Oleh: Andy F. Noya
Banyak yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai pemimpin
redaksi Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk
meyakinkan setiap orang yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena
'pecah kongsi' dengan Surya Paloh, bukan karena sedang
marah atau bukan dalam situasi yang tidak menyenangkan. Mungkin terasa
aneh pada posisi yang tinggi, dengan 'power' yang luar
biasa sebagai pimpinan sebuah stasiun televisi berita, tiba-tiba saya
mengundurkan diri.
Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan
sulit. Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak
mengambil peluang beasiswa ke IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk
melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta
walau harus menanggung sendiri beban uang kuliah. Kedua, ya itu tadi,
ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Metro TV.
Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya
kagumi, sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba
menganalisa mengapa saya keluar dari Metro TV. ''Andy ibarat ikan di
dalam kolam. Ikannya terus membesar sehingga kolamnya
menjadi kekecilan. Ikan tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih besar.''
Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja, sejak
lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari
Metro TV. Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who
Move My Cheese.Bagi Anda yang belum baca, buku ini
bercerita tentang dua kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang
sarat dengan keju. Kurcaci yang satu selalu berpikiran
suatu hari kelak keju di tempat mereka tinggal akan habis. Karena itu,
dia selalu menjaga stamina dan kesadarannya agar jika
keju di situ habis, dia dalam kondisi siap mencari keju di tempat lain.
Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu yakin sampai
kiamat pun persediaan keju tidak akan pernah habis.
Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak
sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di
tempat lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya 'dipindahkan'
oleh seseorang dan nanti suatu hari pasti akan
dikembalikan. Karena itu tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia
sudah merasa nyaman. Maka dia memutuskan menunggu terus
di tempat itu sampai suatu hari keju yang hilang akan kembali. Apa yang
terjadi, kurcaci itu menunggu dan menunggu sampai
kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu siap tadi sudah
menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan jauh
lebih banyak dibandingkan di tempat lama.
Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa
nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri
guna menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang
tidak mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu
posisi, biasanya akan mati digilas waktu.
Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang
menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah yang luar
biasa yang mendorong saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar dari
labirin yang selama ini membuat saya sangat nyaman karena
setiap hari 'keju' itu sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin
mengikuti 'lentera jiwa' saya. Memilih arah sesuai
panggilan hati. Saya ingin berdiri sendiri.
Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul 'Lentera Jiwa' yang
dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan
pesan yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata
hati saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada
banyak orang.
Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa
tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang
kenalan saya, yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan
asuransi asing, mengaku tidak bahagia dengan
pekerjaannya. Uang dan jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia
merasa 'lentera jiwanya' ada di ajang pertunjukkan
musik. Tetapi dia takut untuk melompat. Takut untuk memulai dari bawah.
Dia merasa tidak siap jika kehidupan ekonominya yang
sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa hidupnya dalam dilema
itu. Dia tidak bahagia.
Ketika diminta untuk menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga
menemukan banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan
yang mereka tekuni sekarang. Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin
menjadi apa, ada yang jujur bilang ikut-ikutan pacar
(yang belakangan ternyata putus juga) atau ada yang karena solider pada
teman. Tetapi yang paling banyak mengaku jurusan yang
mereka tekuni sekarang -- dan membuat mereka tidak bahagia -- adalah
karena mengikuti keinginan orangtua.
Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus 2008),
kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil
keputusan besar dalam hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat
dan lulusan Hubungan Internasional, yang pada satu
titik mengambil keputusan drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia
masak memasak. Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan
yang sangat dia sukai dan menghantarkannya sebagai salah satu pemandu
acara masak-memasak di televisi dan kini memiliki
restoran sendiri. ''Saya sangat bahagia dengan apa yang saya kerjakan
saat ini,'' ujarnya. Padahal, orangtuanya menghendaki
Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai dpilomat.
Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk
menggeluti bidang animasi. Bidang yang
menghantarkannya mendapat beasiswa dari British Council. Kini Adit
bahkan membuka sekolah animasi. Padahal, ayah dan ibunya
lebih menghendaki anak tercinta mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai
dokter.
Simak juga bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak
sebuah perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa
perusahaan. Konsultan manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di
Bali dan bekerja untuk dirinya sendiri sebagai public
speaker.
Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam kehidupan
yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi
banyak yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya.
Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang
dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu
bersemangat, begitu gembira dalam menikmati hidup. ''Bagi saya, bekerja
itu seperti rekreasi. Gembira terus. Nggak ada
capeknya,'' ujar Yon Koeswoyo, salah satu personal Koes Plus, saat
bertemu saya di kantor majalah Rolling Stone. Dalam
usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh enerji. Dinamis. Tak heran
jika malam itu, saat pementasan Earthfest2008, Yon
mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. Sungguh luar biasa. ''Semua
karena saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah
dunia saya. Cinta saya. Hidup saya,'' katanya.
Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya. Berbahagialah mereka
yang sudah mencapai taraf bekerja adalah berekreasi.
Sebab mereka sudah menemukan lentera jiwa mereka.
My personal web: http://pujakesula.blogspot.com or http://endyenblogs.multiply.com/journal Banyak yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai pemimpin
redaksi Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk
meyakinkan setiap orang yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena
'pecah kongsi' dengan Surya Paloh, bukan karena sedang
marah atau bukan dalam situasi yang tidak menyenangkan. Mungkin terasa
aneh pada posisi yang tinggi, dengan 'power' yang luar
biasa sebagai pimpinan sebuah stasiun televisi berita, tiba-tiba saya
mengundurkan diri.
Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan
sulit. Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak
mengambil peluang beasiswa ke IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk
melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta
walau harus menanggung sendiri beban uang kuliah. Kedua, ya itu tadi,
ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Metro TV.
Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya
kagumi, sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba
menganalisa mengapa saya keluar dari Metro TV. ''Andy ibarat ikan di
dalam kolam. Ikannya terus membesar sehingga kolamnya
menjadi kekecilan. Ikan tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih besar.''
Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja, sejak
lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari
Metro TV. Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who
Move My Cheese.Bagi Anda yang belum baca, buku ini
bercerita tentang dua kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang
sarat dengan keju. Kurcaci yang satu selalu berpikiran
suatu hari kelak keju di tempat mereka tinggal akan habis. Karena itu,
dia selalu menjaga stamina dan kesadarannya agar jika
keju di situ habis, dia dalam kondisi siap mencari keju di tempat lain.
Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu yakin sampai
kiamat pun persediaan keju tidak akan pernah habis.
Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak
sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di
tempat lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya 'dipindahkan'
oleh seseorang dan nanti suatu hari pasti akan
dikembalikan. Karena itu tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia
sudah merasa nyaman. Maka dia memutuskan menunggu terus
di tempat itu sampai suatu hari keju yang hilang akan kembali. Apa yang
terjadi, kurcaci itu menunggu dan menunggu sampai
kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu siap tadi sudah
menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan jauh
lebih banyak dibandingkan di tempat lama.
Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa
nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri
guna menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang
tidak mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu
posisi, biasanya akan mati digilas waktu.
Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang
menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah yang luar
biasa yang mendorong saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar dari
labirin yang selama ini membuat saya sangat nyaman karena
setiap hari 'keju' itu sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin
mengikuti 'lentera jiwa' saya. Memilih arah sesuai
panggilan hati. Saya ingin berdiri sendiri.
Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul 'Lentera Jiwa' yang
dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan
pesan yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata
hati saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada
banyak orang.
Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa
tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang
kenalan saya, yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan
asuransi asing, mengaku tidak bahagia dengan
pekerjaannya. Uang dan jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia
merasa 'lentera jiwanya' ada di ajang pertunjukkan
musik. Tetapi dia takut untuk melompat. Takut untuk memulai dari bawah.
Dia merasa tidak siap jika kehidupan ekonominya yang
sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa hidupnya dalam dilema
itu. Dia tidak bahagia.
Ketika diminta untuk menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga
menemukan banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan
yang mereka tekuni sekarang. Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin
menjadi apa, ada yang jujur bilang ikut-ikutan pacar
(yang belakangan ternyata putus juga) atau ada yang karena solider pada
teman. Tetapi yang paling banyak mengaku jurusan yang
mereka tekuni sekarang -- dan membuat mereka tidak bahagia -- adalah
karena mengikuti keinginan orangtua.
Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus 2008),
kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil
keputusan besar dalam hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat
dan lulusan Hubungan Internasional, yang pada satu
titik mengambil keputusan drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia
masak memasak. Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan
yang sangat dia sukai dan menghantarkannya sebagai salah satu pemandu
acara masak-memasak di televisi dan kini memiliki
restoran sendiri. ''Saya sangat bahagia dengan apa yang saya kerjakan
saat ini,'' ujarnya. Padahal, orangtuanya menghendaki
Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai dpilomat.
Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk
menggeluti bidang animasi. Bidang yang
menghantarkannya mendapat beasiswa dari British Council. Kini Adit
bahkan membuka sekolah animasi. Padahal, ayah dan ibunya
lebih menghendaki anak tercinta mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai
dokter.
Simak juga bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak
sebuah perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa
perusahaan. Konsultan manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di
Bali dan bekerja untuk dirinya sendiri sebagai public
speaker.
Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam kehidupan
yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi
banyak yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya.
Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang
dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu
bersemangat, begitu gembira dalam menikmati hidup. ''Bagi saya, bekerja
itu seperti rekreasi. Gembira terus. Nggak ada
capeknya,'' ujar Yon Koeswoyo, salah satu personal Koes Plus, saat
bertemu saya di kantor majalah Rolling Stone. Dalam
usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh enerji. Dinamis. Tak heran
jika malam itu, saat pementasan Earthfest2008, Yon
mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. Sungguh luar biasa. ''Semua
karena saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah
dunia saya. Cinta saya. Hidup saya,'' katanya.
Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya. Berbahagialah mereka
yang sudah mencapai taraf bekerja adalah berekreasi.
Sebab mereka sudah menemukan lentera jiwa mereka.
No comments:
Post a Comment