Oleh
Prof.Dr.Abdullah al-Muslih, Prof.Dr.Shalah ash-Shawi
http://www.almanhaj .or.id/index. php?action= more&article_ id=1671&bagian= 0
Ketika melakukan sebuah perjanjian usaha terkadang perjanjian itu diselimuti
beberapa cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau
menjadikan perjanjian itu tidak memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka pada
saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan, perjanjian. Gambaran cacat
itu dapat dipaparkan sebagai berikut:
PERTAMA : INTIMIDASI
Yakni mengintimidasi pihak lain untuk melakukan ucapan atau perbuatan yang
tidak disukainya dengan gertakan dan ancaman.
Intimidasi itu terbukti dengan hal-hal berikut:
1. Pihak yang mengintimidasi hendaknya mampu melaksanakan ancamannya.
2. Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan
dilaksanakan terhadapnya.
3. Kalau salah satu dari dua hal ini apalagi kedua-duanya tidak ada, maka
intimidasi itu dianggap main-main, tidak berpengaruh sama sekali.
Intimidasi itu sendiri ada dua macam: Intimidasi fungsional dan non
fungsional.
Intimidasi fungsional adalah intimidasi yang dapat merusak kerelaan dan hak
pilih. Dalam hal ini, pihak yang diintimidasi menjadi alat di tangan
intimidator. Intimidasi ini biasanya dilakukan dengan ancaman bunuh, ancaman
membuat cacat anggota tubuh atau pemukulan sadis yang dikhawatirkan
membahayakan jiwa, membikin cacat atau melenyapkan seluruh harta.
Adapun intimidasi non fungsional adalah intimidasi yang merusak kerelaan
namun tidak merusak hak pilih dan ini bisa dengan ancaman yang lebih rendah
dan ancaman yang digunakan di atas seperti ancaman dengan pukulan yang tidak
membinasakan jiwa atau anggota badan atau ancaman dengan dilenyapkan
sebagian harta.
Adapun apabila gangguan itu ringan dan tidak perlu dipedulikan, maka tidak
ada pengaruhnya sama sekali, bahkan tidak dianggap sebaga intimidasi sama
sekali. Barometer untuk membedakan antara gangguan yang tidak perlu
dipedulikan dengan gangguan yang akan meningkat menjadi intimidasi adalah
keputusan hakim. Karena tidak ada batasan yang tidak bisa dikurangi atau
dilebihi. Sementara membuat batasan dengan akal jelas tidak mungkin. Maka
keputusannya dikembalikan kepada hakim, karena bisa berbeda-beda tergantung
pula dengan kondisi manusia. Ada orang yang tidak merasa terancam kecuali
bila dipukul dengan keras atau dipenjara dalam waktu lama. Namun ada yang
merasa terancam hanya dengan gertakan.
Para ahli fiqih telah bersepakat bahwa berbagai kegiatan finansial yang
didasari oleh suka sama suka, seperti jual beli dan sejenisnya tidak
dianggap sah bila dilakukan di bawah intimidasi. Namun apakah semua kegiatan
itu dibolehkan setelah hilangnya intimidasi atau tidak? Yakni apabila muncul
kerelaan setelah sebelumnya diintimidasi, apakah bisa dibenarkan atau tidak?
Ada perbedaan pendapat di kalangan alim ulama. Mayoritas ulama melarangnya,
sementara Abu Hanifah membolehkannya.
KEDUA : KEKELIRUAN.
Cacat ini berkaitan dengan objek perjanjian usaha tertentu. Yakni dengan
menggambarkan objek perjanjian dengan satu gambaran tertentu, ternyata yang
tampak berkebalikan. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata
dibuat dari kaca. Atau orang yang membeli pakaian dari sutera, ternyata
hanya dibuat dari katun.
Tidak diragukan lagi bahwa kekeliruan semacam ini tentu saja akan
mempengaruhi keridhaan, karena faktor perbedaan antara kenyataan dengan hal
yang diperkirakan sebelumnya yang seharusnya disenanginya. Bahkan bisa jadi
urusannya akan berkembang sehingga perjanjian usaha menjadi gagal total
karena objek perjanjian yang hilang. Seperti dua orang yang melakukan
perjanjian dalam jual beli emas, ternyata pembeli mendapatkan barang
beliannya hanya berupa tembaga. Karena objek perjanjian, yakni emas, tidak
ada, maka perjanjian jual beli tersebut gagal karena objek hilang dari
perjanjian.
Kekeliruan itu sendiri ada dua macam:
1. Kekeliruan yang berkonsekuensi batalnya perjanjian yang dilakukan, yakni
yang perbedaannya kembali kepada perbedaan jenis objek perjanjian, atau
perbedaan menyolok pada fasilitas yang menjadi objek, seperti perbedaan
antara emas dengan tembaga, atau antara hewan sembelihan dengan bangkai pada
perjanjian jual beli daging.
2. Kekeliruan yang bukan pada perbedaan jenis atau perbedaan fasilitas yang
menyolok, seperti orang yang membeli hewan jantan, ternyata hewannya betina,
atau sebaliknya. Kekeliruan ini tidaklah membatalkan perjanjian tersebut,
akan tetapi pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkannya.
KETIGA : GHUBN (PENYAMARAN HARGA BARANG)
Ghubn secara bahasa artinya adalah pengurangan. Dalam terminologi ilmu
fiqih, artinya adalah pengurangan pada salah satu alat kompensasi, atau
barter antara dua alat kompensasi dianggap tidak adil karena tidak sama
antara yang diberi dengan yang diterima. Seperti orang yang menjual rumah
seharga sepuluh juta padahal hartanya hanya delapan juta. Dari pihak orang
yang melakukan penyamaran harga, berarti memindahkan kepemilikan barang
dengan kompensasi lebih dari harga barang. Sementara dari pihak yang menjadi
korban penyamaran harga barang, memiliki barang dengan harga lebih mahal
dari harga sesungguhnya barang tersebut.
Penyamaran harga barang itu sendiri menurut kalangan ahli fiqih ada dua
macam : Penyamaran berat dan penyamaran ringan.
Penyamaran Ringan : Yakni penyamaran pada harga barang yang tidak sampai
mengeluarkannya dari harga pasaran, yakni harga yang diperkirakan oleh
orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan. Kegiatan pasar hampir
tidak bisa diselamatkan dari jenis penyamaran harga ringan semacam ini.
Dalam semua jenis perjanjian usaha, penyamaran harga barang semacam itu
dapat dimaklumi, tidak ada pengaruh apa-apa.
Penyamaran Berat Yakni yang sampai mengeluarkan barang dari harga
pasarannya. Penyamaran harga barang semacam ini tentu saja membatalkan
perjanjian yang subjeknya adalah sebagai harta waqaf atau harta orang yang
dicekal, atau harta Baitul Mal, karena pengoperasian harta-harta semacam ini
harus berada dalam lingkaran kemaslahatan harta tersebut.
Adapun dalam perjanjian-perjanji an usaha lain, masih diperselisihkan
pengaruh penyamaran berat ini terhadapnya. Ada tiga pendapat yang popular :
1. Penyamaran harga semacam itu tidak ada pengaruhnya sama sekali, demi
menjaga kepentingan berlangsungnya perjanjian usaha yang dilakukan dan
menjaganya agar tidak batal. Karena orang yang menjadi korban penyamaran
harga barang itu tidak lepas dari sikap teledor dan terburu-buru. Untuk itu
ia juga harus menanggung akibat perbuatannya itu.
2. Orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu berhak membatalkan
perjanjian, untuk melepaskan sikap semena-mena terhadap dirinya.
3. Penyamaran harga barang ini bisa dimasukkan hitungan bila tujuannya
adalah penipuan dari satu pihak, pihak yang menjadi korban berhak
membatalkannya. Kalau tidak dengan niat menipu pembeli, maka tidak ada
pengaruh apa-apa. Kemungkinan inilah pendapat yang paling pas dari semua
pendapat di atas. Wallahu A'lam.
Barometer pembedaan antaran penyamaran ringan dengan berat adalah kebiasaan.
Karena tidak ada batasan paten dalam persoalan ini. Adapun berbagai riwayat
tentang perkiraan batasan penyamaran harga yang diambil dari sebagian ahli
fiqih tidak dianggap sebagai ajaran syariat yang permanen. Namun semua itu
didasari oleh kebiasaan yang tersebar pada masing-masing zaman mereka.
[Disalin dari buku Ma La Yasa'ut Tajiru Jahluhu, edisi Indonesia Fikih
Ekonomi Keuangan Islam oleh Prof.Dr.Abdullah al-Muslih dan Prof.Dr.Shalah
ash-Shawi, Penerjemah Abu Umar Basyir, Penerbit Darul Haq, Jakarta
hal.52-56]
My personal web: http://pujakesula.blogspot.com or http://endyenblogs.multiply.com/journal Prof.Dr.Abdullah al-Muslih, Prof.Dr.Shalah ash-Shawi
http://www.almanhaj .or.id/index. php?action= more&article_ id=1671&bagian= 0
Ketika melakukan sebuah perjanjian usaha terkadang perjanjian itu diselimuti
beberapa cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau
menjadikan perjanjian itu tidak memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka pada
saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan, perjanjian. Gambaran cacat
itu dapat dipaparkan sebagai berikut:
PERTAMA : INTIMIDASI
Yakni mengintimidasi pihak lain untuk melakukan ucapan atau perbuatan yang
tidak disukainya dengan gertakan dan ancaman.
Intimidasi itu terbukti dengan hal-hal berikut:
1. Pihak yang mengintimidasi hendaknya mampu melaksanakan ancamannya.
2. Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan
dilaksanakan terhadapnya.
3. Kalau salah satu dari dua hal ini apalagi kedua-duanya tidak ada, maka
intimidasi itu dianggap main-main, tidak berpengaruh sama sekali.
Intimidasi itu sendiri ada dua macam: Intimidasi fungsional dan non
fungsional.
Intimidasi fungsional adalah intimidasi yang dapat merusak kerelaan dan hak
pilih. Dalam hal ini, pihak yang diintimidasi menjadi alat di tangan
intimidator. Intimidasi ini biasanya dilakukan dengan ancaman bunuh, ancaman
membuat cacat anggota tubuh atau pemukulan sadis yang dikhawatirkan
membahayakan jiwa, membikin cacat atau melenyapkan seluruh harta.
Adapun intimidasi non fungsional adalah intimidasi yang merusak kerelaan
namun tidak merusak hak pilih dan ini bisa dengan ancaman yang lebih rendah
dan ancaman yang digunakan di atas seperti ancaman dengan pukulan yang tidak
membinasakan jiwa atau anggota badan atau ancaman dengan dilenyapkan
sebagian harta.
Adapun apabila gangguan itu ringan dan tidak perlu dipedulikan, maka tidak
ada pengaruhnya sama sekali, bahkan tidak dianggap sebaga intimidasi sama
sekali. Barometer untuk membedakan antara gangguan yang tidak perlu
dipedulikan dengan gangguan yang akan meningkat menjadi intimidasi adalah
keputusan hakim. Karena tidak ada batasan yang tidak bisa dikurangi atau
dilebihi. Sementara membuat batasan dengan akal jelas tidak mungkin. Maka
keputusannya dikembalikan kepada hakim, karena bisa berbeda-beda tergantung
pula dengan kondisi manusia. Ada orang yang tidak merasa terancam kecuali
bila dipukul dengan keras atau dipenjara dalam waktu lama. Namun ada yang
merasa terancam hanya dengan gertakan.
Para ahli fiqih telah bersepakat bahwa berbagai kegiatan finansial yang
didasari oleh suka sama suka, seperti jual beli dan sejenisnya tidak
dianggap sah bila dilakukan di bawah intimidasi. Namun apakah semua kegiatan
itu dibolehkan setelah hilangnya intimidasi atau tidak? Yakni apabila muncul
kerelaan setelah sebelumnya diintimidasi, apakah bisa dibenarkan atau tidak?
Ada perbedaan pendapat di kalangan alim ulama. Mayoritas ulama melarangnya,
sementara Abu Hanifah membolehkannya.
KEDUA : KEKELIRUAN.
Cacat ini berkaitan dengan objek perjanjian usaha tertentu. Yakni dengan
menggambarkan objek perjanjian dengan satu gambaran tertentu, ternyata yang
tampak berkebalikan. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata
dibuat dari kaca. Atau orang yang membeli pakaian dari sutera, ternyata
hanya dibuat dari katun.
Tidak diragukan lagi bahwa kekeliruan semacam ini tentu saja akan
mempengaruhi keridhaan, karena faktor perbedaan antara kenyataan dengan hal
yang diperkirakan sebelumnya yang seharusnya disenanginya. Bahkan bisa jadi
urusannya akan berkembang sehingga perjanjian usaha menjadi gagal total
karena objek perjanjian yang hilang. Seperti dua orang yang melakukan
perjanjian dalam jual beli emas, ternyata pembeli mendapatkan barang
beliannya hanya berupa tembaga. Karena objek perjanjian, yakni emas, tidak
ada, maka perjanjian jual beli tersebut gagal karena objek hilang dari
perjanjian.
Kekeliruan itu sendiri ada dua macam:
1. Kekeliruan yang berkonsekuensi batalnya perjanjian yang dilakukan, yakni
yang perbedaannya kembali kepada perbedaan jenis objek perjanjian, atau
perbedaan menyolok pada fasilitas yang menjadi objek, seperti perbedaan
antara emas dengan tembaga, atau antara hewan sembelihan dengan bangkai pada
perjanjian jual beli daging.
2. Kekeliruan yang bukan pada perbedaan jenis atau perbedaan fasilitas yang
menyolok, seperti orang yang membeli hewan jantan, ternyata hewannya betina,
atau sebaliknya. Kekeliruan ini tidaklah membatalkan perjanjian tersebut,
akan tetapi pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkannya.
KETIGA : GHUBN (PENYAMARAN HARGA BARANG)
Ghubn secara bahasa artinya adalah pengurangan. Dalam terminologi ilmu
fiqih, artinya adalah pengurangan pada salah satu alat kompensasi, atau
barter antara dua alat kompensasi dianggap tidak adil karena tidak sama
antara yang diberi dengan yang diterima. Seperti orang yang menjual rumah
seharga sepuluh juta padahal hartanya hanya delapan juta. Dari pihak orang
yang melakukan penyamaran harga, berarti memindahkan kepemilikan barang
dengan kompensasi lebih dari harga barang. Sementara dari pihak yang menjadi
korban penyamaran harga barang, memiliki barang dengan harga lebih mahal
dari harga sesungguhnya barang tersebut.
Penyamaran harga barang itu sendiri menurut kalangan ahli fiqih ada dua
macam : Penyamaran berat dan penyamaran ringan.
Penyamaran Ringan : Yakni penyamaran pada harga barang yang tidak sampai
mengeluarkannya dari harga pasaran, yakni harga yang diperkirakan oleh
orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan. Kegiatan pasar hampir
tidak bisa diselamatkan dari jenis penyamaran harga ringan semacam ini.
Dalam semua jenis perjanjian usaha, penyamaran harga barang semacam itu
dapat dimaklumi, tidak ada pengaruh apa-apa.
Penyamaran Berat Yakni yang sampai mengeluarkan barang dari harga
pasarannya. Penyamaran harga barang semacam ini tentu saja membatalkan
perjanjian yang subjeknya adalah sebagai harta waqaf atau harta orang yang
dicekal, atau harta Baitul Mal, karena pengoperasian harta-harta semacam ini
harus berada dalam lingkaran kemaslahatan harta tersebut.
Adapun dalam perjanjian-perjanji an usaha lain, masih diperselisihkan
pengaruh penyamaran berat ini terhadapnya. Ada tiga pendapat yang popular :
1. Penyamaran harga semacam itu tidak ada pengaruhnya sama sekali, demi
menjaga kepentingan berlangsungnya perjanjian usaha yang dilakukan dan
menjaganya agar tidak batal. Karena orang yang menjadi korban penyamaran
harga barang itu tidak lepas dari sikap teledor dan terburu-buru. Untuk itu
ia juga harus menanggung akibat perbuatannya itu.
2. Orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu berhak membatalkan
perjanjian, untuk melepaskan sikap semena-mena terhadap dirinya.
3. Penyamaran harga barang ini bisa dimasukkan hitungan bila tujuannya
adalah penipuan dari satu pihak, pihak yang menjadi korban berhak
membatalkannya. Kalau tidak dengan niat menipu pembeli, maka tidak ada
pengaruh apa-apa. Kemungkinan inilah pendapat yang paling pas dari semua
pendapat di atas. Wallahu A'lam.
Barometer pembedaan antaran penyamaran ringan dengan berat adalah kebiasaan.
Karena tidak ada batasan paten dalam persoalan ini. Adapun berbagai riwayat
tentang perkiraan batasan penyamaran harga yang diambil dari sebagian ahli
fiqih tidak dianggap sebagai ajaran syariat yang permanen. Namun semua itu
didasari oleh kebiasaan yang tersebar pada masing-masing zaman mereka.
[Disalin dari buku Ma La Yasa'ut Tajiru Jahluhu, edisi Indonesia Fikih
Ekonomi Keuangan Islam oleh Prof.Dr.Abdullah al-Muslih dan Prof.Dr.Shalah
ash-Shawi, Penerjemah Abu Umar Basyir, Penerbit Darul Haq, Jakarta
hal.52-56]
Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.
No comments:
Post a Comment