Wednesday, June 4, 2008

Sim Salabim: “Air Laut Jadi Bensin” [1]

Sim Salabim: "Air Laut Jadi Bensin" [1]    
Rabu, 04 Juni 2008

Proyek blue energy untuk memproduksi BBM dari air laut, ternyata hanya akal-akalan. Padahal Presiden SBY percaya dan pabrik sudah berdiri di Cikeas. Kenapa kasus memalukan ini bisa terjadi?

Oleh: Amran Nansution *

Hidayatullah.com--Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY belakangan ini kurang sehat. ''Presiden masih batuk-batuk,'' kata Juru Bicaranya Andi Mallarangeng kepada wartawan 30 Mei lalu. Rencana pertemuan Presiden di Istana hari itu dengan tim energi UGM dipimpin Rektor Profesor Sudjarwadi  ditunda.

Beberapa hari sebelumnya, dalam sebuah acara Departemen Kesehatan, Presiden SBY tiga kali terbatuk-batuk saat berpidato. Ia minta maaf kepada hadirin yang terdiri dari ratusan dokter karena harus meneguk air untuk meredam batuk. Menurut Presiden sebulan ini ia kurang tidur memikirkan BBM.

Sebenarnya wajar saja Presiden sakit. Walau ia dikelilingi seabreg dokter kepresidenan dengan peralatan paling canggih di negeri ini, toh ia manusia biasa dengan tanggung jawab berat. Presiden Amerika George Bush 21 Juli 2007, harus menyerahkan jabatan kepada Wakil Presiden Dick Cheney, untuk menjalani pemeriksaan kanker di Camp David, selama 48 jam.

Bush pernah mengalami operasi pengangkatan tumor jinak di usus pada 1998 dan 1999, ketika menjabat Gubernur Texas. Pada 13 Januari 2002, ia sempat kehilangan kesadaran dan terjatuh di Gedung Putih, sehingga diterbangkan ke Camp David. Jadi kalau SBY cuma batuk-batuk itu soal kecil.

Nyatanya peristiwa itu tetap menimbulkan gosip di masyarakat. Itu juga wajar. Maklum Presiden adalah orang nomor satu. Semua kisah tentang Presiden selalu menarik. ''Name makes news, nama bikin berita,'' kata wartawan.

Salah satu gosip itu: SBY terbatuk-batuk karena menghirup gas CO dari knalpot bis. Ini pasti cerita karangan. Bahwa benar Presiden SBY mencium asap knalpot, tapi itu terjadi sudah lebih enam bulan silam. Masak batuknya baru sekarang?

Soal asap knalpot, begini ceritanya. Minggu, 25 November 2007, di rumahnya, di Puri Cikeas Indah, Bogor, Presiden melepas Tim Blue Energy (energi biru) dipimpin Heru Lelono, Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah.

Tim membawa lima kendaraan: dua mobil Ford, sebuah Isuzu Panther diesel, sedan Mazda, dan bis Mitsubishi. Sebuah truk mendampingi sebagai pengangkut bahan bakar blue energy. Kelima mobil menggunakan bahan bakar sintetik, konon temuan Joko Suprapto, 48 tahun, pemilik radio swasta Jodhipati di Nganjuk, Jawa Timur.

Rupanya Presiden SBY berhasil diyakinkan Joko – Presiden bertemu Joko melalui Heru Lelono – bahwa ia berhasil menciptakan mesin untuk memproses air laut menjadi bahan bakar yang amat efisien dan murah. Presiden percaya dan berkenan memberi nama blue energy untuk bahan  bakar ajaib yang bukan bersumber dari fosil.

Di hari itu, Tim bermaksud menguji-coba blue energy melalui perjalanan darat dari Jakarta ke Denpasar, sejauh lebih 1225 km, dengan menggunakan 5 mobil berbeda merk dan tahun pembuatan. Di Bali, mobil berikut blue  energy dipamerkan di tengah konperensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC). Garis start uji-coba dimulai dari rumah SBY di Cikeas.

Blue energy dikabarkan memiliki emisi karbon rendah. Ia lebih ramah lingkungan. Pada kesempatan itu, Presiden turun tangan langsung mengetesnya. Ia duduk di belakang knalpot bis dan mencium asapnya. ''Pasukan Pengamanan Presiden sempat kerepotan takut Presiden keracunan. Tapi tidak. Coba saja,'' kata Heru Lelono, Ketua Tim Blue Energy dan orang dekat SBY itu kepada puluhan wartawan yang menyambut rombongan Tim Blue Energy ketika sampai di Nganjuk, 29 November 2007.

Tim sengaja singgah di sebuah hotel untuk menemui Joko Suprapto. Mendengar omongan Heru Lelono, Wakil Bupati Nganjuk Djaelani Ishaq penasaran, lalu mencium asap dari knalpot serupa. ''Sama sekali tak ada baunya,'' katanya berkali-kali kepada wartawan. ''Kita ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa kita bukan bangsa kere yang terombang-ambing harga minyak dunia. Bangsa Indonesia bisa menemukan bahan bakar sendiri,'' kata Heru Lelono.

Sementara itu Joko Suprapto bercerita kepada wartawan bahwa ia sudah meneliti sejak tahun 2001. Inti temuannya adalah keberhasilan memecah molekul air menjadi H plus dan O2 minus.

"Ada katalis dan proses tertentu sampai menjadi bahan bakar dengan rangkaian karbon tertentu,'' kata peneliti misterius yang katanya hanya seorang insinyur elektro dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Tapi UGM membantah Joko Suprapto pernah terdaftar sebagai mahasiswa mereka.

Joko mengaku sudah berhasil menyiapkan bahan bakar untuk segala jenis mesin. ''Tinggal mengatur jumlah rangkaian karbonnya. Mau premium, solar, premix, atau avtur, ya sudah ada,'' katanya, membuat wartawan terkagum-kagum. Untuk bahan baku, ia putuskan menggunakan air laut. Kalau air tanah bisa terjadi bahaya kekeringan.

Masya-Allah, Allahu-Akbar. Anda tahu orang ini sedang bicara apa? Revolusi dunia. Ia bicara untuk menjungkir-balikkan tatanan dunia. Mari kita bicarakan apa yang terjadi kalau cerita Joko Suprapto  benar – cerita yang disampaikannya dan dipercayai Presiden SBY.

Pertama, Joko Suprapto dalam tempo singkat akan jadi salah satu orang terkaya dunia. Ia cukup menyedot air laut, menjadikannya BBM dan dijual dengan harga lebih murah. Data The International Energy Agency di Paris, mengatakan tahun 2007, dunia mengonsumsi BBM 86 juta barel/hari dan akan meloncat menjadi 116 juta barel/hari di tahun 2030. Bayangkan bagaimana mudah Joko meraup dollar.

Posisinya akan sejajar dengan orang kaya dunia dari Amerika Serikat, Bill Gates, pemilik Microsoft dan Warren Buffett, investor sukses pasar modal. Atau mungkin orang Nganjuk itu akan menyaingi Carlos Slim Helu, raja telekomunikasi Meksiko berdarah Lebanon. Majalah Fortune menabalkan Carlos sebagai orang terkaya dunia 2007, mengambil alih jabatan yang dipegang Bill Gates selama 13 tahun.

Selanjutnya, Indonesia yang miskin dan terdaftar sebagai salah satu negara gagal (failed state) kontan melonjak menjadi makmur. Soalnya, penghasilan negara eksportir minyak – Arab Saudi, Rusia, Iran, Norwegia, Kanada, Uni Emirat Arab, dan lainnya – akan berpindah ke Indonesia. Sekarang, penjualan minyak dunia setahun lebih 2 triliun dollar atau Rp 18.000 triliun, kira-kira sama 20 kali APBN kita.

Indonesia yang tahun ini keluar dari organisasi eksportir minyak, OPEC, karena kegagalan pemerintah menaikkan produksi minyak, mendadak-sontak menjadi eksportir BBM terbesar mengalahkan Arab Saudi dan Rusia.

Bantuan Langsung Tunai (BLT) distop karena sulit mencari orang miskin di Indonesia. Tak ada lagi antrean minyak tanah, beras murah, minyak goreng, dan sebagainya. Tak ada korban berjatuhan karena tabung elpiji gratis dari Pemerintah gampang meledak karena bermutu rendah.

Kota-kota tak lagi kena giliran pemadaman listrik karena Pemerintah SBY gagal menyediakan listrik untuk rakyatnya. Jalan-jalan mulus tak berlubang seperti sekarang, sampai memakan korban tak sedikit, termasuk artis dan politisi Sopan Sophian. Ia meninggal karena ban motor gedenya terjebak lubang.

Dalam pemilihan Presiden 2009, tak satu pun calon yang bersedia bersaing dengan SBY karena merasa pasti kalah. SBY menjadi pahlawan Indonesia, menyelamatkan negeri dari kemiskinan dan kemelaratan. Ia akan dipilih berapa kali pun ia mau menjadi Presiden.

Prestasinya mengalahkan Bung Karno yang memerdekakan negeri ini atau Soeharto yang berhasil membangunnya. Ia tak sebanding dengan Megawati, apalagi Gus Dur yang memerintah seenaknya sampai jatuh di tengah jalan.

Sementara itu, ekonomi negara kaya minyak langsung anjlok, kalah bersaing dengan air laut Joko Suprapto yang dijual Rp 3000 atau cuma 30 cent dollar/liter. Arab Saudi, misalnya, langsung menyetop pembangunan King Abdullah Economic City dan tiga proyek serupa.

Karena bonanza minyak negeri itu sedang membangun 4 kota paling modern di dunia. King Abdullah Economic City, salah satu dari kota baru itu, dibangun dengan biaya 27 milyar dollar, luasnya tiga kali Manhattan, New York. Disiapkan untuk dihuni 2 juta manusia, dilengkapi distrik industri, keuangan, universitas, dan tempat tinggal.

Beberapa bagian kota terdiri dari pulau di Laut Merah, dihubungkan dengan jembatan-jembatan berbentuk boulevard, dihiasi pohon palem dan lampu terang-benderang, mirip kisah seribu satu malam. Ini semua akan terbengkalai. Termasuk pembangunan sebuah universitas modern di dekat Jeddah yang direncanakan setara dengan Columbia University atau Harvard.

Rusia dengan ekonomi terkuat sekarang, menjadi letoi. Ambisinya menyatukan kembali negara bekas Uni Soviet melalui pengaruh ekonomi langsung berantakan. Padahal sekarang cadangan devisa Rusia – hampir 450 milyar dollar – tertinggi didunia bila dihitung perkapita. APBN meningkat 10 kali lipat dibanding saat negeri itu dipimpin Boris Yeltsin dan menjalankan sistem kapitalisme di tahun 1999. Seluruh utang luar negeri yang dulu sempat gagal bayar kini sudah lunas. Sebagai penghasil minyak terbesar setelah Arab Saudi, Rusia sekarang bisa bikin apa saja.

Bursa saham dunia terguncang. Saham perusahaan minyak raksasa – Exxon Mobil,  Total, Shell, dan sebagainya – atau perusahaan pengangkut minyak dan segala macam turunan bisnis ini akan anjlok. Inggris pasti duluan terpukul. Industri minyaknya yang berbiaya tinggi karena menambang minyak di Laut Utara, tak lagi ekonomis. Rig-rig minyak lepas pantai itu akan ditinggalkan menjadi besi tua.

Tekad Presiden Bush mengeksplorasi minyak di Alaska untuk meningkatkan produksi Amerika Serikat yang tiap tahun menurun, pasti gagal. Tak ada lagi perusahaan yang mau mencari minyak dari fosil.  Semua itu karena seorang Joko Suprapto, pemilik radio swasta dari Nganjuk.

Tak jelas apakah skenario di atas terbayang ketika Presiden SBY bersedia mencium gas buang dari knalpot bis di Cikeas. Atau ketika ia menyambut Tim Blue Energy di  Hotel Nikko, Nusa Dua, Bali, 2 Desember 2007. Saat itu, Ketua Tim, Heru Lelono melaporkan hasil uji coba blue energy kepada Presiden, sebagai sukses besar. Penggunaan bahan bakar amat irit, 15,13 km tiap liter blue energy.

''Ini tidak merusak lingkungan, emisinya ramah lingkungan. Tahun depan kita akan mulai memproduksi bahan bakar ini. Masyarakat pengguna tak perlu memodifikasi kendaraannya,'' kata Joko Lelono kepada wartawan seusai melapor kepada Presiden. Uji coba tak menemukan kendala. Semua beres.

Presiden pun tampak amat berbahagia. Seperti ditulis di website-nya, SBY didampingi Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menkopolhukam Widodo AS, Mensesneg Hatta Rajasa, Menbudpar Jero Wacik, Seskab Sudi Silalahi, dan Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng, mengunjungi stand blue energy.

Untung para pembantunya tak ikut menyedot knalpot bis. Mereka hanya mendampingi Presiden mengelilingi arena pameran dengan bis berbahan bakar blue energy. Singkat cerita, di ajang pameran itu blue energy menjadi primadona karena mendapat perhatian luar biasa dari Presiden. Seakan ke sanalah nasib negeri ini hendak digantungkan.

Di dalam website Presiden, blue energy dijuluki minyak Indonesia Bersatu, tampaknya diambil dari Kabinet Indonesia Bersatu. Kata biru dari blue energy, memang kesenangan SBY. Ingat biru adalah juga warna Partai Demokrat.

Proyek itu dalam proses berproduksi sebagaimana dijanjikan Heru Lelono. Pabrik sudah disiapkan di Cikeas, hanya sekitar 2 km dari rumah SBY. Persisnya, di Kadukpugur, Desa Cikeas Udik, Kecamatan Gunungputri, Bogor, di sebuah areal seluas 5  hektar. Sekeliling areal sudah ditembok tinggi.

Kabarnya menurut rencana awal April lalu, Joko Suprapto akan membawa mesin temuannya untuk dirangkai. Awal Mei, pabrik mulai berproduksi. Lalu pada peringatan seabad Kebangkitan Nasional di Senayan, 20 Mei 2008, yang dilaksanakan besar-besaran, Presiden akan meluncurkan blue energy kepada dunia. Sim Salabim, "air laut menjadi bensin."

Tapi itu tak terjadi. Perhelatan di Senayan memang berlangsung megah tapi tak ada peluncuran blue energy. Apa yang terjadi?  Rupanya Joko Suprapto tak muncul seperti yang direncanakan. [ber;anjut/www.hidayatullah.com]

* Penulis adalah Direktur Institute  For Policy Studies


 
My personal webhttp://pujakesula.blogspot.com  or  http://endyenblogs.multiply.com/journal 

No comments: