Wednesday, December 19, 2007

Kenap Engkau, Adam

Mengapa engkau campakkan kemapanan hidupmu, Adam? Bukankah kemapanan namanya, di saat engkau memiliki rumah dan kendaraan bermotor bersama pekerjaan yang mencetak jutaan rupiah, ketika banyak penduduk di Ibukota hanya memiliki sepotong malam untuk bermimpi terlelap di bangunan bernama rumah, bukan sepotong kardus di pinggiran kali seperti yang dihuni. Lihatlah: tubuh mereka yang ringkih, masih ngilu akibat menjadi ikan pindang di ruang bus kota yang tidak pernah memberikan hak asasi kemanusiaan?

Apa yang engkau cari Adam? Bukankah engkau telah memiliki sejumlah kriteria kehidupan bermarwah: sejawat yang menyayangi sekaligus diam-diam menggagumi kemampuanmu. Bukankah engkau pun mencintai pekerjaanmu karena tidak membuatmu menjadi robot ketika banyak penduduk Jakarta bekerja seperti mesin: mereka dipaksa menulikan telinga dari nurani jika tidak ingin kehilangan kedudukan. Tidak sedikit di antaranya, bahkan, kehilangan keagungan kemanusiaan ketika mesti menjulurkan lidah kepada atasan.

Ada apa denganmu Adam, ketika istrimu Hawa memiliki juga pekerjaan mapan, sesuatu yang menjadi syarat ideal bagi kehidupan di kota metropolitan? Bahkan, istrimu yang dinilai cemerlang, kembali diangkat menjadi atasan. Bukankah menjadi pimpinan pada unit kerja merupakan prestasi bagi ukuran kerja modern? Anehnya, istrimu justru menolak jabatan, ketika setiap orang di negeri ini berambisi menjadi pimpinan.

Kenapa engkau Adam bersama istrimu Hawa? Apakah engkau seperti Adam yang pertama kali di bumi, tidak mampu meredam hawa nafsu, sehingga menolak kenyamaman surga dengan memakan buah khuldi? Kehidupanmu yang laiknya "surga" pun kini engkau campakkan Adakah engkau pun seperti bapakmu Adam, tergoda untuk meraih kehidupan yang melebihi surga, sehingga membuang air di tempayan ketika mengharapkan hujan?

Sejawatmu, bahkan handai taulanmu, khususnya yang cara berpikirnya terbelenggu paradigma modern menilai, engkaulah sosok yang tidak tahu berterimakasih, Adam! Bukankah keputusanmu melipat kemapanan hidup, lalu berkemas-kemas pergi, seperti seseorang yang tidak bersyukur kepada kekinian hidup? Jangan menyalahkan cara berpikir mereka, Adam!

Paradigma berpikir modern telah mengajarkan, seseorang yang kembali ke bangku pendidikan, tentu akibat tidak puas dengan kehidupan kekinian, sehingga kembali bersekolah untuk meraih kehidupan yang lebih cemerlang. Cara berpikir demikian, wahai Adam, telah tersemai sejak zaman penjajahan: sekolah menjadi lampu Aladin yang membebaskan orang dari belenggu kebodohan. Kebodohan berarti juga kemiskinan. Dengan demikian, mengutip paradigma berpikir tersebut, seseorang yang bersekolah akan menggenggam kecemerlangan hidup berkat ijazah yang dikantonginya.

Maka Adam, engkau menyusut pipimu yang basah, ketika mengetahui sejawat dan handai taulanmu terbelenggu paradigma modern. Memang, bagi mereka yang tidak mampu melihat dengan mata hati, akan keliru menebak keputusanmu untuk hijrah. Paradigma modern tidak mampu menalar keputusanmu: di saat engkau pamit untuk sekolah sesungguhnya engkau ingin memulai pengembaraan spiritual.

Engkau seperti juga sejawat dan handai taulanmu terlampau lama dibelenggu paradigma modern dan matematis: jika tidak memiliki pekerjaan tetap berarti tidak memiliki pendapatan sehingga sama dengan menggali kubur sendiri. Begitupun kehidupan bermarwah identik dengan kedudukan yang tinggi: berapa banyak rumah dan mobil maupun deposito. Hidup bermarwah identik dengan kata memiliki kebendaan. Budaya materialisme menyebabkan ukuran sukses semata-mata berdasarkan benda fisik yang dimiliki.

Memiliki berarti menguasai. Pemilikan dengan citarasa penguasaan, menyebabkan orang enggan kehilangan. Dengan citarasa demikian, membuatmu tidak pernah nyaman dalam setiap penerbangan, karena membayangkan: pada ketinggian berapakah, pesawat ini terhempas? Hempasannya akan memisahkanmu dari segenap yang dimiliki. Betapa menyiksa ketika merasa sangat memiliki.

Maka siksaan yang mendera itu, menyurut ketika engkau untuk pertama kali rela bersujud di Hijir Ismail, ketika ribuan kaki hilir mudik di sisi kepalamu. Sesaat hendak sujud, cara berpikir modernmu yang congkak masih sempat melintas: di saat sujud, kepala merendah sehingga membuka peluang untuk diinjak orang. Bukankah Hijir Ismail tidak pernah sepi ketika musim haji? Tapi, wahai Adam yang bercitarasa hidup modern, Allah seketika menanamkan rasa ikhlas yang menanggalkan kecongkakan hidup modernmu, sehingga engkau rela sujud sembari menyadari kehidupan ini milik Allah. Maka Adam, itulah sujud pertamamu yang ikhlas dan tawakkal, merendahkan kepala di sekeliling kaki orang. Di Hijir Ismail, Adam, engkau menyadari penjungkirbalikkan tatanan nilai modern ketika seseorang melakukan pembelajaran spritualisme.

Dengan modal sujud di Hijir Ismail, engkau pun memulai pengembaraan ruhani, di negeri hijrah. Di saat tidak aktif bekerja, dihapuskan jaminan masa depanmu dari kantor yang selama ini memberikan perlindungan keamanan dan kenyamanan yang seringkali dapat menimbulkan kecongkakan, engkau menemukan sejatinya manusia itu lemah. Betapa banyak kita menutupi kelemahan diri di balik kekayaan materi: merasa sangat berkuasa ketika duduk di kursi pimpinan ataupun berlindung di dalam rumah mewah. Tapi, pernahkah kita mencoba sedetik saja kehilangan sihir materi itu, untuk menyadari siapa diri ini? Engkau kian menyadari, manusia menjadi serakah dan semena-mena, karena sejatinya takut pada kelemahan diri sendiri. Agar mampu berdamai dengan kelemahan diri, orang perlu merasa miskin, pahitnya ditindas.

Hari-harimu kini Adam adalah hari-hari yang kehilangan sihir materi. Engkau semakin menyadari betapa lemah manusia, bahkan, sekadar untuk menggenggam masa depannya. Apa yang kita miliki ternyata fana, semua milik Allah. Maka di negeri hijrah, engkau belajar tawakkal ---- bukan sekadar mahir mengucapkannya ---- dalam kelemahanmu sebagai manusia. Engkau di saat berusaha, senantiasa menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sembari meyakini janji-Nya: Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya (QS Ath Thalaaq [65]:3). Di saat demikian adakah lagi gunanya merasa congkak dengan kepemilikan materi? Menyadari kelemahan diri, membuat orang menjadi lebih tawakal.
Engkau pun belajar ikhlas dari kehidupanmu sendiri. Bukan sekadar mahir mengucapkannya. Bukankah kehidupanmu kini dengan kemarin bagaikan langit dan bumi? Keikhlasan menyebabkan seseorang tetap lelap tidurnya ketika kasurnya yang semula springbed berubah menjadi tilam biasa. Bukankah keikhlasan namanya, ketika seseorang merasa tetap terhormat makan bersila di lantai, ketika sebelumnya di meja kaca? Keikhlasanlah namanya, bila kita rela menyerahkan barang milik sendiri untuk kenikmatan orang lain, meski akibatnya kita kehilangan kemewahan diri.

Maka Adam, seperti takwil tongkat yang diuraikan Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum di bukunya As-Sair Wa As-Suluk ----''barangsiapa yang telah mencapai usia 40 tahun dan belum mengambil tongkat, maka ia telah bermaksiat'' ---- engkau pun menggenggam tongkatmu untuk memulai pengembaraan roh. ( Rudy Harahap )

No comments: