Kisah Sang Mentor (Bagian I)
Pada suatu siang hari yang teduh, sekitar jam 11, sebuah mobil mewah bermerek BMW jenis 720i warna cerah, meluncur perlahan memasuki kampung. Mobil yang masih baru dan mulus itu tampak kontras dengan suasana sekitar yang memantulkan citra pedalaman yang sederhana. Pengemudinya seorang pria ganteng berusia 40-an tahun, kelihatan mengendarai kendaraannya dengan santai sambil sebentar-sebentar menengok ke kiri dan ke kanan, seakan takjub dengan pemandangan yang baru dilihatnya.
"Hm, kampungku ini sudah berubah, banyak kemajuan. Rumah-rumah penduduk sekarang bagus-bagus dan rapi. Jalanannya beraspal dan mulus. Penduduknya makin ramai dan banyak kegiatan bisnis. Walau begitu, suasananya tetap asri, damai dan tenteram sebagaimana umumnya sebuah kampung di kaki pegunungan.." ia bergumam sendirian. "Ah..tak terasa sudah 20 tahun berlalu..", dan ia menghela nafas panjang.
Setelah berkendara beberapa menit dari mulut kampung, BMW berhenti di depan sebuah rumah yang di bagian samping-depannya difungsikan sebagai warung kelontong. Pria itu tidak langsung turun dari mobilnya, melainkan berpaling memandang ke arah warung tersebut. Suasana sepi-sepi saja, hanya terlihat seorang remaja putri sedang membeli sesuatu, dilayani oleh seorang ibu-ibu tua.
Pikirannya pun menerawang. "Ini rumah Pak Soma. Pemilik warung yang sederhana, namun siapa sangka nasihatnya yang bijak telah membuat aku menjadi pengusaha sukses dan kaya-raya seperti sekarang. Sebagai balas jasa, aku telah berjanji pada diri sendiri bahwa aku akan memperbaiki rumahnya ini serta membangunnya menjadi sebuah rumah besar yang cukup mewah dan lengkap. Dan warungnya akan aku sulap menjadi sebuah mini market agar penghasilan Pak Soma dan isteri dapat meningkat..". Lalu ingatannya berkilas balik jauh ke sebuah peristiwa yang terjadi 21 tahun silam. Ia ingat benar betapa waktu itu ia baru berusia 19 tahun, bertekad mengadu nasib pergi ke kota.
Atas anjuran kedua orang tuanya, ia pamit kepada Pak Soma, seorang tetangga, pada malam sebelum keberangkatannya. Di situlah, entah bagaimana, seorang bapak setengah baya yang sederhana, memberikan berbagai petuah kepadanya tentang kiat-kiat berusaha. Ia sendiri tidak pernah mengerti, bagaimana orang kampung pemilik warung seperti Pak Soma bisa memberikan nasihat-nasihat yang begitu canggih, seakan ialah seorang pengusaha besar di negeri ini. Namun demikian, itulah satu-satunya pegangan yang ia miliki untuk berjuang di perantauan. Ia pun berangkat dengan percaya diri keesokan paginya..
"Ah, tentu beliau sudah tua sekali sekarang..", pikirnya. Ketika ia melihat bahwa remaja putri yang berbelanja sudah selesai, ia buru- buru turun dari mobil. Ia mendekat seraya memandang pada ibu-ibu tua penjaga warung, dan segera tahu siapa yang dipandangnya. "Selamat siang, Bu Soma..", sapanya sopan. Perempuan itu menoleh dan memandang penuh selidik. "Ya..? Siapa..ya..?"
"Saya Bu,.. Darmawan, anak Pak Rusli, tetangga Ibu.. Ibu lupa?"
"Darmawan?..Eh.. Wawan..? Wawan ya?"
"Iya benar Bu Soma. Ini Wawan. Bagaimana kabarnya Bu? Wah, ibu kelihatan sehat sekali.."
Seketika wajah tegang Ibu Soma mengendur. "Oh.. benar kamu Wan? Baru datang..?" Ia langsung menghampiri dengan ramai senyuman, menarik tangan pria ganteng itu sambil berkata: "Ayuk masuk.. wah kamu sudah dewasa sekarang ya! Necis dan ganteng lagi… Syukur.. syukur alhamdulillah.."
"Mari..mari silahkan duduk, Nak. Jangan malu-malu. Rumah ini masih seperti dulu, jadi anggap seperti rumahmu juga..", si Ibu berusaha mencairkan kekakuan.
Pria yang dipanggil Wawan itu masuk ke ruang tamu lalu duduk di sebuah kursi. Percakapan basa-basi berlangsung beberapa saat, sampai akhirnya sang pengusaha sukses bertanya: "Pak Soma ada, Bu? Saya kangen banget sama beliau.." Bu Soma menjawab:" Oh, Bapak masih di masjid, ada urusan di sana. Mungkin 1 jam lagi baru kembali, sehabis sholat dzuhur.."
"Oh ya? Kalau begitu, saya tinggal dulu ya Bu? Mau lihat rumah ibu saya di kampung ini, sudah 20 tahun gak pernah saya lihat lagi rumah itu. Entah seperti apa sekarang..? Nanti jam 2 saya balik lagi ke sini…" Bu Soma tertegun sejenak, tapi segera berkata: " Iya baik Wan. Nanti saya kasih tahu Bapak, biar dia tunggu di sini sampai jam 2.."
Sebelum pergi, Darmawan bercerita pada Bu Soma bahwa ia selama ini merasa sangat berhutang budi pada Pak Soma, karena kesuksesannya sekarang adalah berkat nasihat dan petuah yang diberikan secara serius oleh suami perempuan itu. Dan ia langsung mengutarakan niatnya untuk membalas budi dengan jalan merenovasi total rumah serta warung milik pasangan suami isteri tersebut. Ibu Soma tersenyum lebar mendengar hajat "si Wawan".
Rumah yang dimaksud Wawan sebagai "rumah ibunya" itu hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah Pak Soma. Dalam sekejap ia sudah sampai di sana. Kedua orang tuanya tidak lagi tinggal di situ, karena sudah sejak lama ia ajak ke kota, pindah ke sebuah rumah yang khusus ia bangun. Rumah itu ditunggui oleh adik sepupunya, yang kebetulan sedang duduk-duduk di ruang depan sambil ngobrol dengan beberapa orang tetangga dekat. Bukan main kagetnya mereka ketika mengetahui anggota keluarga yang sudah 20 tahun lebih menghilang, kini muncul begitu saja. Dengan gembira mereka "berkangen-kangenan" sejenak, saling peluk, bersalaman sambil saling tanya, setelah itu Wawan pergi ke belakang membersihkan diri dan segera beristirahat.
Sambil selonjor kaki di sebuah kursi malas, Wawan menerawang kembali. "Semua keluarga dan famili di kampung ini gembira dan bangga bahwasanya aku telah menjadi pengusaha yang sangat sukses. Tapi mereka tidak tahu bahwa aku sendiri masih merasa ada ganjalan di hati. Sesukses-suksesnya aku dan sebesar-besarnya perusahaanku, masih belum apa-apa dibanding dengan perusahaan saingan yang satu itu.." Wawan terbayang akan sebuah nama – nama perusahaan saingannya – PT Harimau Sakti, yang selama ini membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Sebab, setiap bersaing dengan perusahaan ini, pihaknya selalu kalah. Di bidang bisnis ritel, perusahaannya kalah dalam merebut pangsa pasar. Di segmen korporasi, ia juga kalah.
Terakhir, dari 8 kali tender pemerintah, ia hanya berhasil merebut 1 kali kemenangan. Selebihnya, 7 kali tender dimenangkan oleh PT Harimau Sakti. Hal inilah yang selama ini dirasakan bagai duri dalam daging oleh Wawan. Berbagai jurus bisnis dan strategi telah ia jalankan, tapi tidak merubah peta percaturan bisnisnya, ia tetap kalah. "Apa yang salah dengan ku?", demikian pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam otaknya. Lelah berpikir, tanpa disadari akhirnya ia tertidur di kursi malas.
Tepat jam 2 siang, Wawan terkejut dan bangun dari tidur. Melihat jam tangan, ia bergumam sendiri: " Wah, sudah waktunya. Pak Soma pasti sudah menunggu.." Dengan sigap ia sambar kunci mobil dari atas meja, langsung berlari ke luar menuju mobilnya yang diparkir di halaman.
Tanpa membuang waktu lagi, ia masuk ke dalam kabin kemudi, menghidupkan mesin dan seketika itu juga meluncur menuju rumah Pak Soma. "Aku tak ingin pertemuan ini meleset dan mengecewakan bintang penolongku..", katanya dalam hati.
(Bersambung ke bagian II…)
Kisah Sang Mentor (Bagian II)
Sampai di tempat yang dituju, ia heran karena ada sebuah mobil jenis niaga parkir di depan warung. Meski begitu, ia tetap bergegas masuk ke dalam ruang tamu. Di situ ia menjumpai seorang pria sedang duduk menunggu sendirian sambil membalik-balik majalah usang yang memang tersedia di meja. Ketika pria ini menoleh ke arahnya, lagi-lagi Wawan terheran-heran, karena ternyata sang tamu adalah seseorang yang sudah ia kenal. Bahkan, amat sangat kenal, karena dia inilah salah seorang pejabat tinggi dari perusahaan pesaing terberatnya, PT Harimau Sakti. Mereka sudah beberapa kali bertemu ketika mengikuti tender di instansi-instansi pemerintah.
"Hai, Pak Hadi!? Lho kok bisa ada di sini Pak?", Wawan menyapa sambil mengekspresikan keheranannya. Yang disapa segera berdiri menyambut tidak kalah akrabnya: "Halo Pak Darmawan..! Apa kabar, Pak? Saya sudah menunggu Bapak dari setengah jam yang lalu.. Selamat datang dan selamat jumpa Pak!", sambil tertawa ia mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Lho..? Pak Hadi menunggu saya? Ah, Bapak pasti bergurau ya..?", Wawan mencoba tersenyum sambil berkata dalam hati, ada lelucon apa ini?
Namun orang yang dipanggil Pak Hadi itu menjawab dengan serius: "Benar Pak Darmawan. Saya diperintah Pak Citra untuk datang ke mari menunggu Bapak. Katanya ada yang mau dibicarakan dengan beliau.." Bagi Wawan, kalau di dunia ini ada teka-teki yang paling sulit, maka kejadian itu merupakan teka-teki yang lebih sulit lagi untuk ditebak. Tapi seorang petinggi perusahaan sekaliber Hadi tentu tidak akan melecehkan dirinya dengan gurauan yang tidak pada tempatnya. Ia merasa air mukanya menjadi bodoh, lalu bertanya lirih: "Pak Citra itu siapa..?"
"Ini lho, Pak? Yang punya rumah dan warung ini, namanya Pak Citra. Dia bos saya, pendiri sekaligus pemilik perusahaan PT Harimau Sakti..!" Pak Hadi menjelaskan.
"Oh .. eh.. Pak Soma maksud Bapak?", tanya Wawan gugup.
"Iya! Di kampung ini, Pak Citra memang dikenal dengan nama Pak Soma. Tapi di kantor kami beliau dipanggil dengan sebutan Pak Citra. Kan nama lengkap beliau: Citra Sumawidjaya.."
Penjelasan Hadi yang terakhir ini benar-benar membuat limbung Wawan. Bagai ada petir di siang bolong, begitulah yang dirasakan olehnya. Otaknya berputar: "Aku kenal Pak Soma dari kecil. Ia kan cuma seorang warga sederhana dari kampung ini?" Kalau betul Pak Soma itu seperti apa yang dijelaskan oleh Pak Hadi ini, maka sungguh ia akan malu karena seakan-akan telah "pamer kekayaan" dengan berhajat memperbaiki rumah seorang bos besar pemilik perusahaan nasional bertaraf internasional. Dan pantaslah kalau 20 tahun yang lalu, sang pemilik warung itu mampu memberikan petuah-petuahnya yang "sophisticated. Tapi yang betul-betul membuatnya tidak habis pikir, mengapa Pak Soma harus membawakan diri sebagai seorang tua lugu dan sederhana yang hidup di kampung? Dan bagaimana pula caranya dia bisa mengawasi dan mengatur perusahaan dari sebuah kampung yang jauh dan terpencil ini?
Belum selesai rasa terkejut dan tidak percaya yang meledak di benak Wawan, tiba-tiba terdengar suara salam: "Assalamualaikum.." dari dalam rumah dan sesosok bayangan menerobos masuk ruang tamu. Ternyata ialah Pak Soma, atau Pak Citra Sumawidjaya. "Alaikum salam..", hampir serentak Wawan dan Hadi menjawab sekaligus menghampiri serta menjabat tangan tokoh yang sudah sangat senior ini. Wawan bahkan sampai mencium tangan serta memeluk Pak Soma-nya itu sambil setengah membungkuk, tanda rasa hormat yang sangat dalam.
Untuk beberapa menit terjadi basa-basi di antara mereka, sebelum kemudian Pak Soma mempersilahkan tamu-tamunya untuk duduk. Ibu Soma pun lantas bergabung dengan mereka. Tuan rumah tersenyum ramah lalu berkata: "Pertama-tama saya ingin mohon maaf sebesar-besarnya pada Wawan, yang saat ini pasti dilanda kebingungan. Iya kan Wan?". Semua yang hadir tertawa dan Wawan pun mau tidak mau juga tertawa tersipu-sipu. "Benar Pak Soma. Saya bingung dan tolong jelaskan semua ini.." ujarnya.
"Baik..baik. Langsung saja saya ceritakan semua.. Saya orang asli kampung ini. Hanya saja, karena kedua orang tua saya meninggal pada saat saya masih muda, maka saya putuskan untuk pergi merantau ke kota bersama istri. Waktu itu saya baru berusia 20 tahun, sedangkan kamu belum ada, Wan", Pak Soma mengawali ceritanya. "Rumah ini kami titipkan pada seorang saudara, dan pergi dengan bekal sekadarnya saja."
"Di kota kami numpang tinggal di rumah seorang teman dari orang tua saya selama kira-kira dua tahun untuk memulai usaha. Syukur bahwa Tuhan memberkahi usaha kami sehingga dalam waktu 10 tahun, usaha tersebut berkembang pesat sekali. Kami tidak saja mampu membangun rumah besar untuk tempat tinggal, tapi bahkan bisa membangun 2 buah perusahaan sekaligus dalam kurun waktu itu. Tahun-tahun selanjutnya bahkan merupakan rangkaian kesuksesan, sehingga terbentuklah sebuah kelompok usaha PT Harimau Sakti seperti yang sudah kamu tahu, Wan..", kata Pak Soma sambil menoleh ke arah Darmawan.
"Pada tahun ke 16 perantauan kami di kota, saya putuskan untuk mengangkat sebuah Dewan Direksi yang akan mengelola perusahaan secara langsung, lalu kami kembali ke kampung ini. Saya ingat benar, kamu waktu itu kamu baru berusia 9 tahun, Wawan.."
"Ya, samar-samar saya ingat kejadian itu Pak..", kata Darmawan lirih. "Tapi, sebetulnya apa penyebabnya sampai Bapak memutuskan kembali ke kampung, padahal waktu itu perusahaan Bapak sedang maju- majunya?"
"Kamu tahu Wan. Saya ini orang kampung dan semula merantau ke kota karena terpaksa. Ternyata, suasana pergaulan bisnis di kota amat berbeda dengan kehidupan di kampung. Saya merasakan, lingkungan bisnis di kota itu tidak nyaman, orang berhubungan satu sama lain dengan senyum palsu, tiada ketulusan, tampak akrab tapi sebenarnya mencari kesempatan untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Sahabat hanya ada pada saat kita jaya, menghilang pada saat kita susah. Segala sesuatu diukur dengan uang. Kalau tiada uang, maka tidak ada senyum, tidak ada pula sahabat. Itulah dunia bisnis di kota."
Sampai di situ nada suara Pak Soma agak meninggi. Lalu ia melanjutkan. "Lain halnya dengan di kampung. Di sini, persahabatan dilaksanakan secara murni. Basisnya persaudaraan semata. Tiada pamrih, tiada intrik dan tiada provokasi yang disebabkan uang. Suasana tenang, damai dan tenteram. Saya tidak bisa lari dari kenikmatan kampung seperti ini. Oleh karenanya, begitu usaha saya mapan, saya putuskan kembali ke sini. Semua urusan usaha saya percayakan pada Direksi.
Salah satu dari anggota Direksi itu, ya si Hadi ini..", kata Pak Soma sambil menoleh ke Pak Hadi. Yang disebut terakhir ini tersenyum.
"Lantas bagaimana cara Bapak sebagai pemilik, memantau kinerja perusahaan itu Pak?. Kampung ini kan sangat jauh dari kota? Dan mengapa pula Bapak harus terus menerus menyamar, membawakan diri sebagai penjaga warung sederhana selama bertahun-tahun?" Wawan bertanya.
"Sudah saya katakan bahwa saya sangat menikmati suasana kampung yang damai dan tenteram ini. Saya tidak mau kehilangan itu. Kalau saya kembali ke sini dan berubah menjadi orang kaya raya, maka pasti pandangan orang-orang sekitar jadi berubah pula. Mereka akan berkata, Pak Soma sekarang bukan Pak Soma yang dulu lagi. Pak Soma sekarang ini bau duit. Lantas, orang-orang akan memasang senyum palsu saat berjumpa dengan saya dan memperlakukan saya dengan cara yang berbeda. Nah itulah yang akan merusak suasana. Bisa-bisa budaya kota yang materialistis dan penuh kepalsuan akan pindah ke sini. Itu yang tidak saya kehendaki. Maka sebisa mungkin saya berusaha untuk tetap menjadi Pak Soma yang dulu.."
"Tentang bagaimana saya mengontrol perusahaan? Kamu kan sudah tahu, bahwa sebuah perusahaan yang sudah mapan, akan tidak memerlukan lagi kehadiran pemiliknya. Semuanya sudah berjalan berdasarkan sistem yang baku. Juga ada Dewan Direksi berikut stafnya yang terdiri dari para manajer yang akan mengelola operasional harian. Paling sering saya hanya akan datang ke kantor sekitar 1 atau 2 bulan sekali, saat di mana saya pamit dengan tetangga untuk belanja barang dagangan warung saya..hehe..", Pak Soma memberi penjelasan sambil tertawa.
"Memang di samping itu, saya tetap berusaha berkomunikasi secara intensif dengan si Hadi ini di kota. Caranya? Mari ikut saya, saya akan tunjukkan", ajak sang tuan rumah. Semua yang hadir bangkit berdiri lalu mengikuti Pak Soma dengan perasaan ingin tahu.
Bersambung ke Bagian III...
Kisah Sang Mentor (Bagian III - Habis)
Di belakang rumah, dekat dapur, ternyata ada sebuah tangga menurun menuju sebuah ruang bawah tanah, yang ukurannya tidak terlalu besar.
"Ruangan ini dulunya dipakai orang tua saya untuk menyimpan padi, karena beliau petani. Karena saya tidak lagi bertani, maka sekarang saya pakai sebagai ruang kerja", ujar Pak Soma seraya menunjuk ke sudut ruangan. Semua yang hadir melihat betapa di tempat itu terdapat satu set komputer lengkap dengan aksesorisnya, faksimili dan ada juga seperangkat radio komunikasi yang tampak sudah tua. "Saat sekarang saya berhubungan dengan kantor pusat melalui internet yang ada di komputer ini. Tapi dua puluh tahun lalu, ketika internet belum ada, saya gunakan radio SSB itu.."
Wawan dan Hadi termangu sambil berdecak kagum, tapi Bu Soma hanya senyum-senyum saja.
"Nah, kebetulan di ruangan ini ada 4 buah kursi. Silahkan duduk di sini saja. Sekarang saya ingin meneruskan pembicaraan dengan suatu hal yang menurut saya cukup penting", Pak Soma mengangsurkan tangannya untuk mempersilahkan hadirin duduk.
"Saya katakan ini cukup penting, karena berhubungan langsung dengan kalian berdua, Wawan dan Hadi. Saya perlu menekankan bahwa orang berusaha itu perlu memegang etika. Jangan curang, jangan culas. Tidak sombong, jangan pamer kehebatan, kekuasaan dan kekayaan. Itu sebabnya, saya larang Direksi menggunakan mobil mewah, kalau tidak sedang dalam dinas yang betul-betul memerlukan mobil mewah. Kamu lihat Wan, di depan itu ada mobil niaga yang diparkir? Nah, itulah mobil si Hadi sebagai Direksi kalau sedang dalam perjalanan non-dinas resmi seperti sekarang. Saya lihat kamu ke sini mengendarai BMW 720i..", ujar Pak Soma. Yang ditegur hanya tersipu malu.
"Lalu, ingat bahwa kita punya tanggung jawab terhadap lingkungan sosial. Banyak berderma, menyumbang orang miskin. Jangan lupa lingkungan tempat kita berada. Saya sebagai pemilik warung di kampung, telah melakukannya. Kampung ini tertata dengan baik, jalan-jalan beraspal mulus, lingkungan bersih dan asri, fasilitas umum mulai dari sistem irigasi, air bersih untuk minum, WC dan tempat mandi umum, tempat ibadah dan lain sebagainya, semua tersedia. Siapa sangka bahwa semua itu berasal dari sumbangan seorang tua jelek penunggu warung?", kata Pak Soma berseloroh.
"Apa warga kampung mengetahui kalau semua itu dari Bapak?", tanya Wawan dan Hadi hampir serentak.
Pak Soma tertawa kecil. "Tidak. Mereka hanya tahu itu hasil kerja Pak Lurah dan Pak Camat. Saya selama ini menjalin kerja sama dengan pemerintah setempat untuk itu semua. Dan tentu saja minta mereka merahasiakan jati diri saya..hehe.. Itu yang saya maksud dengan tanggung jawab sosial, tapi tidak perlu menjadi sombong dan ingin dipuji saat kita melakukannya".
Hadi dan Wawan mengangguk-angguk tanda setuju.
"Nah, sekarang bagian yang terakhir dan terpenting..", lanjut bos PT Harimau Sakti itu. "Ini sejarah bisnis kamu Wan. Saya 21 tahun lalu sangat terharu tatkala kamu datang ke saya untuk pamit dan menyatakan diri untuk pergi ke kota dan memulai usaha. Saya terharu karena kamu waktu itu masih amat muda belia, baru 19 tahun, tapi semangat kamu sudah menggebu-gebu. Maka saya benar-benar serius memberikan semua yang saya tahu tentang dunia bisnis kepadamu Wan.
Tidak itu saja, ketika kamu berangkat, diam-diam saya menelpon seorang anggota Direksi PT Harimau Sakti untuk mengikuti dan memantau semua yang kamu lakukan di kota. Orang itu adalah atasannya si Hadi dan sekarang sudah pensiun. Namanya Pak Slamet.
Ketika usaha kamu masih kecil, saya minta Pak Slamet untuk datang menjadi salah seorang pelanggan setia kamu. Saya berjaga-jaga kalau-kalau kamu kesulitan di awal usaha, setidaknya kamu masih punya pelanggan setia. Tapi syukur, kamu cukup sukses, pelanggan kamu banyak, sehingga Pak Slamet tidak perlu berperan terlalu aktif. Ia cuma salah seorang pelanggan biasa diantara sekian banyak pelanggan kamu yang lain.
Setelah perusahaan kamu menjadi besar, saya minta salah seorang manajer keuangan kepercayaan saya serta seorang sekretaris, melamar ke kantor kamu berbekal referensi dari salah satu anak perusahaan Harimau Sakti yang saya yakin kamu tidak pernah mendengar namanya. Karena mereka memang piawai, mereka diterima baik di perusahaan kamu Wan, dan sejak itu mereka bekerja menjadi mata-mata saya untuk memantau segala sepak terjang kamu di dunia bisnis. Jangan khawatir Wan, mereka tidak pernah memata-matai urusan pribadi kamu. Maksud saya hanya ingin menjaga agar bisnis kamu tetap berada di jalur yang benar.
Nah, melalui manajer keuangan dan sekretaris itulah, selain menerima informasi mengenai semua sepak terjang bisnis kamu, saya juga selalu menitipkan kiat-kiat usaha kepadamu tanpa kamu pernah menyadari bahwa itu dari saya.."
"Saya juga ingin kamu tidak menjadi pengusaha yang cengeng. Itu sebabnya PT Harimau Sakti selalu membayangi perusahaan kamu di setiap pasar. Di pasar ritel, kamu kalah dari perusahaan si Hadi ini, tapi tetap menang terhadap perusahaan-perusahaan lain.
Demikian juga di sektor korporasi. Di pemerintahan, dari 8 kali tender, kamu kalah 7 kali, tapi saya instruksikan orang-orang saya agar kamu menang di satu kali tender sisanya. Ini untuk membangkitkan semangat dan rasa penasaran kamu Wan. Kalau kamu saya kalahkan total, pasti kamu akan putus asa, sehingga bukannya penasaran, kamu bisa-bisa malah patah arang.."
"Berdasarkan pantauan kami, kamu memang benar-benar pengusaha yang baik, ulet dan penuh tanggung jawab, Wan. Kamu tidak pernah melakukan hal-hal yang aneh-aneh, tidak hura-hura, selalu memikirkan kesejahteraan karyawan dan banyak hal positif lainnya. Sampai sekarang, orang-orang saya tetap memantau kamu, itu sebabnya saya tahu rencana kamu untuk datang ke kampung ini. Maka saya lantas memanggil si Hadi, memberitahukan rencana untuk mengatur pertemuan dengan kamu hari ini.
Hari ini juga saya melihat hal-hal baik dari dirimu, antara lain kamu telah memberitahukan isteri saya tentang rencana kamu untuk membalas budi dengan niat untuk memperbaiki dan merenovasi rumah dan warung saya. Meski mengendarai BMW, saya lihat kamu masih mau mengemudikan mobil sendiri ke kampung tanpa supir dan kencenderungan menjadi bossy. Saya terkesan.."
Suasana hening sejenak..
"Sementara itu, kamu kan tahu Wan, bahwa saya tidak memiliki keturunan. Saya sudah tua dan tidak juga ada salah satu famili saya yang piawai di bidang bisnis modern. Oleh sebab itu, straight to the point, dengan ini saya nyatakan keinginan saya di depan isteri saya dan si Hadi ini, untuk meminta kamu, Darmawan, agar bersedia kiranya menerima tanggung jawab atas perusahaan PT Harimau Sakti.
Dengan demikian, semua saham saya di perusahaan ini menjadi milikmu. Kamu tidak usah risau dengan nasib saya dan isteri, karena saya benar-benar ingin kembali menjadi Soma yang dulu, Soma orang kampung penjaga warung kelontong yang hidup damai serta tenteram beserta seluruh warga kampung lainnya.."
Di detik itu, kepala Wawan terasa berdenyut-denyut dengan keras. Matanya membelalak dan mulutnya ternganga tanpa disadari. Tidak pernah diduganya bahwa hari ini akan terjadi rentetan peristiwa yang sungguh-sungguh aneh dan nyaris tak masuk akal, menyebabkan dirinya terkaget-kaget antara percaya dan tidak. Ia merasa kecil berhadapan dengan bos Harimau Sakti ini, karena selama 21 tahun berkarya, ternyata semua pencapaiannya masih berada di bawah bayang-bayang kebesaran seorang Pak Soma. Atau tepatnya, Citra Sumawidjaya, pendiri sekaligus pemilik kelompok usaha PT Harimau Sakti. Namun demikian, semua pujian yang diberikan tokoh ini pun terasa penuh kejujuran dan ketulusan, sehingga di lain sisi, ia merasa bangga pula dengan dirinya.
Lewat beberapa saat, ia baru bisa menjawab: "Beri waktu saya berfikir, Pak…"
Pak Soma tersenyum. "Tentu saja Wan. Kamu tenang saja, dan tidak perlu jawab sekarang. Kamu fikirkan saja dengan santai, hanya pesan saya, inilah kesempatan kamu untuk berkontribusi lebih banyak lagi kepada masyarakat. Kalau kamu lewatkan, wah.. kamu telah menyia-nyiakan kesempatan berbuat baik yang diberikan Tuhan.."
"Mulai hari ini, saya harap kamu terus berhubungan dengan Hadi, ia akan membantumu memberikan pandangan-pandangan, informasi–informasi dan masukan-masukan yang mungkin kamu butuhkan.." lanjutnya.
"Saya pikir, itu saja yang saya ingin sampaikan. Barangkali ada yang mau ditanyakan? Wawan? Hadi?
Karena keduanya terlihat bimbang lalu menyatakan tidak ada pertanyaan, Pak Soma berkata: "Nah, sekarang sebaiknya kita makan dulu bersama-sama. Sudah hampir waktu ashar.." Tanpa banyak bicara, mereka berempat lantas berpindah ke ruang makan, lalu makan siang bersama. Di sini tampak mereka lebih banyak tenggelam dalam fikirannya masing-masing..
Pertemuan itu bubar setelah sholat ashar. Dalam perjalanan pulang di atas mobilnya, Wawan berfikir: "Hari ini aku mengalami peristiwa yang mengguncangkan. Ternyata di dunia ini ada sosok manusia seperti Pak Soma. Sosok seorang pemimpin yang mampu bekerja untuk orang banyak, tanpa orang banyak perlu tahu tentang dirinya. Di atas itu semua, dialah seorang mentor bisnis paling luar biasa yang pernah aku temukan. Tuhan Maha Besar.." (Selesai).
My personal web: http://pujakesula.blogspot.com or http://endyenblogs.multiply.com/journal Pada suatu siang hari yang teduh, sekitar jam 11, sebuah mobil mewah bermerek BMW jenis 720i warna cerah, meluncur perlahan memasuki kampung. Mobil yang masih baru dan mulus itu tampak kontras dengan suasana sekitar yang memantulkan citra pedalaman yang sederhana. Pengemudinya seorang pria ganteng berusia 40-an tahun, kelihatan mengendarai kendaraannya dengan santai sambil sebentar-sebentar menengok ke kiri dan ke kanan, seakan takjub dengan pemandangan yang baru dilihatnya.
"Hm, kampungku ini sudah berubah, banyak kemajuan. Rumah-rumah penduduk sekarang bagus-bagus dan rapi. Jalanannya beraspal dan mulus. Penduduknya makin ramai dan banyak kegiatan bisnis. Walau begitu, suasananya tetap asri, damai dan tenteram sebagaimana umumnya sebuah kampung di kaki pegunungan.." ia bergumam sendirian. "Ah..tak terasa sudah 20 tahun berlalu..", dan ia menghela nafas panjang.
Setelah berkendara beberapa menit dari mulut kampung, BMW berhenti di depan sebuah rumah yang di bagian samping-depannya difungsikan sebagai warung kelontong. Pria itu tidak langsung turun dari mobilnya, melainkan berpaling memandang ke arah warung tersebut. Suasana sepi-sepi saja, hanya terlihat seorang remaja putri sedang membeli sesuatu, dilayani oleh seorang ibu-ibu tua.
Pikirannya pun menerawang. "Ini rumah Pak Soma. Pemilik warung yang sederhana, namun siapa sangka nasihatnya yang bijak telah membuat aku menjadi pengusaha sukses dan kaya-raya seperti sekarang. Sebagai balas jasa, aku telah berjanji pada diri sendiri bahwa aku akan memperbaiki rumahnya ini serta membangunnya menjadi sebuah rumah besar yang cukup mewah dan lengkap. Dan warungnya akan aku sulap menjadi sebuah mini market agar penghasilan Pak Soma dan isteri dapat meningkat..". Lalu ingatannya berkilas balik jauh ke sebuah peristiwa yang terjadi 21 tahun silam. Ia ingat benar betapa waktu itu ia baru berusia 19 tahun, bertekad mengadu nasib pergi ke kota.
Atas anjuran kedua orang tuanya, ia pamit kepada Pak Soma, seorang tetangga, pada malam sebelum keberangkatannya. Di situlah, entah bagaimana, seorang bapak setengah baya yang sederhana, memberikan berbagai petuah kepadanya tentang kiat-kiat berusaha. Ia sendiri tidak pernah mengerti, bagaimana orang kampung pemilik warung seperti Pak Soma bisa memberikan nasihat-nasihat yang begitu canggih, seakan ialah seorang pengusaha besar di negeri ini. Namun demikian, itulah satu-satunya pegangan yang ia miliki untuk berjuang di perantauan. Ia pun berangkat dengan percaya diri keesokan paginya..
"Ah, tentu beliau sudah tua sekali sekarang..", pikirnya. Ketika ia melihat bahwa remaja putri yang berbelanja sudah selesai, ia buru- buru turun dari mobil. Ia mendekat seraya memandang pada ibu-ibu tua penjaga warung, dan segera tahu siapa yang dipandangnya. "Selamat siang, Bu Soma..", sapanya sopan. Perempuan itu menoleh dan memandang penuh selidik. "Ya..? Siapa..ya..?"
"Saya Bu,.. Darmawan, anak Pak Rusli, tetangga Ibu.. Ibu lupa?"
"Darmawan?..Eh.. Wawan..? Wawan ya?"
"Iya benar Bu Soma. Ini Wawan. Bagaimana kabarnya Bu? Wah, ibu kelihatan sehat sekali.."
Seketika wajah tegang Ibu Soma mengendur. "Oh.. benar kamu Wan? Baru datang..?" Ia langsung menghampiri dengan ramai senyuman, menarik tangan pria ganteng itu sambil berkata: "Ayuk masuk.. wah kamu sudah dewasa sekarang ya! Necis dan ganteng lagi… Syukur.. syukur alhamdulillah.."
"Mari..mari silahkan duduk, Nak. Jangan malu-malu. Rumah ini masih seperti dulu, jadi anggap seperti rumahmu juga..", si Ibu berusaha mencairkan kekakuan.
Pria yang dipanggil Wawan itu masuk ke ruang tamu lalu duduk di sebuah kursi. Percakapan basa-basi berlangsung beberapa saat, sampai akhirnya sang pengusaha sukses bertanya: "Pak Soma ada, Bu? Saya kangen banget sama beliau.." Bu Soma menjawab:" Oh, Bapak masih di masjid, ada urusan di sana. Mungkin 1 jam lagi baru kembali, sehabis sholat dzuhur.."
"Oh ya? Kalau begitu, saya tinggal dulu ya Bu? Mau lihat rumah ibu saya di kampung ini, sudah 20 tahun gak pernah saya lihat lagi rumah itu. Entah seperti apa sekarang..? Nanti jam 2 saya balik lagi ke sini…" Bu Soma tertegun sejenak, tapi segera berkata: " Iya baik Wan. Nanti saya kasih tahu Bapak, biar dia tunggu di sini sampai jam 2.."
Sebelum pergi, Darmawan bercerita pada Bu Soma bahwa ia selama ini merasa sangat berhutang budi pada Pak Soma, karena kesuksesannya sekarang adalah berkat nasihat dan petuah yang diberikan secara serius oleh suami perempuan itu. Dan ia langsung mengutarakan niatnya untuk membalas budi dengan jalan merenovasi total rumah serta warung milik pasangan suami isteri tersebut. Ibu Soma tersenyum lebar mendengar hajat "si Wawan".
Rumah yang dimaksud Wawan sebagai "rumah ibunya" itu hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah Pak Soma. Dalam sekejap ia sudah sampai di sana. Kedua orang tuanya tidak lagi tinggal di situ, karena sudah sejak lama ia ajak ke kota, pindah ke sebuah rumah yang khusus ia bangun. Rumah itu ditunggui oleh adik sepupunya, yang kebetulan sedang duduk-duduk di ruang depan sambil ngobrol dengan beberapa orang tetangga dekat. Bukan main kagetnya mereka ketika mengetahui anggota keluarga yang sudah 20 tahun lebih menghilang, kini muncul begitu saja. Dengan gembira mereka "berkangen-kangenan" sejenak, saling peluk, bersalaman sambil saling tanya, setelah itu Wawan pergi ke belakang membersihkan diri dan segera beristirahat.
Sambil selonjor kaki di sebuah kursi malas, Wawan menerawang kembali. "Semua keluarga dan famili di kampung ini gembira dan bangga bahwasanya aku telah menjadi pengusaha yang sangat sukses. Tapi mereka tidak tahu bahwa aku sendiri masih merasa ada ganjalan di hati. Sesukses-suksesnya aku dan sebesar-besarnya perusahaanku, masih belum apa-apa dibanding dengan perusahaan saingan yang satu itu.." Wawan terbayang akan sebuah nama – nama perusahaan saingannya – PT Harimau Sakti, yang selama ini membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Sebab, setiap bersaing dengan perusahaan ini, pihaknya selalu kalah. Di bidang bisnis ritel, perusahaannya kalah dalam merebut pangsa pasar. Di segmen korporasi, ia juga kalah.
Terakhir, dari 8 kali tender pemerintah, ia hanya berhasil merebut 1 kali kemenangan. Selebihnya, 7 kali tender dimenangkan oleh PT Harimau Sakti. Hal inilah yang selama ini dirasakan bagai duri dalam daging oleh Wawan. Berbagai jurus bisnis dan strategi telah ia jalankan, tapi tidak merubah peta percaturan bisnisnya, ia tetap kalah. "Apa yang salah dengan ku?", demikian pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam otaknya. Lelah berpikir, tanpa disadari akhirnya ia tertidur di kursi malas.
Tepat jam 2 siang, Wawan terkejut dan bangun dari tidur. Melihat jam tangan, ia bergumam sendiri: " Wah, sudah waktunya. Pak Soma pasti sudah menunggu.." Dengan sigap ia sambar kunci mobil dari atas meja, langsung berlari ke luar menuju mobilnya yang diparkir di halaman.
Tanpa membuang waktu lagi, ia masuk ke dalam kabin kemudi, menghidupkan mesin dan seketika itu juga meluncur menuju rumah Pak Soma. "Aku tak ingin pertemuan ini meleset dan mengecewakan bintang penolongku..", katanya dalam hati.
(Bersambung ke bagian II…)
Kisah Sang Mentor (Bagian II)
Sampai di tempat yang dituju, ia heran karena ada sebuah mobil jenis niaga parkir di depan warung. Meski begitu, ia tetap bergegas masuk ke dalam ruang tamu. Di situ ia menjumpai seorang pria sedang duduk menunggu sendirian sambil membalik-balik majalah usang yang memang tersedia di meja. Ketika pria ini menoleh ke arahnya, lagi-lagi Wawan terheran-heran, karena ternyata sang tamu adalah seseorang yang sudah ia kenal. Bahkan, amat sangat kenal, karena dia inilah salah seorang pejabat tinggi dari perusahaan pesaing terberatnya, PT Harimau Sakti. Mereka sudah beberapa kali bertemu ketika mengikuti tender di instansi-instansi pemerintah.
"Hai, Pak Hadi!? Lho kok bisa ada di sini Pak?", Wawan menyapa sambil mengekspresikan keheranannya. Yang disapa segera berdiri menyambut tidak kalah akrabnya: "Halo Pak Darmawan..! Apa kabar, Pak? Saya sudah menunggu Bapak dari setengah jam yang lalu.. Selamat datang dan selamat jumpa Pak!", sambil tertawa ia mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Lho..? Pak Hadi menunggu saya? Ah, Bapak pasti bergurau ya..?", Wawan mencoba tersenyum sambil berkata dalam hati, ada lelucon apa ini?
Namun orang yang dipanggil Pak Hadi itu menjawab dengan serius: "Benar Pak Darmawan. Saya diperintah Pak Citra untuk datang ke mari menunggu Bapak. Katanya ada yang mau dibicarakan dengan beliau.." Bagi Wawan, kalau di dunia ini ada teka-teki yang paling sulit, maka kejadian itu merupakan teka-teki yang lebih sulit lagi untuk ditebak. Tapi seorang petinggi perusahaan sekaliber Hadi tentu tidak akan melecehkan dirinya dengan gurauan yang tidak pada tempatnya. Ia merasa air mukanya menjadi bodoh, lalu bertanya lirih: "Pak Citra itu siapa..?"
"Ini lho, Pak? Yang punya rumah dan warung ini, namanya Pak Citra. Dia bos saya, pendiri sekaligus pemilik perusahaan PT Harimau Sakti..!" Pak Hadi menjelaskan.
"Oh .. eh.. Pak Soma maksud Bapak?", tanya Wawan gugup.
"Iya! Di kampung ini, Pak Citra memang dikenal dengan nama Pak Soma. Tapi di kantor kami beliau dipanggil dengan sebutan Pak Citra. Kan nama lengkap beliau: Citra Sumawidjaya.."
Penjelasan Hadi yang terakhir ini benar-benar membuat limbung Wawan. Bagai ada petir di siang bolong, begitulah yang dirasakan olehnya. Otaknya berputar: "Aku kenal Pak Soma dari kecil. Ia kan cuma seorang warga sederhana dari kampung ini?" Kalau betul Pak Soma itu seperti apa yang dijelaskan oleh Pak Hadi ini, maka sungguh ia akan malu karena seakan-akan telah "pamer kekayaan" dengan berhajat memperbaiki rumah seorang bos besar pemilik perusahaan nasional bertaraf internasional. Dan pantaslah kalau 20 tahun yang lalu, sang pemilik warung itu mampu memberikan petuah-petuahnya yang "sophisticated. Tapi yang betul-betul membuatnya tidak habis pikir, mengapa Pak Soma harus membawakan diri sebagai seorang tua lugu dan sederhana yang hidup di kampung? Dan bagaimana pula caranya dia bisa mengawasi dan mengatur perusahaan dari sebuah kampung yang jauh dan terpencil ini?
Belum selesai rasa terkejut dan tidak percaya yang meledak di benak Wawan, tiba-tiba terdengar suara salam: "Assalamualaikum.." dari dalam rumah dan sesosok bayangan menerobos masuk ruang tamu. Ternyata ialah Pak Soma, atau Pak Citra Sumawidjaya. "Alaikum salam..", hampir serentak Wawan dan Hadi menjawab sekaligus menghampiri serta menjabat tangan tokoh yang sudah sangat senior ini. Wawan bahkan sampai mencium tangan serta memeluk Pak Soma-nya itu sambil setengah membungkuk, tanda rasa hormat yang sangat dalam.
Untuk beberapa menit terjadi basa-basi di antara mereka, sebelum kemudian Pak Soma mempersilahkan tamu-tamunya untuk duduk. Ibu Soma pun lantas bergabung dengan mereka. Tuan rumah tersenyum ramah lalu berkata: "Pertama-tama saya ingin mohon maaf sebesar-besarnya pada Wawan, yang saat ini pasti dilanda kebingungan. Iya kan Wan?". Semua yang hadir tertawa dan Wawan pun mau tidak mau juga tertawa tersipu-sipu. "Benar Pak Soma. Saya bingung dan tolong jelaskan semua ini.." ujarnya.
"Baik..baik. Langsung saja saya ceritakan semua.. Saya orang asli kampung ini. Hanya saja, karena kedua orang tua saya meninggal pada saat saya masih muda, maka saya putuskan untuk pergi merantau ke kota bersama istri. Waktu itu saya baru berusia 20 tahun, sedangkan kamu belum ada, Wan", Pak Soma mengawali ceritanya. "Rumah ini kami titipkan pada seorang saudara, dan pergi dengan bekal sekadarnya saja."
"Di kota kami numpang tinggal di rumah seorang teman dari orang tua saya selama kira-kira dua tahun untuk memulai usaha. Syukur bahwa Tuhan memberkahi usaha kami sehingga dalam waktu 10 tahun, usaha tersebut berkembang pesat sekali. Kami tidak saja mampu membangun rumah besar untuk tempat tinggal, tapi bahkan bisa membangun 2 buah perusahaan sekaligus dalam kurun waktu itu. Tahun-tahun selanjutnya bahkan merupakan rangkaian kesuksesan, sehingga terbentuklah sebuah kelompok usaha PT Harimau Sakti seperti yang sudah kamu tahu, Wan..", kata Pak Soma sambil menoleh ke arah Darmawan.
"Pada tahun ke 16 perantauan kami di kota, saya putuskan untuk mengangkat sebuah Dewan Direksi yang akan mengelola perusahaan secara langsung, lalu kami kembali ke kampung ini. Saya ingat benar, kamu waktu itu kamu baru berusia 9 tahun, Wawan.."
"Ya, samar-samar saya ingat kejadian itu Pak..", kata Darmawan lirih. "Tapi, sebetulnya apa penyebabnya sampai Bapak memutuskan kembali ke kampung, padahal waktu itu perusahaan Bapak sedang maju- majunya?"
"Kamu tahu Wan. Saya ini orang kampung dan semula merantau ke kota karena terpaksa. Ternyata, suasana pergaulan bisnis di kota amat berbeda dengan kehidupan di kampung. Saya merasakan, lingkungan bisnis di kota itu tidak nyaman, orang berhubungan satu sama lain dengan senyum palsu, tiada ketulusan, tampak akrab tapi sebenarnya mencari kesempatan untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Sahabat hanya ada pada saat kita jaya, menghilang pada saat kita susah. Segala sesuatu diukur dengan uang. Kalau tiada uang, maka tidak ada senyum, tidak ada pula sahabat. Itulah dunia bisnis di kota."
Sampai di situ nada suara Pak Soma agak meninggi. Lalu ia melanjutkan. "Lain halnya dengan di kampung. Di sini, persahabatan dilaksanakan secara murni. Basisnya persaudaraan semata. Tiada pamrih, tiada intrik dan tiada provokasi yang disebabkan uang. Suasana tenang, damai dan tenteram. Saya tidak bisa lari dari kenikmatan kampung seperti ini. Oleh karenanya, begitu usaha saya mapan, saya putuskan kembali ke sini. Semua urusan usaha saya percayakan pada Direksi.
Salah satu dari anggota Direksi itu, ya si Hadi ini..", kata Pak Soma sambil menoleh ke Pak Hadi. Yang disebut terakhir ini tersenyum.
"Lantas bagaimana cara Bapak sebagai pemilik, memantau kinerja perusahaan itu Pak?. Kampung ini kan sangat jauh dari kota? Dan mengapa pula Bapak harus terus menerus menyamar, membawakan diri sebagai penjaga warung sederhana selama bertahun-tahun?" Wawan bertanya.
"Sudah saya katakan bahwa saya sangat menikmati suasana kampung yang damai dan tenteram ini. Saya tidak mau kehilangan itu. Kalau saya kembali ke sini dan berubah menjadi orang kaya raya, maka pasti pandangan orang-orang sekitar jadi berubah pula. Mereka akan berkata, Pak Soma sekarang bukan Pak Soma yang dulu lagi. Pak Soma sekarang ini bau duit. Lantas, orang-orang akan memasang senyum palsu saat berjumpa dengan saya dan memperlakukan saya dengan cara yang berbeda. Nah itulah yang akan merusak suasana. Bisa-bisa budaya kota yang materialistis dan penuh kepalsuan akan pindah ke sini. Itu yang tidak saya kehendaki. Maka sebisa mungkin saya berusaha untuk tetap menjadi Pak Soma yang dulu.."
"Tentang bagaimana saya mengontrol perusahaan? Kamu kan sudah tahu, bahwa sebuah perusahaan yang sudah mapan, akan tidak memerlukan lagi kehadiran pemiliknya. Semuanya sudah berjalan berdasarkan sistem yang baku. Juga ada Dewan Direksi berikut stafnya yang terdiri dari para manajer yang akan mengelola operasional harian. Paling sering saya hanya akan datang ke kantor sekitar 1 atau 2 bulan sekali, saat di mana saya pamit dengan tetangga untuk belanja barang dagangan warung saya..hehe..", Pak Soma memberi penjelasan sambil tertawa.
"Memang di samping itu, saya tetap berusaha berkomunikasi secara intensif dengan si Hadi ini di kota. Caranya? Mari ikut saya, saya akan tunjukkan", ajak sang tuan rumah. Semua yang hadir bangkit berdiri lalu mengikuti Pak Soma dengan perasaan ingin tahu.
Bersambung ke Bagian III...
Kisah Sang Mentor (Bagian III - Habis)
Di belakang rumah, dekat dapur, ternyata ada sebuah tangga menurun menuju sebuah ruang bawah tanah, yang ukurannya tidak terlalu besar.
"Ruangan ini dulunya dipakai orang tua saya untuk menyimpan padi, karena beliau petani. Karena saya tidak lagi bertani, maka sekarang saya pakai sebagai ruang kerja", ujar Pak Soma seraya menunjuk ke sudut ruangan. Semua yang hadir melihat betapa di tempat itu terdapat satu set komputer lengkap dengan aksesorisnya, faksimili dan ada juga seperangkat radio komunikasi yang tampak sudah tua. "Saat sekarang saya berhubungan dengan kantor pusat melalui internet yang ada di komputer ini. Tapi dua puluh tahun lalu, ketika internet belum ada, saya gunakan radio SSB itu.."
Wawan dan Hadi termangu sambil berdecak kagum, tapi Bu Soma hanya senyum-senyum saja.
"Nah, kebetulan di ruangan ini ada 4 buah kursi. Silahkan duduk di sini saja. Sekarang saya ingin meneruskan pembicaraan dengan suatu hal yang menurut saya cukup penting", Pak Soma mengangsurkan tangannya untuk mempersilahkan hadirin duduk.
"Saya katakan ini cukup penting, karena berhubungan langsung dengan kalian berdua, Wawan dan Hadi. Saya perlu menekankan bahwa orang berusaha itu perlu memegang etika. Jangan curang, jangan culas. Tidak sombong, jangan pamer kehebatan, kekuasaan dan kekayaan. Itu sebabnya, saya larang Direksi menggunakan mobil mewah, kalau tidak sedang dalam dinas yang betul-betul memerlukan mobil mewah. Kamu lihat Wan, di depan itu ada mobil niaga yang diparkir? Nah, itulah mobil si Hadi sebagai Direksi kalau sedang dalam perjalanan non-dinas resmi seperti sekarang. Saya lihat kamu ke sini mengendarai BMW 720i..", ujar Pak Soma. Yang ditegur hanya tersipu malu.
"Lalu, ingat bahwa kita punya tanggung jawab terhadap lingkungan sosial. Banyak berderma, menyumbang orang miskin. Jangan lupa lingkungan tempat kita berada. Saya sebagai pemilik warung di kampung, telah melakukannya. Kampung ini tertata dengan baik, jalan-jalan beraspal mulus, lingkungan bersih dan asri, fasilitas umum mulai dari sistem irigasi, air bersih untuk minum, WC dan tempat mandi umum, tempat ibadah dan lain sebagainya, semua tersedia. Siapa sangka bahwa semua itu berasal dari sumbangan seorang tua jelek penunggu warung?", kata Pak Soma berseloroh.
"Apa warga kampung mengetahui kalau semua itu dari Bapak?", tanya Wawan dan Hadi hampir serentak.
Pak Soma tertawa kecil. "Tidak. Mereka hanya tahu itu hasil kerja Pak Lurah dan Pak Camat. Saya selama ini menjalin kerja sama dengan pemerintah setempat untuk itu semua. Dan tentu saja minta mereka merahasiakan jati diri saya..hehe.. Itu yang saya maksud dengan tanggung jawab sosial, tapi tidak perlu menjadi sombong dan ingin dipuji saat kita melakukannya".
Hadi dan Wawan mengangguk-angguk tanda setuju.
"Nah, sekarang bagian yang terakhir dan terpenting..", lanjut bos PT Harimau Sakti itu. "Ini sejarah bisnis kamu Wan. Saya 21 tahun lalu sangat terharu tatkala kamu datang ke saya untuk pamit dan menyatakan diri untuk pergi ke kota dan memulai usaha. Saya terharu karena kamu waktu itu masih amat muda belia, baru 19 tahun, tapi semangat kamu sudah menggebu-gebu. Maka saya benar-benar serius memberikan semua yang saya tahu tentang dunia bisnis kepadamu Wan.
Tidak itu saja, ketika kamu berangkat, diam-diam saya menelpon seorang anggota Direksi PT Harimau Sakti untuk mengikuti dan memantau semua yang kamu lakukan di kota. Orang itu adalah atasannya si Hadi dan sekarang sudah pensiun. Namanya Pak Slamet.
Ketika usaha kamu masih kecil, saya minta Pak Slamet untuk datang menjadi salah seorang pelanggan setia kamu. Saya berjaga-jaga kalau-kalau kamu kesulitan di awal usaha, setidaknya kamu masih punya pelanggan setia. Tapi syukur, kamu cukup sukses, pelanggan kamu banyak, sehingga Pak Slamet tidak perlu berperan terlalu aktif. Ia cuma salah seorang pelanggan biasa diantara sekian banyak pelanggan kamu yang lain.
Setelah perusahaan kamu menjadi besar, saya minta salah seorang manajer keuangan kepercayaan saya serta seorang sekretaris, melamar ke kantor kamu berbekal referensi dari salah satu anak perusahaan Harimau Sakti yang saya yakin kamu tidak pernah mendengar namanya. Karena mereka memang piawai, mereka diterima baik di perusahaan kamu Wan, dan sejak itu mereka bekerja menjadi mata-mata saya untuk memantau segala sepak terjang kamu di dunia bisnis. Jangan khawatir Wan, mereka tidak pernah memata-matai urusan pribadi kamu. Maksud saya hanya ingin menjaga agar bisnis kamu tetap berada di jalur yang benar.
Nah, melalui manajer keuangan dan sekretaris itulah, selain menerima informasi mengenai semua sepak terjang bisnis kamu, saya juga selalu menitipkan kiat-kiat usaha kepadamu tanpa kamu pernah menyadari bahwa itu dari saya.."
"Saya juga ingin kamu tidak menjadi pengusaha yang cengeng. Itu sebabnya PT Harimau Sakti selalu membayangi perusahaan kamu di setiap pasar. Di pasar ritel, kamu kalah dari perusahaan si Hadi ini, tapi tetap menang terhadap perusahaan-perusahaan lain.
Demikian juga di sektor korporasi. Di pemerintahan, dari 8 kali tender, kamu kalah 7 kali, tapi saya instruksikan orang-orang saya agar kamu menang di satu kali tender sisanya. Ini untuk membangkitkan semangat dan rasa penasaran kamu Wan. Kalau kamu saya kalahkan total, pasti kamu akan putus asa, sehingga bukannya penasaran, kamu bisa-bisa malah patah arang.."
"Berdasarkan pantauan kami, kamu memang benar-benar pengusaha yang baik, ulet dan penuh tanggung jawab, Wan. Kamu tidak pernah melakukan hal-hal yang aneh-aneh, tidak hura-hura, selalu memikirkan kesejahteraan karyawan dan banyak hal positif lainnya. Sampai sekarang, orang-orang saya tetap memantau kamu, itu sebabnya saya tahu rencana kamu untuk datang ke kampung ini. Maka saya lantas memanggil si Hadi, memberitahukan rencana untuk mengatur pertemuan dengan kamu hari ini.
Hari ini juga saya melihat hal-hal baik dari dirimu, antara lain kamu telah memberitahukan isteri saya tentang rencana kamu untuk membalas budi dengan niat untuk memperbaiki dan merenovasi rumah dan warung saya. Meski mengendarai BMW, saya lihat kamu masih mau mengemudikan mobil sendiri ke kampung tanpa supir dan kencenderungan menjadi bossy. Saya terkesan.."
Suasana hening sejenak..
"Sementara itu, kamu kan tahu Wan, bahwa saya tidak memiliki keturunan. Saya sudah tua dan tidak juga ada salah satu famili saya yang piawai di bidang bisnis modern. Oleh sebab itu, straight to the point, dengan ini saya nyatakan keinginan saya di depan isteri saya dan si Hadi ini, untuk meminta kamu, Darmawan, agar bersedia kiranya menerima tanggung jawab atas perusahaan PT Harimau Sakti.
Dengan demikian, semua saham saya di perusahaan ini menjadi milikmu. Kamu tidak usah risau dengan nasib saya dan isteri, karena saya benar-benar ingin kembali menjadi Soma yang dulu, Soma orang kampung penjaga warung kelontong yang hidup damai serta tenteram beserta seluruh warga kampung lainnya.."
Di detik itu, kepala Wawan terasa berdenyut-denyut dengan keras. Matanya membelalak dan mulutnya ternganga tanpa disadari. Tidak pernah diduganya bahwa hari ini akan terjadi rentetan peristiwa yang sungguh-sungguh aneh dan nyaris tak masuk akal, menyebabkan dirinya terkaget-kaget antara percaya dan tidak. Ia merasa kecil berhadapan dengan bos Harimau Sakti ini, karena selama 21 tahun berkarya, ternyata semua pencapaiannya masih berada di bawah bayang-bayang kebesaran seorang Pak Soma. Atau tepatnya, Citra Sumawidjaya, pendiri sekaligus pemilik kelompok usaha PT Harimau Sakti. Namun demikian, semua pujian yang diberikan tokoh ini pun terasa penuh kejujuran dan ketulusan, sehingga di lain sisi, ia merasa bangga pula dengan dirinya.
Lewat beberapa saat, ia baru bisa menjawab: "Beri waktu saya berfikir, Pak…"
Pak Soma tersenyum. "Tentu saja Wan. Kamu tenang saja, dan tidak perlu jawab sekarang. Kamu fikirkan saja dengan santai, hanya pesan saya, inilah kesempatan kamu untuk berkontribusi lebih banyak lagi kepada masyarakat. Kalau kamu lewatkan, wah.. kamu telah menyia-nyiakan kesempatan berbuat baik yang diberikan Tuhan.."
"Mulai hari ini, saya harap kamu terus berhubungan dengan Hadi, ia akan membantumu memberikan pandangan-pandangan, informasi–informasi dan masukan-masukan yang mungkin kamu butuhkan.." lanjutnya.
"Saya pikir, itu saja yang saya ingin sampaikan. Barangkali ada yang mau ditanyakan? Wawan? Hadi?
Karena keduanya terlihat bimbang lalu menyatakan tidak ada pertanyaan, Pak Soma berkata: "Nah, sekarang sebaiknya kita makan dulu bersama-sama. Sudah hampir waktu ashar.." Tanpa banyak bicara, mereka berempat lantas berpindah ke ruang makan, lalu makan siang bersama. Di sini tampak mereka lebih banyak tenggelam dalam fikirannya masing-masing..
Pertemuan itu bubar setelah sholat ashar. Dalam perjalanan pulang di atas mobilnya, Wawan berfikir: "Hari ini aku mengalami peristiwa yang mengguncangkan. Ternyata di dunia ini ada sosok manusia seperti Pak Soma. Sosok seorang pemimpin yang mampu bekerja untuk orang banyak, tanpa orang banyak perlu tahu tentang dirinya. Di atas itu semua, dialah seorang mentor bisnis paling luar biasa yang pernah aku temukan. Tuhan Maha Besar.." (Selesai).
Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
No comments:
Post a Comment