Wednesday, April 30, 2008

Fatwa MUI dan “Diktator” Minoritas

Fatwa MUI dan "Diktator" Minoritas

   
Rabu, 30 April 2008

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah representasi mayoritas umat Islam. Meski demikian, minoritas intelektulal secara 'diktator' memaksakan kehendaknya

Oleh: Hidayatullah Muttaqin *

Siapa pun pasti tidak mau dirinya dizalimi oleh orang lain dan ingin hidup merdeka bebas dari ketertindasan. Sikap tersebut manusiawi dan senantiasa muncul dari manusia mana pun sebagai konsekwensi adanya naluri mempertahankan diri pada dirinya. Hatta, Islam. Sebab diantara ajaran utama Islam adalah melarang berlaku dzalim. Termasuk sikap umat Islam yang menolak keberadaan Ahmadiyah sebagai bagian dari Islam adalah sikap yang benar untuk menjaga keutuhan dan kemurnian akidah Islam.  

Keluarnya fatwa MUI No. 11/MUNAS VII/15/2005 yang menyatakan Ahmadiyah bukan bagian dari Islam, sesat dan menyesatkan, merupakan fatwa yang bertujuan melindungi akidah umat dari fitnah dan "rongrongan" akidah Ahmadiyah. Fatwa ini sekaligus menjadi edukasi bagi pengkuatan akidah umat.  Fatwa hanya melindungi umat Islam dari akidah yang benar. Namun tetap melarang mendzolimi secara pribadi penganutnya. Dua hal ini, adalah beda sisi yang tak banyak dipahami orang.

Fatwa MUI: Monopoli Kebenaran?

Seiring dikeluarkannya rekomendasi Bakorpakem (16 April 2008) berbagai cacian dan pemaksaan opini dilontarkan oleh banyak pihak khususnya terhadap MUI. Salah satunya adalah sebutan "memonopoli kebenaran" yang diberikan oleh Prof. Dr. Syafii Maarif kepada MUI (www.okezone.com, 27/04/2008).

Menurut Prof. Dr. Syafii Maarif keberadaan Ahmadiyah di Indonesia dilindungi oleh undang-undang yang menjamin kebebasan beragama. Bahkan menurut sang profesor, atheis pun diperbolehkan hidup di Indonesia selama tidak mengganggu kepercayaan orang lain (ibid).

Sebaliknya, Prof. Dr. Syafii Maarif menganggap fatwa MUI bertentangan dengan undang-undang, sehingga jika rekomendasi Bakorpakem ditindaklanjuti dalam bentuk SKB, maka SKB tersebut dianggap profesor sebagai wujud "monopoli kebenaran" MUI. Tak hanya MUI, para intelektual –bahkan tak memiliki otoritas hukum Islam pun—ikut mengecam MUI. Termasuk Adnan Buyung Nasution.

Argumentasi yang dipaksakan oleh profesor lemah dan bertentangan dengan fakta. Pertama, rekomendasi Bakorpakem lahir dari pengamatan rinci dan pemantauan selama tiga bulan pada 55 komunitas Ahmadiyah di 33 kabupaten. Menurut Kepala Litbang Depag, Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah menyimpang dari ajaran pokok Islam karena di seluruh cabang Ahmadiyah, Mirza Gulam Ahmad tetap diakui sebagai Nabi dan Tadzkirah sebagai kitab suci mereka. Koordinator Bakorpakem juga menyatakan, dengan jelasnya penyimpangan JAI maka tidak ada lagi evaluasi, negosiasi, dan diskusi tentang akidah Ahmadiyah. Jadi rekomendasi Bakorpakem lahir bukan karena paksaan dari MUI melainkan hasil pengamatan berdasarkan fakta.

Kedua, tuduhan terhadap MUI oleh profesor hanya berdasarkan "logika jungkir balik". Maksudnya, dengan mengacu pada logika "kebebasan beragama" semua permasalahan kehidupan beragama dinilai dengan menggunakan logika ini tetapi di sisi lain logika ini justru menjungkirbalikkan pokok-pokok ajaran agama Islam.

Semua orang pasti mengetahui kitab suci umat Islam hanyalah Al-Quran dan tidak ada nabi dan rasul setelah Muhammad SAW. Sedangkan Ahmadiyah mengaku dirinya Islam tetapi kitab sucinya adalah Tadzkirah dan Nabinya adalah Mirza Gulam Ahmad, bahkan Ahmadiyah mengkafirkan Islam selain Islam versi Ahmadiyah. Fakta ini menunjukkan Ahmadiyah bukan hanya mengganggu keyakinan beragama umat, tetapi melakukan penistaan dan penghancuran akidah Islam. Penghancuran bangunan akidah Islam oleh Ahmadiyah merupakan fitnah yang lebih jahat dari tindakan kriminal terhadap manusia.

Jika saja ada seseorang yang tidak dikenal dan bukan darah daging profesor tiba-tiba datang mengaku sebagai anak kandung beliau dan menuduh anak kandung profesor sebagai orang lain, apakah profesor dapat menerimanya? Apalagi tujuan orang tersebut mengaku anak kandung hanya untuk merampok harta warisan profesor. Secara naluri dan perasaan mungkin saja profesor menolak kedatangan orang yang tak dikenal tersebut dan marah bila ia tetap bersikeras mengaku sebagai anak. Jika profesor konsisten dengan "logika jungkir balik" kebebasan beragama, maka profesor harus menerima orang tersebut sebagai anak kandungnya. Bila sikap ini yang diambil profesor, maka profesor mengakomodir kebohongan orang yang tak dikenal tersebut yang akan merusak keutuhan kehidupan keluarga.

Inilah fakta, siapa pun tidak dapat mengelak dari kebenaran bila kebenaran tersebut berpijak pada fakta yang benar, di luar itu adalah "kebohongan" belaka. Dan ini pula yang menjadi pijakan fatwa MUI bahwa Ahmadiyah sesat dan menyesatkan ditinjau dari akidah Islam. Sehingga fatwa MUI tersebut bukanlah "memonopoli kebenaran" melainkan "mengungkap kebenaran".

Munculnya "Diktator" Intelektual

Sikap menuduh penolakan umat terhadap Ahmadiyah yang diwakili oleh MUI melalui fatwanya sebagai "memonopoli kebenaran", tidak menghargai kebebasan beragama, dan melanggar HAM, merupakan sikap arogan dan zalim. Memaksakan pemikiran "logika jungkir balik" kebebasan beragama meski umat telah menolaknya merupakan suatu bentuk "arogansi pemikiran". Memberikan "cap negatif" sebagai punishment terhadap penolakan pemikiran yang dipaksakan adalah "kezaliman pemikiran".    

Bagaimanapun, MUI adalah representadi umat Islam seluruh Indonesia. Sebagai representadi umat, MUI punya hak melindungi dan menjaga kemurnian aqidah umatnya melalui Fatwa. Itu adalah hak dan kewajibannya. Justru akan lain, jika fatwa itu datang dari kaum minoritas yang dipaksakan untuk mayoritas. Jika yang terjadi seperti yang terakhir, maka, itu adalah kediktatoran.

Arogansi dan zalim merupakan sifat yang melekat pada seorang diktator. Karena arogansi dan kezaliman ini berada dalam ranah pemikiran, maka orang-orang dan kaum intelektual yang mengusung pemikiran dengan cara seperti ini lebih tepat disebut "diktator intelektual".

Seperti halnya yang disampaikan Prof. Dr. Syafii Maarif, Dr. Hamim Ilyas yang bekerja sebagai dosen pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengungkapkan fatwa MUI bertentangan dengan konstitusi dan HAM yang menjamin kebebasan beragama. Ia juga mengatakan karena fatwa sesatnya, MUI harus disadarkan (Okezone.com 24/04/2008). Dari pernyataan tersebut, seolah-olah Dr. Hamim Ilyas mengatakan yang sesat adalah MUI bukan Ahmadiyah, sehingga yang harus diluruskan adalah MUI. Sebagai bagian umat Islam, "cap sesat" terhadap MUI bagi penulis sangat zalim dan menyakitkan, karena cap tersebut semata-mata fitnah belaka.

Dr. Hamim Ilyas juga menyatakan MUI perlu didemo karena menolak pluralisme agama. Apalagi MUI menggunakan dana APBN/APBD, yang salah satunya berasal dari pajak warga Ahmadiyah. Katanya, "kalau mau menyesatkan jangan pakai APBN dan APBD dong". Hamim menambahkan, berdasarkan hasil penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, fatwa-fatwa MUI menyebabkan deintelektualitas kaum Muslim (ibid).

Benar-benar "logika ngawur" apa yang disampaikan dan dituduhkan Dr. Hamim Ilyas tersebut. Ia dengan yakinnya menjadikan pluralisme agama sebagai "kebenaran mutlak", yang berbeda menurut pemikirannya ini salah dan harus didemo.

Sebagai institusi ulama, maka wajar bagi MUI untuk memberikan edukasi akidah dan edukasi syariah Islam kepada umatnya salah satunya dalam fatwa. Karenanya kesimpulan penelitian UIN Sunan Kalijaga seperti yang disampaikan Dr. Hamim Ilyas patut dipertanyakan khususnya menyangkut metodologi, independensi, dan sponsorshipnya.

Sebaliknya langkah-langkah Dr. Hamim Ilyas dan orang-orang yang katanya mengusung "kebebasan berpikir" hanya akan memalingkan umat dari akidah dan syariah agamanya. Sifat-sifat "diktator pemikiran" yang suka memfitnah inilah yang justru menyebabkan "deintelektualitas umat Islam".

Dari sisi tinjauan fakta, jika seseorang ingin menjadi Muslim ia harus memahami dan mengadopsi akidah Islam sebagai fondasi agamanya, dan mengambil syariah Islam sebagai tata perilaku dan perbuatan dalam kehidupannya. Begitu pula jika seseorang ingin menjadi mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga, ia harus mengikuti prosedur pendaftaran dan seleksi yang telah ditetapkan pihak rektorat. Dan ketika sudah diterima, ia harus mematuhi tata tertib kampus dan aturan akademik.

Jika ada seorang pemuda ditangkap polisi karena melakukan tindakan kriminal dan mengaku sebagai mahasiswa UIN Sunan Kalijaga padahal ia tidak pernah terdaftar sebagai mahasiswa, maka "sangat logis" bila rektorat UIN Sunan Kalijaga menyatakan pemuda tersebut bukan mahasiswanya. Jika logika berpikir Dr. Hamim Ilyas diterapkan dalam kasus ini, maka rektorat harus mengakui pemuda tersebut adalah mahasiswanya. Tentu pengakuan seperti ini merupakan kebohongan.

Penutup

Sikap penolakan terhadap klaim Ahmadiyah merupakan hak umat Islam. Sikap para "diktator intelektual" yang menuduh MUI dan penolakan umat atas Ahmadiyah dengan tuduhan keji seperti "memonopoli kebenaran" dan "cap sesat" merupakan "pemerkosaan" atas hak umat untuk beragama sesuai agamanya.

Sebagai "diktator intelektual", kepentingan yang di bawa oleh pengusung "kebebasan berpikir" bukanlah kepentingan umat melainkan kepentingan ashobiyah (golongan). Di sini, bisa golongan nafsu dan golongan yang punya kepentingan lain. Karenanya, jika umat dihadapkan pada dua pilihan, kepada MUI (lembaga agama yang memiliki otoritas dalam hukum Islam) dan golongan nafsu (yang tidak merepresantasikan wakil umat, apalagi bukan pakar hukum Islam), kira-kira pilihannya jatuh ke mana?  Pertanyaan ini sama dengan jika kita ditanya, "Kalau masalah penyakit, kira-kira kita akan bertanya kepada dokter atau pada tukang las?"  Dan insyaAllah, umat lebih tahu jawabanya.  []

Penulis adalah dosen tetap Fakultas Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan  Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan pengelola website Jurnal Ekonomi Ideologis : www.jurnal-ekonomi.org

 

Namanya juga Pemikiran liberal, maunya bebas sebebas-bebasnya, ngapain beragama kalau mau bebas, semua agama punya aturan apalagi islam aturannya jaminan Allah, karna product Allah.

"Dunia itu penjara bagi kaum mu'min" dalam artian islam itu punya aturan gak bisa bebas se-udele dewe. Sementara Liberal artinya bebas, bukannya kebebasan itu adalah syurga? sementara "Dunia penjara orang mu'min dan syurga bagi orang kafir (Non Muslim)" Kita pengen bebas apa pengen punya aturan selagi di dunia ini? aturan mana yang hendak kita pilih?

 

"Islam Liberal" istilah yang gak masuk akal, gimana logika kita "Beraturan islam yang bebas", islam model apa? apa mau bikin agama baha'i kayak di iran, maunya? tapi itu jelas namanya bukan islam lagi, tapi baha'i, dia mau solat di masjid, mau pergi ke gereja monggo, mau ke wihara dll terserah, tapi namanya bukan lagi islam. tapi masjid orang islam gak bisa di masuki agama baha'i ini, jelas karena mereka bukan muslim dan bukan orang islam lagi walaupun sholat dan mungkin agama yang lain juga gak mau gerejanya atau wiharanya atau puranya di masuki kaum ini, dan akhirnya mereka bikin gedung yang dalamnya macem2 tinggal pilih "Agama serba ada", dan anehnya prihal kaya begitu di sebut "agama masa depan" (kaya toserba aja).  



Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

No comments: