakan berhasil bila pemerintah dapat membawa perekonomian Indonesia pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagaimana yang pernah dicapai Indonesia sebelum krisis ekonomi terjadi sejak tahun 1997. Sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang rendah atau stagnan, dianggap sebagai kegagalan kebijakan ekonomi pemerintah.

Di atas prinsip mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ditegakkan pula prinsip kebijakan fiskal yang bersahabat dengan pasar (market friendly) atau bersahabat dengan para investor (investors friendly). Dengan prinsip ini, jika terjadi benturan kepentingan antara public interest dengan investor interest dalam kebijakan fiskal, maka pemerintah akan memenangkan kalangan investor.*25) Seperti yang tersirat dari pemikiran Boediono, bahwa kebijakan fiskal harus dilakukan secara berhati-hati dan dengan pertimbangan yang matang akan dampaknya terhadap kepercayaan para investor. Jangan sampai kebijakan fiskal yang dipilih berakibat pada melemahnya kepercayaan pasar walaupun baru sekedar "mengagetkan" mereka saja.*26)

Dalam pandangan an-Nabhani, politik ekonomi pertumbuhan adalah keliru dan tidak sesuai dengan realitas, serta tidak akan menyebabkan meningkatnya taraf hidup dan kemakmuran bagi setiap individu secara menyeluruh. Politik ekonomi konvesional ini menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia secara kolektif yang dicerminkan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Akibatnya pemecahan permasalahan ekonomi terfokus pada barang dan jasa yang dapat dihasilkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bukan pada individu manusianya. Sehingga pembahasan ekonomi yang krusial untuk dipecahkan terfokus pada masalah peningkatan produksi.*27)

Agar hal tersebut tercapai, aturan main (hukum) dan kebijakan yang diterapkan negara harus akomodir terhadap para pelaku ekonomi yang menjadi lokomotif pertumbuhan, yakni para pemilik modal (investor). Konsekuensinya, meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi distribusi pendapatan menjadi sangat timpang sebab sebagian kekayaan nasional memusat di tangan segelintir orang saja (para pemilik modal). Menurut Capra, pertumbuhan ekonomi yang tinggi mendorong peningkatan pendapatan golongan kaya dan menyebabkan kesenjangan semakin lebar.[28] Inilah yang dikatakan an-Nahbani bahwa distribusi pendapatan di negara yang menerapkan ekonomi Kapitalis didasarkan pada kebebasan kepemilikan, sehingga yang menang adalah yang kuat, yakni para investor.929)

Politik Ekonomi Kebijakan Fiskal Islam

Menurut an-Nabhani, realitas menunjukkan kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhi adalah kebutuhan setiap individunya (misalnya si Ahmad dan Feri), bukan kebutuhan manusia secara kolektif (seperti kebutuhan bangsa Indonesia).*30) Logikanya, untuk siapakah hasil-hasil pertanian seperti beras, juga kebutuhan atas rumah, pelayanan pendidikan dan kesehatan, selain untuk memenuhi kebutuhan Ahmad, Feri, dan setiap warga negara Indonesia lainnya. Jadi pertanyaan mendasar atas permasalahan ekonomi manusia adalah apakah kebutuhan setiap individu manusia terpenuhi atau tidak? Berdasarkan realitas tersebut, an-Nabhani menyatakan kunci permasalahan ekonomi terletak pada distribusi kekayaan kepada setiap warga negara.*31)

Berpijak pada pemikiran ini, sasaran pemecahan permasalahan ekonomi seperti kemiskinan adalah kemiskinan yang menimpa individu bukan kemiskinan yang menimpa negara atau bangsa. Dengan terpecahkannya permasalahan kemiskinan yang menimpa indvidu dan terdistribusikannya kekayaan nasional secara adil dan merata, maka hal itu akan mendorong mobilitas kerja warga negara sehingga dengan sendirinya akan meningkatkan kekayaan nasional. Sebaliknya, terpecahkannya kemiskinan negara yang ditandai dengan besarnya kekayaan nasional (GNP/GDP) dan tingginya pendapatan perkapita tidak akan memecahkan kemiskinan yang menimpa individu warga negara.*32) Misalnya, Amerika Serikat dikenal sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia memiliki PDB sebesar US$ 10,506 trilyun pada kuartal III 2002.*33) Akan tetapi kekuatan ekonomi sebesar itu tidak mampu menuntaskan kemiskinan di AS sendiri. Data statistik Badan Sensus AS yang dikutip Kate Randall memaparkan tingkat kemiskinan di AS pada tahun 2001 mencapai 11,7% atau sekitar 32,9 juta jiwa. Sementara itu estimasi Randall menyatakan 30% atau sekitar 84,4 juta penduduk AS miskin.*34) Menurut Capra, adalah sebuah paradoks di negara-negara paling kaya dan paling kuat ekonominya di dunia tetapi jutaan penduduknya berkutat dalam kemiskinan dan terjebak di pemukiman-pemukiman yang buruk dan semakin buruk.*35)

Ketika kunci permasalahan ekonomi terletak pada distribusi kekayaan yang adil, maka yang harus dijelaskan adalah bagaimanakah metode untuk menciptakan distribusi kekayaan yang adil melalui kebijakan fiskal, sebagaimana yang dikatakan Allah dalam Qs. al-Hasyr [59]: 7 yang artinya "… Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu …".

Dalam Islam, kebijakan fiskal hanyalah salah satu mekanisme untuk menciptakan distribusi ekonomi yang adil. Karenanya kebijakan fiskal tidak akan berfungsi dengan baik bila tidak didukung oleh mekanisme-mekanisme lainnya yang diatur melalui syariat Islam, seperti mekanisme kepemilikan, mekanisme pemanfaatan dan pengembangan kepemilikan, dan mekanisme kebijakan ekonomi negara.*36) Dengan kata lain, syariat Islam harus diterapkan secara menyeluruh (kaffah) tanpa dipilah-pilah (parsial) agar syari'ah mechanism dapat dengan sempurna mengatur distribusi ekonomi yang adil. Adapun peranan kebijakan fiskal sebagai salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam perekonomian merupakan konsekuensi logis dari kewajiban syariat sebagai jawaban atas salah satu realitas yang menunjukkan bahwa tidak semua warga negara memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang dalam ekonomi konvensional dikenal sebagai masalah "eksternalitas" dan kegagalan pasar (market failure).

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, politik ekonomi yang mendasari kebijakan fiskal Islam adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu secara menyeluruh dan mendorong mereka memenuhi berbagai kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Menurut al-Maliki kebutuhan pokok yang disyariatkan oleh Islam terbagi dua. Pertama, kebutuhan-kebutuhan primer bagi setiap individu secara menyeluruh. Kebutuhan ini meliputi pangan (makanan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal).*37) Kedua, kebutuhan-kebutuhan pokok bagi rakyat secara keseluruhan. Kebutuhan-kebutuhan katagori ini adalah keamanan, kesehatan dan pendidikan.*38)

Dari politik ekonomi ini dapat dijabarkan arah kebijakan fiskal Islam sebagai berikut:

Pertama, negara Islam melihat permasalahan kemiskinan yang harus dipecahkan adalah kemiskinan yang menimpa individu bukan kemiskinan yang menimpa negara.*39)

Kedua, negara Islam menempatkan masalah kemiskinan sebagai masalah ekonomi yang krusial dan mendesak untuk dipecahkan.

Ketiga, kebijakan untuk memecahkan masalah kemiskinan secara langsung diarahkan kepada individu, yakni setiap warga negara yang masuk katagori miskin.*40)

Keempat, kebijakan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa, dan status sosial. Hanya saja intervensi negara melalui kebijakan fiskal berupa jaminan pemenuhan akan pangan, sandang dan papan khusus ditujukan kepada warga negara miskin yang kepala keluarga dan ahli warisnya tidak mampu lagi memberikan nafkah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Sedangkan warga negara yang berasal dari keluarga mampu tidak mendapatkan subsidi negara. Selanjutnya intervensi negara dalam pengadaan jaminan dan pelayanan keamanan, kesehatan dan pendidikan (public utilities) secara cuma-cuma ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang apakah warga tersebut dari golongan kaya atau tidak. Artinya dalam katagori ini subsidi diberikan kepada seluruh rakyat.

Kelima, negara memahami bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan kekayaan dan meningkatkan kekayaan yang dimilikinya asalkan diperoleh dengan jalan yang dibenarkan syara'. Karena itu, negara Islam melakukan intervensi dengan tujuan mendorong warga masyarakat memperoleh kekayaan yang dapat mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya secara ma'ruf*41) sesuai dengan kemampuan warga itu sendiri. Bentuk-bentuk intervensi ini disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi warga masyarakat setempat. Maksudnya pola kebijakan yang diterapkan tidak pukul rata dan tidak sentralistik, tetapi bersifat bottom up sesuai kondisi dan harapan warga masyarakat setempat. Intinya pola kebijakan yang diterapkan ditujukan untuk mencapai kemaslahatan warga masyarakat.

Keenam, intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan fiskal adalah kebijakan makro ekonomi. Kebijakan pada level makro ini harus diturunkan (dijabarkan) ke dalam level mikro yang bersentuhan langsung dengan aktivitas riil ekonomi masyarakat. Karena itu agar efek fiskal berdampak positif bagi peningkatan taraf hidup masyarakat secara luas dan menyeluruh, pemerintah harus mengembangkan pola-pola kebijakan (skema) mikro yang bottom up dengan menyesuaikannya dengan potensi, kondisi, dan aspirasi warga masyarakat. Dari sisi permodalan negara dapat mengembangkan pola pinjaman tanpa bunga, subsidi, atau pola patnership seperti mudharabah dan musyarakah. Di sisi lain negara juga harus menyediakan infrastruktur, sarana dan pra sarana yang menunjang kegiatan produksi, jasa dan perdagangan masyarakat, seperti listrik, sarana komunikasi, jalan umum dan sarana transportasi, serta bangunan pasar. Juga negara harus memberikan kemudahan akses bahan baku, menyediakan informasi dan membantu pemasaran, termasuk memperkerjakan tenaga ahli dan konsultan untuk melatih dan membentuk jiwa wira usaha (interprenurship) ataupun keahlian teknis bagi para pekerja.

Ketujuh, negara harus mampu menjalankan politik pertanian dan politik industri yang sesuai tuntutan syara' untuk mencapai kemandirian ekonomi. Sebab penguasaan dua pilar perekonomian ini sangat menentukan kekuatan ekonomi nasional dari segi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, dan pasokan alat-alat pertanian untuk meningkatkan produktivitas pertanian, dan pasokan mesin-mesin pabrik dan industri.

Kedelapan, negara Islam wajib mengadakan fasilitas umum dan pelayanan publik yang sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga berbagai kepentingan dan urusan masyarakat terpenuhi dengan lancar.

Kesembilan, agar pejabat dan aparatur negara (termasuk tenaga ahli yang dikontrak pemerintah) dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat, dan juga supaya kewenangan yang mereka miliki tidak disimpangkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok, maka negara wajib memberikan santunan dan gaji yang layak kepada mereka.

Kesepuluh, sebagaimana yang dipaparkan Zallum bahwa kebijakan fiskal tidak hanya berfungsi dalam tataran ekonomi, tetapi juga untuk pertahanan dan keamanan, serta penyebaran agama Islam ke seluruh penjuru dunia. Karena itu kebijakan fiskal Islam juga difokuskan untuk mendukung dan menjaga kesinambungan (sustainability) jihad fi sabilillah dan dakwah Islamiyah. Wallahu a'lam bishawab.

——————————————————————————–

[1] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (An-Nidlam al-Iqtishadi fil Islam), alih bahasa Moh. Maghfur Wachid, cet. v, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hal. 52. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya "Politik Ekonomi Islam (terjemahan)". Menurut al-Maliki, politik ekonomi merupakan target yang menjadi sasaran hukum-hukum yang menangani pengaturan perkara-perkara manusia. (Lihat Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, (As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla), alih bahasa Ibnu Sholah, cet. i, (Bangil: Al-Izzah, 2001), hal. 37.

[2] Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, (Dirasat fi al-Fikri al-Islami), alih bahasa Zamroni, cet. i, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), hal. 80.

[3] Dengan adanya tujuan mencapai kemaslahatan atau kebaikan bagi kaum Muslimin, bukan berarti kemaslahatan menjadi tolak ukur kebijakan fiskal. Tetapi yang dimaksud dengan kemaslahatan bagi kaum Muslimin adalah segala hal yang menurut syara' baik bagi umat, dan untuk mencapai kemaslahatan tersebut kebijakan fiskal yang ditempuh harus didasarkan kepada syara' itu sendiri bukan didasarkan kepada kemaslahatan.

[4] Lihat Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Al Amwal fi Daulah Al Khilafah), cet. i, alih bahasa Ahmad S. dkk, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), hal. 4, 5, 13, 14, 28, 30, 34, 36, 50, 67, 138, ,139.

[5] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif…, hal. 52. Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, hal. 37.

[6] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi…, hal. 53. Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, hal 37.

[7] Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, hal. 37.

[8] Revrisond Baswir dkk, Pembangunan tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, cet. ii, (Jakarta: ELSAM, 2003), hal. 2-3.

[9] Boediono, Keterangan Menteri Keuangan tentang Rencana Kerja Pemerintah, Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2005, http://www.fiskal.depkeu.go.id

[10] Central for Banking Crisis Indonesia, Defisit Anggaran RAPBN 2005 Rp 16,9 Trilyun, 16 Agustus 2004, http://www.cbcindonesia.com

[11] Boediono, Keterangan Menteri Keuangan.

[12] Gatra Online, Djatun: Empat Langkah Kurangi Kemiskinan, 17 Oktober 2003, http://www.gatra.com Menurut perhitungan FE UI yang dikemukakan oleh Khatib Basri, dalam beberapa tahun terakhir setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan menyerap 200 – 250 ribu tenaga kerja. Berdasarkan perhitungan ini, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,45% hanya akan menyerap 1.090.000 – 1.350.000 tenaga kerja. (Lihat M. Khatib Basri, Kembali ke Dasar Prinsip Ekonomi, 5 Juli 2004, http://www.kompas.com) Menurut Mubyarto, hubungan pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan tidak lurus dan tidak konsisten. (Lihat Mubyarto, Kemiskinan, Pengangguran, dan Ekonomi Indonesia, 4 Agustus 2003, http://www.ekonomipancasila.org)

[13] Kompas edisi online, Pemerintah tidak Berani Menargetkan Pertumbuhan Ekonomi 6 Persen 2005, 17 Mei 2004, http://www.kompas.com

[14] Lihat Mubyarto, Kemiskinan, Pengangguran…, Republika Online, Mubyarto: Ekonomi Indonesia Keliru, 10 Desember 2003, http://www.republika.co.id, Gatra Online, Djatun: Empat Langkah, Kurangi Kemiskinan, M. Khatib Basri, Kembali ke Dasar Prinsip Ekonomi.

[15] Leter Thurow, The Illusion of Economy Necessity, dalam Solo and Anderson (1981), hal. 250, dalam M. Umar Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Islam and Economic Challenge), alih bahasa Ikhwan Abidin Basri, cet i, (Jakata: Gema Insani Press, 2000), hal. 52.

[16] Pertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan tingkat output suatu negara secara keseluruhan. (Lihat Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Makroekonomi: Edisi keempatbelas, (Macroeconomics), alih bahasa Haris Munandar dkk, cet. iv, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997), hal. 55.)

[17] Boediono, Keterangan Menteri Keuangan.

[18] Di masa Orde Baru kepercayaan akan kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam menuntaskan kemiskinan (trickle down effect) – meskipun kemudian dibungkus trilogi pembangunan – telah menyeret Indonesia pada jebakan utang (debt trap). Pemerintah saat itu meyakini utang luar negeri merupakan sumber investasi pembangunan yang sangat penting untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

[19] Penanaman modal dalam negeri.

[20] Penanaman modal asing.

[21] Republika Online, CGI Prihatinkan Iklim Investasi di Indonesia, 4 Juni 2004, http://www.republika.co.id

[22] Dari sisi tren ekonomi global memang terjadi penurunan (pergeseran) peranan pemerintah dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi dibandingkan peranan swasta. Hal ditandai dengan berkurangnya peranan pinjaman luar negeri dibandingkan peranan penanaman modal swasta dalam investasi. Menurut laporan Bank Dunia dalam Global Development Finance, selama periode 1990-1996 peranan pinjaman luar negeri menurun dan cenderung stagnan, sedangkan arus modal swasta meningkat tanpa fluktuasi. Pada tahun 1996, jumlah pinjaman luar negeri yang diserap negara-negara berkembang sebesar US$ 60 miliar, sementara arus modal swasta yang masuk ke negara-negara berkembang mencapai US$ 244 miliar. (Republika, Ketika Arus Dana Swasta ke Negara Berkembang Melonjak, 26 Maret 1997.)

[23] Kompas edisi online, Pemerintah tidak Berani.

[24] Dalam hal ini Boediono juga menyalahkan ketiadaan kepercayaan pasar sebagai penyebab utama krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia (Lihat Boediono, Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya, dalam Heru Subyantoro (ed.), Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hal. 48.). Sewaktu kampanye pemilihan umum presiden tahap I dan II 2004, para calon presiden dan wakil presiden sama-sama menekankan pentingnya kepercayaan pasar untuk membangkitkan perekonomian Indonesia.

[25] Contohnya pemerintah lebih memilih memberikan subsidi kepada perbankan nasional dengan mengurangi dan menghapus berbagai subsidi untuk masyarakat. Mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri merupakan salah satu dampak penghapusan subsidi pendidikan.

[26] Boediono, Kebijakan Fiskal, hal. 49.

[27] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi, hal. 19-20.

[28] M. Umar Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi, hal. 52.

[29] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi, hal. 19.

[30] Ibid, hal. 20.

[31] Ibid.

[32] Ibid.

[33] Council of Economic Advisers USA, Economic Report of the Presiden February 2003, http://w3.access.gpo.gov/usbudget/fy2004/sheets/b1.xls

[34] Kate Randall, US Poverty Rose Sharply in 2001, 27 September 2002, http://www.wsws.org

[35] M. Umar Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi, hal. 132.

[36] Detail pembahasan tentang hal ini silahkan dibaca buku Taqiyuddin an-Nabhani "Membangun Sistem Ekonomi Alternatif".

[37] Dalil syara'nya antara lain QS. al-Baqarah: 184 dan 233, an-Nisa: 5, al-Hajj: 28, ath-Thalaq: 6, at-Taubah: 24.

[38] Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, hal. 168 dan 186.

[39] Pandangan ini bukan pandangan yang mengedepankan individu (individualistik), tapi realitanya memang yang ditimpa kemiskinan itu adalah si individunya, yakni si A, si B, si C, dan lain-lainnya.

[40] Negara Islam langsung mengarahkan kebijakan fiskalnya kepada warga masyarakat yang ditimpa kemiskinan. Arah ini berbeda 180 derajat sengan kebijakan fiskal konvensional yang untuk memecahkan kemiskinan harus menggemukkan golongan kaya dulu baru kemudian kekayaan yang dipupuk secara nasional dialirkan dari golongan kaya tersebut ke golongan miskin (trickle down effect) melalui mekanisme pasar.

[41] Secara baik di mana perkembangan kebutuhan sekunder dan tersier mengikuti perkembangan sarana kehidupan dan teknologi, serta kebiasaan masyarakat setempat (lokal).


 
My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

No comments: