Wednesday, December 12, 2007

Tren nikah antar TKW hongkong

Lengkap dengan Penghulu, Kembang Mayang, dan Temu Manten Pusat bisnis di Tai Po, Hongkong, semakin populer di kalangan WNI. Selain banyak toko Indonesia yang menyediakan barang-barang dari tanah air, tempat itu kini menjadi tempat prosesi "nikah" antar-TKW. Berikut laporan DWI SHINTIA IRIANTI yang baru pulang dari sana.NAMA Tai Po sebetulnya merujuk ke sebuah pasar tradisional di kawasan New Territories yang banyak dihuni orang-orang dari suku Hakka. Namun, kini wilayah itu berkembang menjadi pusat bisnis yang ramai.
Saat Jawa Pos berkunjung ke sana pekan lalu, Tai Po sudah tak berbeda dari kawasan perdagangan lain di bekas koloni Inggris itu. Toko-toko saling berdempetan. Kotak neon dan papan nama berhuruf Mandarin atau Kanton melekat di berbagai sudut. Salah satu yang terkenal di sana adalah Toko Abadi dan Toko Karunia. Sesuai namanya, toko tersebut menjual kebutuhan para buruh migran Indonesia (BMI) yang dikirim dari Indonesia. Misalnya, mi instan, perlengkapan mandi, serta berbagai kebutuhan lain berlabel "buatan Indonesia".
Namun, sudah beberapa tahun terakhir kedua toko itu punya kegiatan menarik: menyewakan hall bagi para TKW. Bukan untuk arisan, tapi untuk resepsi "pernikahan" sejenis. Kristina Dian Safitry, koordinator Kreasi Seni Nusantara, salah satu organisasi kesenian BMI, adalah salah seorang yang sering mendapat undangan menghadiri resepsi seperti itu. Menurut catatan dia, sejak bermukim di Hongkong, sudah 12 kali dirinya menghadiri upacara yang juga diawali dengan "ijab kabul" layaknya pernikahan itu. Dia menuturkan, angka tersebut bertambah karena setiap Minggu ada pasangan baru yang menyusul melangsungkan pernikahan sesama jenis.
"Mereka mengundang saya dengan harapan pesta pernikahan tersebut dimuat di media," kata wanita 27 tahun yang menjadi wartawan salah satu media lokal untuk TKI tersebut. Menurut perempuan kelahiran Malang yang besar di Palembang itu, fenomena "menikah" antarsesama jenis belakangan semakin besar. Sebab, acara itu tidak hanya dihadiri komunitas BMI. Warga lokal di sana pun tidak mempersoalkan, namun malah "menikmati". "Kan seperti pertunjukan. ’Pengantinnya’ pakai pakaian ala nikah betulan, full make-up, ada iring-iringan pengantin lengkap dengan kembang mayang, plus temu manten segala," ungkap buruh migran yang sudah lima tahun di Hongkong tersebut.
Bukan hanya itu. Prosesi sungkeman untuk meminta restu orang tua juga dilakukan. Yang berperan sebagai "orang tua" biasanya pemilik toko atau rekan-rekan yang ditunjuk. Demikian pula dengan penghulunya. Pasangan yang hendak menikah biasanya meminta bantuan salah seorang rekannya untuk menjadi pemimpin "upacara".
Acara biasanya berlangsung marak karena kerap dilakukan pada Minggu. Memang, Minggu dipilih karena saat itu sebagian besar buruh migran asal Indonesia mendapatkan jatah libur dari majikan. Demikian pula, warga lokal Hongkong libur kantor, sehingga lokasi Pasar Tai Po pun pasti penuh sesak. Zhou Lee, salah seorang pemilik toko di Tai Po, kepada Jawa Pos mengungkapkan, pernikahan sesama TKI perempuan memang semakin ramai. Iring-iringan "calon mempelai" itu berlangsung di jalan raya. Jadi, kegiatan tersebut otomatis menarik perhatian warga sekitar. "Kami tidak masalah, Bahkan, itu menjadi hiburan di sini," ujarnya. Seperti Zhou Lee, salah seorang petugas yang menjaga Toko Karunia menyatakan, agenda "pernikahan" di tokonya tidak pernah sepi. "Setiap bulan pasti ada," katanya. Tak berbeda jauh dari "pernikahan" betulan, setiap pasangan membutuhkan dana tidak sedikit. Misalnya, pengakuan Brian dan Desi. Pasangan yang "menikah" pada Oktober 2007 itu menghabiskan HKD 15 ribu (setara Rp 17 juta) untuk pesta sehari tersebut.
"Uangnya dikumpulin bareng, jadi enggak berat," jelas Brian yang berperan sebagai suami tersebut. Ditemui saat libur di Victoria Park, Brian yang tidak mau menyebutkan nama aslinya itu mengaku berasal dari Palembang. Desi, "istrinya" yang berusia 25 tahun, berasal dari Magelang, Jawa Tengah. Menurut perempuan bergaya maskulin tersebut, uang itu dikumpulkan dari upah bulanan berkisar HKD 3.400 (sekitar Rp 4,1 juta). "Pelan-pelan ngumpulinnya, jadi tidak terasa," ujar Brian yang menghelat pesta di Toko Abadi tersebut. Selain Brian dan Desi, pesta pernikahan besar dilakukan Ani dan Koko. Pasangan yang "menikah" pada 2005 itu menghelat resepsi di Toko Karunia. Koko, ibu satu putri di tanah air itu, memutuskan menikah karena sangat mencintai pasangannya. "Hubungan kami jadi lebih resmi bila seperti ini," ungkap perempuan asli Banyuwangi tersebut yang masih berstatus istri seorang lelaki. Memang, kata Dian, "pasangan" yang pernah dia temui rata-rata sudah berkeluarga.
"Suami-suami mereka malah mengizinkan hal tersebut," tegas perempuan yang sudah dua tahun meneliti fenomena pasangan sejenis itu. Mengapa suami mereka malah mengizinkan? "Para suami itu mengaku lebih rela istrinya bersama perempuan daripada dengan lelaki," jelasnya. Selain itu, ada pasangan yang "menikah" karena sama-sama pernah disakiti suaminya. Misalnya, Ringgo dan Santi (bukan nama sebenarnya).
Santi, BMI asal Jawa Tengah, sebelumnya sudah menikah. Namun, karena ada masalah, mereka memutuskan bercerai. Santi yang berusia 27 tahun itu lalu terbang ke Hongkong. Di negeri dengan otonomi khusus di bawah RRT tersebut, dia menemukan perempuan sesama TKW yang menjadi kekasih. "Aku yang jadi lelakinya. Pacarku itu jadi perempuannya," katanya. Namun, itu tidak lama. Hanya beberapa bulan, pada pertengahan 2005, Santi berpisah dari pacarnya. Sekarang, dia berada di pelukan "perempuan" lain. Tapi, kali ini, Santi yang menjadi perempuan dan Ringgo, kekasihnya, menjadi laki-laki. Hubungan tersebut diakui Santi menyatukan kedua keluarga. Sebab, Santi sudah punya satu anak. Demikian pula dengan Ringgo."Sekarang, rekening gaji jadi satu dan masa depan anak Ringgo juga menjadi tanggungan saya. Demikian pula sebaliknya," tegas Santi yang sudah lima tahun di Hongkong itu.
Menurut Eni Lestari, ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong, fenomena tersebut harus ditanggapi dengan akal jernih. "Kami tidak menganggap mereka jelek. Masing-masing orang memiliki kepribadian yang berbeda," ujarnya. Dia pun meminta agar masyarakat tidak lantas menganggap semua TKI di Hongkong seperti itu. "Yang menjalani kehidupan seperti itu tidak sampai satu persen populasi TKI. Sayangnya, yang ’tidak biasa’ itu mudah terlihat," ungkapnya. Sebagai solusi, Eni berharap pemerintah membuka jalur untuk tenaga kerja lelaki guna mencari penghidupan di Hongkong. Sebab, di antara sekitar 110 ribu TKI di Hongkong, hampir 99 persen perempuan. "Kalau suami-suami juga ikut bekerja di Hongkong, mungkin fenomena tersebut bisa diminimalkan," tegasnya.

2 comments:

Yunus Efendi said...

Aku setuju banget, jika para suami khususnya para TKI pria diberi pluang kerja disana, bisa sdikit mengurangi trend nikah antar jenis. Tapi itu semua kembali pada pribadi masing-masing. Kalo masih punya iman yang kuat, saya yakin gak sampai ada hal seperti itu. Lagian d Hong Kong kondisi sangat-sangat mendukung untuk bertingkah yang aneh-aneh. Tapi namanya juga masalah, pasti ada aja khan? moga aja kejadian "lesbi" gak sampai membesar komunitasnya.

Basuki said...

naudzubillahh mindzalik sungguh memprihatinkan namun terkadang ada sebahagian tkw yang berubah total pribanya,gaya hidupnya setelah menjadi buruh migran ini perlu menjadi perhatian serius pemerintah kita agar budaya ketimuran tetap terjaga amin